Mohon tunggu...
Tupari
Tupari Mohon Tunggu... Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Saya adalah pendidik dan penulis yang percaya bahwa kata-kata memiliki daya ubah. Dengan pengalaman lebih dari 21 tahun di dunia pendidikan, saya berusaha merangkai nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial ke dalam pembelajaran yang membumi. Menulis bagi saya bukan sekadar ekspresi, tapi juga aksi. Saya senang mengulas topik tentang kepemimpinan, tantangan dunia pendidikan, sosiologi, serta praktik hidup moderat yang terangkum dalam website pribadi: https://tupari.id/. Kompasiana saya jadikan ruang untuk berbagi suara, cerita, dan gagasan yang mungkin sederhana, namun bisa menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Tamparan yang Membayar Marwah: Ketika Peci Guru Dihantam Sandal

19 Juli 2025   08:50 Diperbarui: 19 Juli 2025   08:50 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika ruang kelas tak lagi aman bagi guru untuk mendidik, maka pendidikan kehilangan jiwanya. Sumber: Gambar dibuat dengan AI

Refleksi Tamparan yang Membayar Marwah: Ketika Peci Guru Dihantam Sandal

Pagi itu, sebagaimana biasa, Pak Zuhdi seorang guru madrasah diniyah (Madin) di sebuah desa tenang di Demak, memulai pelajaran dengan suara pelan, sabar, dan lembut. Ia guru honorer, bukan pegawai negeri. Tak ada tunjangan sertifikasi. Gajinya tak seberapa, tetapi semangatnya tak pernah setengah-setengah.

Lalu, tiba-tiba... bugh!. Sebuah sandal melayang dari luar dan menghantam pecinya. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat ruang belajar mendadak hening. Semua pun bertanya-tanya, bagaimana bisa sebuah sandal tiba-tiba melayang jika tidak ada yang melempar? 

Ternyata, di luar kelas sejumlah anak tampak bermain, padahal jam pelajaran tengah berlangsung. Saat ditanya, tak satu pun dari mereka mengaku. Sampai akhirnya, seorang anak dengan wajah menunduk dan bibir gemetar mengaku bahwa dialah yang melempar.

Pak Zuhdi tidak berteriak, tidak marah membabi buta. Ia mendekat, menatap, dan dengan hati berat menampar pelan pipi anak itu. Bukan karena benci, tapi karena ingin mendidik. Ia ingin mengajarkan bahwa tindakan harus diikuti tanggung jawab.

Tapi siapa sangka, tamparan itu malah berbalik arah. Bukan ke wajah anak itu, tapi ke wajah Pak Zuhdi sendiri. Beberapa waktu kemudian, orang tua siswa datang, marah, menuntut, dan meminta “ganti rugi” sebesar Rp25 juta. Bukan ganti luka fisik, tetapi semacam “denda adat” atas apa yang disebut sebagai kekerasan terhadap anak.

Saat Guru Dibiarkan Sendiri

Mari berhenti sejenak dan bertanya: Di mana marwah guru hari ini?
Apakah semua bentuk disiplin lantas digolongkan sebagai kekerasan?
Apakah sistem pendidikan hari ini masih punya ruang untuk mendidik, atau hanya sebatas menyenangkan anak?

Peristiwa ini bukan sekadar soal sandal, tamparan, atau uang 25 juta rupiah. Ini soal kegagalan kita melindungi ruang aman bernama “kelas”, tempat seorang guru mengajar dengan penuh ketulusan.

CCTV tak merekam keikhlasan guru, hanya bisa merekam kejadian sepotong. Media sosial pun kadang lebih gemar mengutip kemarahan ketimbang menyimak niat baik di balik tindakan. Dan hukum, sayangnya, kadang terlalu cepat memvonis sebelum benar-benar memahami konteks.

Kriminalisasi Guru dalam Bingkai yang Keliru

Jika seorang guru yang menampar murid karena mengaku salah dianggap kriminal, maka kita sedang membangun sistem pendidikan yang rapuh. Kita memposisikan guru sebagai sosok tanpa pelindung. Padahal, di balik satu tamparan itu, ada ratusan kesabaran yang tidak pernah dikisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun