Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati Pendidikan dan Pegiat Literasi Politik Domestik

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Kalau Lamaran Kerjamu Ditolak, Buatlah "Lowongan Kerja"

23 Agustus 2025   22:19 Diperbarui: 3 September 2025   16:31 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cristoper dalam sebuah wawancara mengaku telah mengirim lebih dari seribu lamaran kerja (Sumber gambar: Tangkapan layar Instagram/Zona Mahasiswa)

Mungkin ada yang bertanya, mengapa saya memakai istilah "membuat lowongan kerja" alih-alih "membuat lapangan kerja." Ini bukan salah tulis, juga bukan karena miskin kosakata. Saya sengaja memilih kata lowongan karena ia menyimpan makna yang lebih personal: sebuah kursi kosong yang bisa kita duduki, ruang yang kita ciptakan sendiri ketika pintu orang lain tertutup. Jika lapangan kerja terdengar luas dan struktural, lowongan kerja justru menohok pada level individu, yaitu tentang keberanian membuat ruang baru, meski hanya satu, bahkan jika awalnya hanya untuk diri kita sendiri.

Saya membaca sebuah berita yang begitu menusuk: seorang pria lulusan S-1 kimia dari Universitas Indonesia (UI), mengaku telah mengirimkan lebih dari seribu lamaran kerja, tetapi tak satu pun membuahkan hasil. Seribu, bukan seratus. Angka itu cukup untuk membuat siapa pun merenung panjang.

Apa yang salah? Apakah dirinya tidak cukup pintar? Tidak cukup layak? Ataukah dunia kerja kita yang semakin sempit, penuh dengan persaingan, hingga ijazah universitas ternama pun tak lagi menjamin?

Cristoper dalam sebuah wawancara mengaku telah mengirim lebih dari seribu lamaran kerja (Sumber gambar: Tangkapan layar Instagram/Zona Mahasiswa)
Cristoper dalam sebuah wawancara mengaku telah mengirim lebih dari seribu lamaran kerja (Sumber gambar: Tangkapan layar Instagram/Zona Mahasiswa)

Cerita itu mengingatkan saya pada sebuah kenyataan yang sering luput kita sadari, bahwa dunia kerja tidak selalu adil.

Ada orang yang cukup sekali melamar sudah langsung diterima, ada yang berkali-kali mencoba dan tetap ditolak. Ada yang hanya mengandalkan koneksi, ada pula yang rela menghabiskan waktu bertahun-tahun menunggu panggilan yang tak pernah datang.

Namun, berita itu juga menyalakan pertanyaan lain: apakah hidup hanya sebatas menunggu pintu dibukakan orang lain? Atau kita bisa belajar untuk mengetuk pintu yang baru, atau bahkan membangunnya sendiri?

Menolak Menjadi Penonton Nasib

Kalau lamaran kerjamu ditolak, itu memang menyakitkan. Rasa minder, kecewa, bahkan marah bisa bercampur jadi satu. Tapi terlalu lama berdiam dalam penolakan hanya akan membuat kita terjebak.

Pada titik tertentu, kita perlu berani mengubah arah. Alih-alih hanya menjadi pencari kerja, mungkin kita ditantang untuk menjadi pencipta kerja.

Kalimat ini terdengar muluk, saya tahu. Tidak semua orang punya modal besar, jaringan luas, atau ide bisnis cemerlang. 

Tetapi menciptakan lowongan kerja tidak selalu berarti mendirikan perusahaan besar. Membuka jasa kecil-kecilan, menjual keterampilan tertentu, atau bahkan merintis usaha digital sederhana. Semua itu adalah bentuk "lowongan" yang kita buat, dimulai dari diri sendiri.

Dari Pencari Menjadi Pencipta

Banyak cerita lahir dari kegagalan melamar pekerjaan. Ada yang akhirnya menjual makanan di pinggir jalan, dan ternyata justru lebih sukses ketimbang gajinya andai ia diterima bekerja. Ada pula yang beralih ke dunia digital, misalnya menjadi penulis lepas, perancang grafis, atau pengajar daring. Mereka mungkin tidak pernah membayangkan jalannya akan ke situ, tapi justru karena ditolak berkali-kali, mereka menemukan arah baru.

Di sinilah refleksi terpentingnya: penolakan bukan tanda akhir, melainkan undangan untuk membuka pintu lain. Kalau semua pintu tertutup, mengapa tidak kita buat pintu sendiri?

Lebih dari Sekadar Soal Uang

Membuat lowongan kerja bukan hanya soal mencari penghasilan, tetapi juga soal harga diri dan makna hidup.

Dengan menciptakan peluang, sekecil apa pun itu, kita sedang berkata pada dunia: "Aku tidak bergantung pada belas kasihanmu. Aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri."

Dan menariknya, ketika kita mulai menciptakan peluang, sering kali kita justru memberi hidup pada orang lain. 

Jasa yang kita tawarkan mungkin kecil, tapi bisa membantu orang lain menyelesaikan masalahnya. Produk yang kita jual mungkin sederhana, tapi bisa jadi rejeki yang mengalir untuk keluarga kita dan orang-orang yang terlibat.

Menyadari Paradigma Baru

Di era sekarang, dunia kerja bukan lagi sebatas kantor, gaji bulanan, dan kartu tanda karyawan. Dunia sudah berubah. Ada ruang kerja lepas, ada usaha mikro, ada ekonomi digital. Semua itu membuka kemungkinan untuk kita yang barangkali tidak lagi cocok dengan jalur konvensional.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita berani mengubah paradigma? Dari sekadar pencari kerja, menjadi pencipta kesempatan. Dari bergantung pada "pintu orang lain," menjadi tukang kayu yang membangun pintu sendiri.

Penutup

Kisah lulusan kimia yang melamar seribu kali tanpa hasil itu seharusnya tidak kita pandang sebagai tragedi belaka. Ia adalah cermin bagi kita semua. Bahwa di luar ijazah dan status universitas, yang menentukan langkah selanjutnya adalah keberanian kita menolak pasrah.

Kalau lamaran kerjamu ditolak, jangan biarkan hidup berhenti di situ. Mungkin saatnya kamu membuat lowongan kerja. Mulai dari dirimu sendiri, lalu, siapa tahu, kelak bagi banyak orang lain.

Tetap semangat, Cristoper! Semoga kamu segera mendapat pekerjaan, atau malah bisa jadi pengusaha sukses kelak.

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun