Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Retak di Mata Netizen, Lumut di Mata Wali Kota: Drama Estetika JPO Siger Milenial

15 Agustus 2025   20:18 Diperbarui: 16 Agustus 2025   09:32 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di atas JPO Siger. (Sumber: Foto oleh Irma)

Bandar Lampung- sebuah kota yang terkenal dengan kehangatan penduduknya, kuliner khasnya, dan tentu saja mahkota kebanggaan daerahnya: Siger.

Februari lalu, di tengah hiruk pikuk kota, berdirilah JPO Siger Milenial, ikon baru yang dirancang bukan hanya untuk menghubungkan dua titik, tapi juga dua zaman: masa lalu yang penuh makna budaya dan masa kini yang gemar berburu angle Instagramable. Bentuknya unik, estetik, dan diharapkan menjadi mahkota kota yang tak lekang oleh waktu.

Namun, seperti pepatah lama: "mahkota paling berkilau pun bisa ternoda setitik debu."

Hanya beberapa bulan setelah peresmian, sebuah foto yang beredar di dunia maya memicu gelombang komentar dan tudingan. Katanya retak. Faktanya? Kisah ini jauh lebih hijau daripada yang dibayangkan secara harfiah.

Biar lebih konkrit, saya menjelaskan ini dalam bentuk babak dan opini saya.

JPO Siger Milenial yang menghubungkan Kantor Pemkot Bandar Lampung dengan Masjid Agung Al Furqon. (Sumber: Foto oleh Tupari)
JPO Siger Milenial yang menghubungkan Kantor Pemkot Bandar Lampung dengan Masjid Agung Al Furqon. (Sumber: Foto oleh Tupari)

Babak 1: JPO Siger Milenial, Ikon dan Harapan

Bagi warga Bandar Lampung, nama Siger Milenial bukan dipilih sembarangan. "Siger" adalah mahkota tradisional yang biasa dikenakan dalam upacara adat pernikahan Lampung, melambangkan keagungan, kehormatan, dan identitas. "Milenial" adalah sapaan untuk generasi muda yang energik, kreatif, dan gemar berfoto lalu membagikannya ke media sosial.

Dengan menggabungkan keduanya, Pemkot Bandar Lampung berharap jembatan ini menjadi jembatan budaya, menghubungkan nilai-nilai lokal dengan semangat zaman. Lokasinya pun strategis, tepat di depan Kantor Pemerintah Kota, menghubungkan dengan Masjid Agung Al Furqon.

Suasana di atas JPO Siger. (Sumber: Foto oleh Irma)
Suasana di atas JPO Siger. (Sumber: Foto oleh Irma)

Pembangunan memakan waktu dua tahap. Tahap pertama menghabiskan sekitar Rp8 miliar (naik dari rencana awal Rp5 miliar). Tahap kedua menyempurnakan desain, pencahayaan, dan elemen estetika. Hasilnya? Sebuah jembatan yang saat malam menyala indah, dan saat siang memantulkan cahaya matahari dengan megah. Ya, wajarlah dengan uang sebegitu banyak.

Babak 2: Sebuah Garis Misterius

Semua berjalan baik... hingga pertengahan Agustus 2025, media sosial Lampung mulai diramaikan dengan video singkat yang memperlihatkan salah satu jari patung tangan pengantin di JPO Siger Milenial. Salah satu unggahan datang dari akun Threads @satulampung.id pada Rabu, 13 Agustus 2025, yang menampilkan garis gelap di sambungan jari, kontras dengan warna putih gading patung dengan keterangan, "Ada retakan di salah satu jari patung tangan pengantin JPO Siger Milenial, Kota Bandar Lampung."

Tidak jelas apakah unggahan ini yang pertama kali memicu perhatian publik, namun fotonya juga ikut menyebar cepat di grup WhatsApp, Facebook, dan TikTok. Tagar #JPOSigerMilenial dan #Lampung mulai ramai digunakan, sementara kolom komentar dipenuhi spekulasi mulai dari dugaan sambungan konstruksi bermasalah, sampai candaan "Baru diresmikan, sudah retak?"

(Foto: tangkapan layar unggahan @satulampung.id, 13/8/2025)
(Foto: tangkapan layar unggahan @satulampung.id, 13/8/2025)

Seperti bensin yang tersiram ke api unggun saat kegiatan Pramuka, komentar pun bermunculan:

  • "Makanya kalau bangun jangan keburu-buru."
  • "Duh, uang rakyat... :("
  • "Sudah mahal, masih retak?!"

Dalam waktu singkat, kata "JPO retak" jadi bahan obrolan yang hangat. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang pertama mengunggah, tapi efeknya jelas: keresahan bercampur rasa penasaran. 

Namun, sehari setelahnya, akun yang sama mengunggah konfirmasi: garis itu bukan retakan, melainkan lumut yang menempel di permukaan patung.

Meski penjelasan ini menutup spekulasi teknis, perdebatan netizen belum sepenuhnya reda. Ada yang lega, ada yang kecewa karena "drama" berakhir terlalu cepat, dan ada pula yang justru mempertanyakan soal perawatan ikon baru ini. 

Babak 3: Pemeriksaan Cepat

Wali Kota Bandar Lampung, Eva Dwiana, tak tinggal diam. Begitu kabar sampai ke telinganya, ia langsung meninjau ke lokasi bersama jajaran Dinas Pekerjaan Umum. Hasil pemeriksaan lapangan ternyata mengejutkan: tidak ada retakan.

Yang ada hanyalah lumut yang tumbuh di bagian sambungan semen, akibat tetesan air hujan dan kelembapan. Dari jarak dekat, jelas terlihat itu lumut. Tapi dari jarak foto yang beredar? Ya, mirip retakan.

"Ini bukan retak, hanya lumut. Sudah saya minta Dinas PU segera membersihkan supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi," kata Eva kepada wartawan.

Babak 4: Fenomena 'Keburu Viral'

Kasus ini hanyalah satu contoh kecil dari fenomena besar yang sering kita lihat: kecepatan jempol netizen mengalahkan kecepatan cek fakta.  Begitu sebuah foto atau video muncul, apalagi kalau ada unsur dramatisnya, naluri pertama banyak orang adalah membagikannya.

Masalahnya, foto itu hanya potongan realitas. Tanpa konteks, ia bisa menyesatkan. Seperti dalam kasus ini, yang seharusnya jadi catatan kecil "oh itu cuma lumut, perlu dibersihkan", malah menjadi isu "bangunan baru sudah rusak".

Dalam psikologi komunikasi, fenomena ini disebut availability heuristic, otak kita cenderung percaya pada informasi pertama yang mudah diakses atau diingat, meski belum tentu benar.

Babak 5: Lumut yang Mengajarkan

Kalau dipikir-pikir, lumut di JPO Siger Milenial ini justru memberi pelajaran berharga.
Pertama, bagi pemerintah daerah, penting untuk melakukan pemeliharaan rutin dan komunikasi publik yang cepat. Kalau penjelasan resmi keluar di awal, rumor bisa diredam sebelum melebar.

Kedua, bagi masyarakat, ini pengingat untuk menahan diri sebelum menekan tombol share. Sekarang memang mudah sekali memviralkan sesuatu, tapi efeknya bisa besar: merusak reputasi, memicu kecurigaan, bahkan mempengaruhi citra kota.

Ketiga, bagi kita semua ada makna filosofis yang bisa dipetik: tidak semua yang terlihat seperti retak benar-benar retak. Terkadang, itu hanya lumut yang kebetulan menempel di permukaan. Sama seperti kehidupan, garis-garis yang kita lihat di luar belum tentu keretakan di dalam.

Masjid Agung Al Furqon dari JPO Siger pada malam hari. (Sumber: Foto oleh Irma)
Masjid Agung Al Furqon dari JPO Siger pada malam hari. (Sumber: Foto oleh Irma)

Babak 6: Humor Tipis-tipis

Tak sedikit warga yang memanfaatkan momen ini untuk bercanda. Di grup Facebook komunitas kota, ada yang menulis:

"Tolong jangan salah paham, itu bukan retak. Itu JPO-nya lagi tren pakai eyeliner."

Yang lain berkomentar:

"Itu bukan retak, itu tanda tangan."

Humor seperti ini memang membantu meredakan ketegangan, tapi juga menjadi pengingat bahwa dalam era digital, kabar bisa berubah bentuk hanya dalam hitungan menit, dari serius menjadi lelucon, dari gosip menjadi meme.

Babak 7: Apa Kabar Sekarang?

Pasca klarifikasi dan pembersihan, JPO Siger Milenial kembali bersinar seperti semula. Tak ada lagi garis "retak" yang mengganggu pemandangan. Wisatawan dan warga pun kembali mengabadikan momen di atas jembatan, memamerkan pemandangan kota dari ketinggian.

Namun jejak dramanya masih tersisa di ingatan. Bukan karena kerusakannya, karena memang kerusakannya tak ada, tapi karena betapa cepatnya sebuah kabar bisa meledak tanpa verifikasi.

Ketika Lumut Lebih Cepat Viral daripada Fakta

Kasus JPO Siger Milenial ini sebenarnya tidak terlalu luar biasa kalau dilihat dari sisi teknis. Lumut di sambungan beton adalah hal wajar di negara tropis yang lembap. Dalam skala konstruksi, ini masuk kategori perawatan ringan, bukan kegagalan struktural.

Yang luar biasa justru reaksi publiknya. Di sini kita melihat kontradiksi khas zaman digital: kemampuan menyebarkan informasi semakin cepat, sementara kemampuan memeriksa kebenaran informasi sering tertinggal.

Bagi saya, ada dua hal penting yang harus kita renungkan bersama.

Pertama, pemerintah kota maupun kontraktor perlu paham bahwa dalam era real-time update, persepsi publik adalah bagian dari proyek. Bukan hanya desain, konstruksi, dan anggaran yang harus dikelola, tapi juga narasi di media sosial. Kalau tidak ada strategi komunikasi yang cepat, narasi liar akan mengisi kekosongan.

Kedua, kita sebagai warga juga punya tanggung jawab. Tidak semua kabar harus direspons instan. Ada kalanya, menunggu satu jam untuk mendapatkan klarifikasi resmi justru lebih bijak daripada menjadi "orang pertama" yang membagikan kabar belum tentu benar.

Lumut di JPO Siger Milenial hanyalah contoh kecil, tapi ia menunjukkan masalah yang lebih besar: krisis literasi informasi. Kalau kasus lumut saja bisa bikin heboh, coba bayangkan kalau yang dipermasalahkan adalah isu politik, agama, kesehatan, atau keamanan.

Saya pribadi percaya, kota yang maju bukan hanya soal infrastrukturnya yang megah, tapi juga warganya yang bijak menyaring kabar. Siger Milenial boleh jadi simbol kebanggaan Lampung, tapi kedewasaan digital warganya itulah yang akan menjadi mahkota sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun