Yang ironis, guru Madin dan guru pada sekolah lainnya seperti Pak Zuhdi, yang digaji hanya ratusan ribu per bulan, justru harus membayar “harga moral” yang begitu mahal. Dihukum bukan oleh pengadilan, tapi oleh persepsi publik, oleh tekanan, oleh rasa takut yang akan menghantui setiap tindakan korektif ke depan.
Marwah Guru Harus Dilindungi, Bukan Diperdagangkan
Apa yang menimpa Pak Zuhdi bukan sekadar urusan pribadi. Ini luka kolektif. Ini alarm bahwa para pendidik kita semakin tidak aman. Padahal, mereka adalah pilar utama peradaban. Saat marwah guru bisa dibeli dengan uang damai, kita telah kehilangan arah.
Kita butuh regulasi yang melindungi guru dalam menjalankan fungsinya. Kita butuh kehadiran pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk menyusun ulang batas-batas antara mendidik dan menghukum. Bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi untuk melindungi niat baik.
Guru: Bukan Sekadar Pengajar, tapi Pendidik
Banyak yang lupa atau entah pura-pura lupa bahwa tugas pokok guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi mendidik.
Mendidik berarti mengajarkan nilai, adab, tanggung jawab, dan kesadaran moral atau karakter.
Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kecerdasan yang liar. Nilai tanpa disiplin hanya akan membentuk generasi rapuh. Dan semua itu tak akan bisa diajarkan dengan sekadar ceramah. Butuh keteladanan, kadang juga butuh penegasan, dan bahkan sesekali, butuh teguran yang keras tapi mendalam.
Namun, bagaimana jika semua itu kini menjadi menakutkan bagi guru?
Bagaimana jika niat baik untuk mendidik malah berakhir tragis?
Bayangan Ketakutan di Ruang Kelas
Bayangkan seorang guru berdiri di depan kelas, menyaksikan murid-murid yang tak lagi patuh, tak lagi peduli, tapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa.
Ia hanya berdiri, menyampaikan materi sebatas kewajiban, mengisi daftar hadir, lalu pulang. Tanpa sempat menanam nilai, tanpa keberanian menegur karena satu teguran bisa jadi petaka.