Seperti biasa, klarifikasi kalah cepat dibandingkan dengan hoaks. Video terlanjur beredar luas, memantik perdebatan sengit, bahkan mengundang kecaman dari tokoh-tokoh masyarakat.
Mengapa Publik Mudah Tersulut?
Kemarahan publik dalam kasus ini bisa dipahami. Guru adalah profesi yang sangat dihormati di Indonesia. Sejak kecil, kita diajarkan bahwa guru adalah pahlawan pendidikan, orang yang membentuk karakter sekaligus mengantarkan generasi muda menuju masa depan.
Ketika muncul narasi bahwa guru disebut “beban,” rasa hormat itu seolah diremehkan. Wajar bila emosi masyarakat, khususnya para guru, langsung tersulut.
Secara psikologis, manusia lebih mudah mempercayai informasi yang membangkitkan emosi, apalagi jika berbentuk video. Potongan singkat yang tampak “nyata” bisa lebih kuat pengaruhnya daripada penjelasan panjang.
Selain itu, ada faktor lain yang tak bisa diabaikan: krisis kepercayaan pada pejabat publik. Banyak masyarakat sudah terlanjur skeptis. Begitu ada konten negatif tentang pejabat, mereka cenderung lebih mudah percaya ketimbang menunggu klarifikasi.
Namun, di balik pernyataan itu, penting juga untuk melihat kenyataan di lapangan. Guru bukan hanya pegawai yang menerima gaji dari APBN, melainkan pilar utama pendidikan bangsa. Jika kualitas guru rendah, maka akan rendah pula kualitas generasi penerus. Justru sebaliknya, ketika guru diberdayakan, dihargai, dan diberi dukungan penuh, mereka bisa menjadi penggerak perubahan. Oleh karena itu, diskursus tentang “beban negara” semestinya bergeser menjadi “investasi negara”.
Peran Media dan Netizen
Sebagai guru, jujur saya merasa ada ketakutan dengan pola memviralkan informasi tanpa verifikasi ini. Bagaimana jika suatu saat seorang guru hanya karena menegur murid, lalu dipelintir, diviralkan, dan akhirnya reputasinya hancur?
Dalam iklim digital saat ini, kesalahan sekecil apapun bisa menjadi bahan viral, padahal belum tentu sesuai fakta. Situasi seperti ini menimbulkan keresahan tersendiri bagi tenaga pendidik yang sejatinya hanya ingin mendidik dengan baik.
Kembali ke topik utama, dalam kisruh ini "guru beban negara" ini, media sosial berperan besar sebagai “amplifier” hoaks. Ribuan akun membagikan potongan video tanpa pernah bertanya apakah itu benar atau tidak. Rantai share ini memperkuat resonansi emosi, bukan fakta.