Anak-anak muda saat itu justru memilih angkot yang suaranya paling besar. Semakin kencang, semakin keren. Terkadang, angkot-angkot itu bahkan bersaing satu sama lain dalam hal volume dan modifikasi interior.Â
Bagi mahasiswa, terutama yang baru merantau, naik angkot bersuara besar adalah bagian dari ritus sosial: menunjukkan identitas, mencari hiburan murah, bahkan sarana mencari kenalan baru.
Fenomena ini membentuk ekosistem budaya tersendiri. Tidak hanya sopir, tapi juga penumpang dan bahkan tukang parkir ikut larut dalam romantisme urban tersebut.
BRT: Awal Perubahan yang Tak Selesai
Tidak ada yang kekal di dunia ini, begitu juga dengan masa kejayaan angkot. Segalanya mulai berubah saat pemerintah kota memperkenalkan BRT (Bus Rapid Transit) sekitar tahun 2011.Â
Sebenarnya program ini memiliki tujuan mulia yaitu menyediakan transportasi massal yang lebih nyaman, terjangkau, dan tertib. Rute-rute utama seperti koridor Rajabasa - Tanjungkarang dijadikan jalur BRT. Angkot dialihkan ke rute-rute pendukung (feeder).
Secara teori, ini adalah langkah maju. Tapi dalam praktiknya, banyak masalah muncul: jumlah armada terbatas, jadwal tidak konsisten, halte yang minim, dan kurangnya edukasi ke masyarakat. Dalam waktu tak lama, BRT kesulitan bersaing, terutama setelah munculnya ojek online seperti Gojek dan Grab.
Sementara itu, sopir angkot mulai kehilangan rute, kehilangan penumpang, dan akhirnya kehilangan penghasilan. Seringkali mereka harus 'main petak umpet' dengan petugas ketika mereka mencari penumpang di jalur arteri, jalur yang dilarang dilewati angkot oleh pemerintah.Â
Tersisih dan Terpinggirkan, Suara yang Hilang di Tengah Kota
Hari ini, angkot masih ada. Namun keberadaannya lebih mirip bayangan masa lalu. Banyak angkot tampak tua, rusak, bahkan beberapa berkarat dan nyaris tak layak jalan. Di pinggiran pasar dan terminal kecil, sopir angkot tampak duduk bersandar di pintu mobil, menunggu penumpang yang entah kapan datang.