Refleksi Tamparan yang Membayar Marwah: Ketika Peci Guru Dihantam Sandal
Pagi itu, sebagaimana biasa, Pak Zuhdi seorang guru madrasah diniyah (Madin) di sebuah desa tenang di Demak, memulai pelajaran dengan suara pelan, sabar, dan lembut. Ia guru honorer, bukan pegawai negeri. Tak ada tunjangan sertifikasi. Gajinya tak seberapa, tetapi semangatnya tak pernah setengah-setengah.
Lalu, tiba-tiba... bugh!. Sebuah sandal melayang dari luar dan menghantam pecinya. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat ruang belajar mendadak hening. Semua pun bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah sandal tiba-tiba melayang jika tidak ada yang melempar?
Ternyata, di luar kelas sejumlah anak tampak bermain, padahal jam pelajaran tengah berlangsung. Saat ditanya, tak satu pun dari mereka mengaku. Sampai akhirnya, seorang anak dengan wajah menunduk dan bibir gemetar mengaku bahwa dialah yang melempar.
Pak Zuhdi tidak berteriak, tidak marah membabi buta. Ia mendekat, menatap, dan dengan hati berat menampar pelan pipi anak itu. Bukan karena benci, tapi karena ingin mendidik. Ia ingin mengajarkan bahwa tindakan harus diikuti tanggung jawab.
Tapi siapa sangka, tamparan itu malah berbalik arah. Bukan ke wajah anak itu, tapi ke wajah Pak Zuhdi sendiri. Beberapa waktu kemudian, orang tua siswa datang, marah, menuntut, dan meminta “ganti rugi” sebesar Rp25 juta. Bukan ganti luka fisik, tetapi semacam “denda adat” atas apa yang disebut sebagai kekerasan terhadap anak.
Saat Guru Dibiarkan Sendiri
Mari berhenti sejenak dan bertanya: Di mana marwah guru hari ini?
Apakah semua bentuk disiplin lantas digolongkan sebagai kekerasan?
Apakah sistem pendidikan hari ini masih punya ruang untuk mendidik, atau hanya sebatas menyenangkan anak?
Peristiwa ini bukan sekadar soal sandal, tamparan, atau uang 25 juta rupiah. Ini soal kegagalan kita melindungi ruang aman bernama “kelas”, tempat seorang guru mengajar dengan penuh ketulusan.
CCTV tak merekam keikhlasan guru, hanya bisa merekam kejadian sepotong. Media sosial pun kadang lebih gemar mengutip kemarahan ketimbang menyimak niat baik di balik tindakan. Dan hukum, sayangnya, kadang terlalu cepat memvonis sebelum benar-benar memahami konteks.
Kriminalisasi Guru dalam Bingkai yang Keliru
Jika seorang guru yang menampar murid karena mengaku salah dianggap kriminal, maka kita sedang membangun sistem pendidikan yang rapuh. Kita memposisikan guru sebagai sosok tanpa pelindung. Padahal, di balik satu tamparan itu, ada ratusan kesabaran yang tidak pernah dikisahkan.
Yang ironis, guru Madin dan guru pada sekolah lainnya seperti Pak Zuhdi, yang digaji hanya ratusan ribu per bulan, justru harus membayar “harga moral” yang begitu mahal. Dihukum bukan oleh pengadilan, tapi oleh persepsi publik, oleh tekanan, oleh rasa takut yang akan menghantui setiap tindakan korektif ke depan.
Marwah Guru Harus Dilindungi, Bukan Diperdagangkan
Apa yang menimpa Pak Zuhdi bukan sekadar urusan pribadi. Ini luka kolektif. Ini alarm bahwa para pendidik kita semakin tidak aman. Padahal, mereka adalah pilar utama peradaban. Saat marwah guru bisa dibeli dengan uang damai, kita telah kehilangan arah.
Kita butuh regulasi yang melindungi guru dalam menjalankan fungsinya. Kita butuh kehadiran pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk menyusun ulang batas-batas antara mendidik dan menghukum. Bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk melindungi niat baik.
Guru: Bukan Sekadar Pengajar, tapi Pendidik
Banyak yang lupa atau entah pura-pura lupa bahwa tugas pokok guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi mendidik.
Mendidik berarti mengajarkan nilai, adab, tanggung jawab, dan kesadaran moral atau karakter.
Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kecerdasan yang liar. Nilai tanpa disiplin hanya akan membentuk generasi rapuh. Dan semua itu tak akan bisa diajarkan dengan sekadar ceramah. Butuh keteladanan, kadang juga butuh penegasan, dan bahkan sesekali, butuh teguran yang keras tapi mendalam.
Namun, bagaimana jika semua itu kini menjadi menakutkan bagi guru?
Bagaimana jika niat baik untuk mendidik malah berakhir tragis?
Bayangan Ketakutan di Ruang Kelas
Bayangkan seorang guru berdiri di depan kelas, menyaksikan murid-murid yang tak lagi patuh, tak lagi peduli, tapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
Ia hanya berdiri, menyampaikan materi sebatas kewajiban, mengisi daftar hadir, lalu pulang. Tanpa sempat menanam nilai, tanpa keberanian menegur karena satu teguran bisa jadi petaka.
Karena satu langkah edukatif bisa jadi viral. Lalu apa yang tersisa dari ruang kelas?
Ketika guru tidak lagi punya ruang untuk mendidik, hanya tinggal diam menjalankan formalitas, kita sedang membunuh sistem pendidikan dari dalam.
Pak Zuhdi, dan Ribuan Guru Lain yang Tak Pernah Terekspos
Pak Zuhdi bukan satu-satunya. Ia hanyalah satu dari sekian banyak guru yang nasibnya di ujung tanduk.
Ada yang dilaporkan karena mencubit.
Ada yang dipermalukan karena menghukum siswa yang bolos.
Ada pula yang diam-diam diberhentikan karena dianggap "tidak ramah anak", padahal ia hanya mencoba meluruskan.
Dan lebih tragis, banyak dari mereka tidak pernah terekspos. Mereka tidak viral, tidak masuk berita, hanya pulang ke rumah dengan luka yang dipendam dengan semangat yang pudar. Dengan air mata yang tak pernah dituliskan.
Akhirnya, Ini Bukan Soal Sandal
Sandal itu hanya pemicu. Tamparan itu hanya bentuk. Yang sejatinya menjadi persoalan adalah cara kita memandang guru apakah masih sebagai pendidik yang patut dihormati, atau hanya pelayan anak yang tak boleh menegur, apalagi menyentuh?
Jika hari ini guru takut menegur murid yang salah, maka esok kita harus siap menanggung generasi yang tak mengenal tanggung jawab. Dan itu, adalah tamparan paling menyakitkan bagi bangsa ini.
Saatnya kita semua berbenah.
Mari kembalikan fungsi pendidikan ke jalur yang semestinya. Dalam batas dan koridor yang jelas, setiap pihak baik itu guru, murid, orang tua, dan negara punya perannya masing-masing.
Dan marwah guru, harus kembali kita tegakkan. Sebab di pundak merekalah masa depan digoreskan. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keikhlasan yang seharusnya kita lindungi, bukan kita kriminalisasi. Karena semua punya satu tujuan besar untuk membangun negeri ini.
Salam Damai.
Referensi:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI