Keluarga menjadi benteng pertama pembentukan mental anak. Orang tua bisa menyiapkan jas hujan, melatih anak berangkat lebih awal, sekaligus menanamkan sikap tidak mudah menyerah. Dengan begitu, anak belajar bahwa tanggung jawab tak boleh berhenti hanya karena cuaca.
Keempat, Kebijakan Berbasis Empati
Sekolah di daerah rawan banjir atau dengan akses terbatas perlu menyesuaikan aturan dengan kondisi lokal. Empati penting, agar aturan tidak terasa kaku, tetapi tetap mendidik. Dengan cara ini, hujan tidak lagi dilihat sebagai alasan klasik, melainkan kesempatan membentuk generasi yang tangguh.
Kelima, Infrastruktur Pendukung
Sekolah atau pemerintah daerah bisa membantu menyediakan fasilitas pendukung, misalnya: area jemuran di sekolah untuk pakaian basah, ruang ganti, atau loker penyimpanan sepatu. Hal kecil seperti ini bisa membuat siswa tidak takut datang meski kehujanan.
Keenam, Integrasi Teknologi
Jika hujan benar-benar ekstrem dan menghalangi siswa datang, sekolah bisa memanfaatkan sistem daring untuk sementara. Guru menyiapkan materi singkat via grup WhatsApp atau platform belajar online. Jadi, tanggung jawab belajar tetap berjalan meskipun fisik tidak hadir di kelas.
Ketujuh, Budaya Sekolah yang Inspiratif
Sekolah bisa menanamkan budaya positif, misalnya memberikan apresiasi kecil bagi siswa yang tetap hadir meskipun hujan deras. Apresiasi ini bukan soal hadiah besar, cukup dengan pujian, sertifikat simbolis, atau cerita inspiratif di upacara bendera.
Kedelapan, Simulasi “Life Skill”
Hujan bisa dijadikan momentum untuk melatih keterampilan hidup (life skill). Misalnya, sekolah mengadakan kegiatan edukatif tentang pentingnya menjaga kesehatan saat musim hujan, cara menyiapkan diri menghadapi banjir, atau manajemen waktu agar tidak telat.