Saya masih ingat sebuah cerita dari dosen S2 saya. Beliau pernah bercerita pengalaman saat menempuh studi doktoralnya di Jepang. Suatu hari, beliau datang terlambat ke kelas karena hujan deras. Dengan penuh keyakinan, ia mengira alasan itu bisa dimaklumi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Sang profesor di Jepang sama sekali tidak bisa menerima alasan “hujan” sebagai pembenar keterlambatan.
“Kedisiplinan adalah yang utama. Jangan pernah mencari pembenaran dengan alasan tertentu,” tutur dosennya kala itu.
Cerita sederhana ini menegaskan, di banyak budaya lain, hujan tidak pernah dianggap penghalang. Disiplin ditempatkan di atas segala keadaan, karena tanggung jawab harus tetap dijalankan apa pun kondisinya. Justru dari sanalah mental tangguh terbentuk.
Tetapi, konteks di Indonesia tentu berbeda. Jepang memiliki infrastruktur yang rapi, transportasi publik yang tertata, dan fasilitas yang memungkinkan orang tetap datang tepat waktu meski hujan turun deras.
Sementara di negeri kita, tidak semua siswa punya kemewahan itu. Ada yang harus berjalan kaki melewati jalan berlumpur, ada yang menunggu kendaraan umum yang terhambat banjir, bahkan ada yang kembali pulang karena seragamnya sudah basah kuyup sebelum sampai sekolah.
Di titik inilah, hujan menjadi lebih dari sekadar fenomena alam. Ia membuka tabir perbedaan antara ideal disiplin dan realitas sosial yang tidak selalu berpihak pada semua orang.
Hujan membuka mata kita pada kenyataan bahwa akses pendidikan di Indonesia masih timpang. Anak-anak di perkotaan mungkin bisa menertawakan alasan "izin karena hujan" karena mereka memiliki fasilitas transportasi yang memadai. Namun di pedesaan atau daerah dengan infrastruktur minim, hujan bisa benar-benar menjadi penghalang fisik untuk sampai ke sekolah.
Seorang guru yang berada Kabupaten pernah bercerita, murid-muridnya kerap terlambat karena jalan desa berubah jadi lumpur ketika hujan. Ada pula siswa di daerah banjir yang harus menunggu air surut sebelum bisa berangkat. Dalam kondisi seperti ini, hujan bukan alasan klasik, melainkan potret nyata dari tantangan akses pendidikan.
Hujan, Malas, dan Mentalitas
Namun, tidak semua alasan hujan berangkat dari realitas sosial. Ada pula sisi mentalitas. Sebagian siswa menjadikan hujan sebagai "alasan klasik" untuk menunda kewajiban. Rasa malas, kenyamanan selimut hangat, atau ketidakdisiplinan diri seringkali bersembunyi di balik kata "izin."
Psikolog pendidikan menekankan bahwa anak perlu diajarkan tanggung jawab sejak dini. Artinya, meski hujan turun, mereka tetap berusaha hadir, sekalipun dengan segala keterbatasan. Mental tangguh ini penting, karena di kehidupan nyata nanti, alasan tidak akan selalu diterima. Dunia kerja, tanggung jawab keluarga, hingga kewajiban sosial menuntut kedisiplinan, terlepas dari kondisi cuaca.