Beberapa tahun terakhir, terminal Rajabasa sempat “dibersihkan”. Pemerintah turun tangan. Ada aparat berjaga. Geliat ekonomi mulai terasa. Terminal menjadi lebih ramah, aman, bersih. Penjual makanan kembali. Penumpang bisa duduk tanpa rasa takut. Suatu masa yang cukup menjanjikan.
Namun kini, kondisi itu seperti hilang ditelan waktu. Terminal Rajabasa kembali sepi. Sepi seperti kuburan.
Bangku-bangku kosong, loket-loket tutup. Bus-bus besar nyaris tak lagi masuk seperti dulu. Preman mungkin sudah hilang, tapi yang datang justru kesunyian. Terminal yang pernah menjadi jantung transportasi publik Lampung kini sekarat perlahan-lahan.
Selama beberapa tahun terakhir, terminal Rajabasa tampak tak terurus dan jarang digunakan, fungsinya pun terbatas hanya sebagai lokasi beristirahat bagi para sopir kendaraan yang lewat.
Ironi Mobilitas Modern
Apa penyebabnya? Jawaban pertama mungkin: perubahan pola mobilitas masyarakat.
Di sisi lain, pemerintah begitu gencar membangun jalan tol. Tol Trans Sumatera mempermudah akses kendaraan pribadi. Banyak warga kini lebih memilih mobil sendiri, travel, atau moda transportasi online. Perlahan tapi pasti, terminal seperti Rajabasa ditinggalkan.
Dalam bahasa lain: terminal ditinggal karena tidak lagi relevan dengan zaman.
Namun, bukankah terminal tetap dibutuhkan sebagai simpul mobilitas publik?
Ini ironi dan menjadi sebuh anomali. Di saat pemerintah mendorong efisiensi transportasi, justru simpul-simpul penting seperti terminal dibiarkan layu. Tak heran jika kemudian muncul gagasan untuk “mengalihfungsikan” Terminal Rajabasa menjadi sesuatu yang lebih produktif secara ekonomi.