Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal

Nasib Angkot di Tengah Gempuran Transportasi Modern

27 Juli 2025   12:51 Diperbarui: 27 Juli 2025   12:37 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Angkot jurusan Way Kandis - Tanjungkarang yang sedang melaju pelan dengan hanya memuat beberapa penumpang. (Foto oleh Tupari) 

Anak-anak muda saat itu justru memilih angkot yang suaranya paling besar. Semakin kencang, semakin keren. Terkadang, angkot-angkot itu bahkan bersaing satu sama lain dalam hal volume dan modifikasi interior. 

Bagi mahasiswa, terutama yang baru merantau, naik angkot bersuara besar adalah bagian dari ritus sosial: menunjukkan identitas, mencari hiburan murah, bahkan sarana mencari kenalan baru.

Fenomena ini membentuk ekosistem budaya tersendiri. Tidak hanya sopir, tapi juga penumpang dan bahkan tukang parkir ikut larut dalam romantisme urban tersebut.

Angkot jurusan Way Kandis - Tanjungkarang yang sedang melaju pelan dengan hanya memuat beberapa penumpang. (Foto oleh Tupari) 
Angkot jurusan Way Kandis - Tanjungkarang yang sedang melaju pelan dengan hanya memuat beberapa penumpang. (Foto oleh Tupari) 

BRT: Awal Perubahan yang Tak Selesai

Tidak ada yang kekal di dunia ini, begitu juga dengan masa kejayaan angkot. Segalanya mulai berubah saat pemerintah kota memperkenalkan BRT (Bus Rapid Transit) sekitar tahun 2011. 

Sebenarnya program ini memiliki tujuan mulia yaitu menyediakan transportasi massal yang lebih nyaman, terjangkau, dan tertib. Rute-rute utama seperti koridor Rajabasa - Tanjungkarang dijadikan jalur BRT. Angkot dialihkan ke rute-rute pendukung (feeder).

Secara teori, ini adalah langkah maju. Tapi dalam praktiknya, banyak masalah muncul: jumlah armada terbatas, jadwal tidak konsisten, halte yang minim, dan kurangnya edukasi ke masyarakat. Dalam waktu tak lama, BRT kesulitan bersaing, terutama setelah munculnya ojek online seperti Gojek dan Grab.

Sementara itu, sopir angkot mulai kehilangan rute, kehilangan penumpang, dan akhirnya kehilangan penghasilan. Seringkali mereka harus 'main petak umpet' dengan petugas ketika mereka mencari penumpang di jalur arteri, jalur yang dilarang dilewati angkot oleh pemerintah. 

Tersisih dan Terpinggirkan, Suara yang Hilang di Tengah Kota

Hari ini, angkot masih ada. Namun keberadaannya lebih mirip bayangan masa lalu. Banyak angkot tampak tua, rusak, bahkan beberapa berkarat dan nyaris tak layak jalan. Di pinggiran pasar dan terminal kecil, sopir angkot tampak duduk bersandar di pintu mobil, menunggu penumpang yang entah kapan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun