Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Nasib Angkot di Tengah Gempuran Transportasi Modern

27 Juli 2025   12:51 Diperbarui: 27 Juli 2025   12:37 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kini semakin jarang ditemui angkot yang menyusuri jalan-jalan di ibukota, tidak sebanyak pada masanya. (Foto oleh Tupari) 

Hari ini saya didampingi istri sengaja berkeliling di jalur arteri kota Bandar Lampung. Bukan tanpa tujuan, namun untuk melihat secara langsung fenomena Angkutan Kota (Angkot) di kota ini sekaligus mengenang kembali memori masa lalu saat menyusuri jalan-jalan ini dengan Angkot. 

"Dari Primadona ke penunggu terminal." Begitulah frasa yang dapat saya gunakan untuk menggambarkan nasib Angkot Bandar Lampung di tengah gempuran transportasi modern saat ini. 

Di awal 2000-an, naik angkot bukan sekadar soal transportasi. Selain masyarakat umum,  bagi mahasiswa dan pelajar di Bandar Lampung, angkot adalah bagian dari gaya hidup. Saya sendiri mulai tinggal di Bandar Lampung sejak 2003 dan merupakan bagian dari masyarakat pengguna angkot pada masa itu. 

Setiap pagi hingga malam, puluhan angkot warna-warni berseliweran membawa penumpang, disertai dentuman musik keras dari speaker rakitan yang memekakkan telinga, namun entah mengapa terasa hal ini menyenangkan, apalagi yang diputar adalah lagu-lagu "gaul".

Angkot-angkot itu tak hanya membawa tubuh, tapi juga suasana. Dari terminal Rajabasa hingga kawasan kota, dari kampus Universitas Lampung (Unila) hingga sekolah SMP-SMA/SMK negeri maupun swasta, angkot menjadi penghubung semangat muda yang ingin cepat sampai tujuan namun tetap bergaya.

Angkot jurusan Pahoman - Tanjungkarang tahun 2019, masih terlihat agak ramai penumpang. (Sumber: Kompas.com) 
Angkot jurusan Pahoman - Tanjungkarang tahun 2019, masih terlihat agak ramai penumpang. (Sumber: Kompas.com) 

Namun kini, suara itu perlahan menghilang. Tidak ada lagi dentuman musik dari angkot. Yang ada hanya deru mesin tua, cat mobil yang banyak terkelupas, kursi sobek, dan sopir yang duduk termenung menanti penumpang yang tak kunjung datang. Sekalipun datang hanya 1 - 2 orang.

Era Keemasan: Sound System dan Gengsi di Jalanan

Di masa jayanya, angkot Bandar Lampung punya ciri khas yang membedakannya dari kota lain yaitu sound system besar. Bukan sekadar radio, tapi speaker aktif yang memuat dentuman bass dan remix lagu dangdut atau hip-hop lokal. Dan masa itu, lagu yang sedang viral seperti lagu Bintang di Surga karya grup band Peterpan sedang naik daun kala itu seolah menjadi lagu wajib di setiap angkot.

Saking semaraknya, banyak angkot memiliki julukan atau nama julukan seperti "Kuntilanak", "Rockstar", hingga "Tornado".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun