Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Tamparan yang Membayar Marwah: Ketika Peci Guru Dihantam Sandal

19 Juli 2025   08:50 Diperbarui: 19 Juli 2025   08:50 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika ruang kelas tak lagi aman bagi guru untuk mendidik, maka pendidikan kehilangan jiwanya. Sumber: Gambar dibuat dengan AI

Yang ironis, guru Madin dan guru pada sekolah lainnya seperti Pak Zuhdi, yang digaji hanya ratusan ribu per bulan, justru harus membayar “harga moral” yang begitu mahal. Dihukum bukan oleh pengadilan, tapi oleh persepsi publik, oleh tekanan, oleh rasa takut yang akan menghantui setiap tindakan korektif ke depan.

Pak Ahmad Zuhdi (tengah) saat menerima bantuan uang dari Ketua DPRD Kabupaten Demak. Sumber: Kompas.com
Pak Ahmad Zuhdi (tengah) saat menerima bantuan uang dari Ketua DPRD Kabupaten Demak. Sumber: Kompas.com

Marwah Guru Harus Dilindungi, Bukan Diperdagangkan

Apa yang menimpa Pak Zuhdi bukan sekadar urusan pribadi. Ini luka kolektif. Ini alarm bahwa para pendidik kita semakin tidak aman. Padahal, mereka adalah pilar utama peradaban. Saat marwah guru bisa dibeli dengan uang damai, kita telah kehilangan arah.

Kita butuh regulasi yang melindungi guru dalam menjalankan fungsinya. Kita butuh kehadiran pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk menyusun ulang batas-batas antara mendidik dan menghukum. Bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk melindungi niat baik.

Guru: Bukan Sekadar Pengajar, tapi Pendidik

Banyak yang lupa atau entah pura-pura lupa bahwa tugas pokok guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi mendidik.
Mendidik berarti mengajarkan nilai, adab, tanggung jawab, dan kesadaran moral atau karakter. 

Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kecerdasan yang liar. Nilai tanpa disiplin hanya akan membentuk generasi rapuh. Dan semua itu tak akan bisa diajarkan dengan sekadar ceramah. Butuh keteladanan, kadang juga butuh penegasan, dan bahkan sesekali, butuh teguran yang keras tapi mendalam.

Namun, bagaimana jika semua itu kini menjadi menakutkan bagi guru?
Bagaimana jika niat baik untuk mendidik malah berakhir tragis?

Bayangan Ketakutan di Ruang Kelas

Bayangkan seorang guru berdiri di depan kelas, menyaksikan murid-murid yang tak lagi patuh, tak lagi peduli, tapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
Ia hanya berdiri, menyampaikan materi sebatas kewajiban, mengisi daftar hadir, lalu pulang. Tanpa sempat menanam nilai, tanpa keberanian menegur karena satu teguran bisa jadi petaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun