Belakangan ini, Indonesia dihadapkan pada sebuah dilema besar dalam mengelola anggaran negara.
Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kesejahteraan para guru dan dosen, yang merupakan tulang punggung pendidikan nasional.
Di sisi lain, ada juga program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan alokasi dana yang fantastis, mencapai ratusan triliun rupiah, di mana penerapannya belum merata di seluruh tanah air.
Perlu diketahui, total anggaran pendidikan di tahun 2026 nanti, yaitu sebesar Rp757,8 triliun. Dari jumlah ini, diambil sebanyak Rp335 triliun untuk program MBG, dan sebanyak Rp178,7 triliun untuk gaji serta pengembangan kualitas guru dan dosen.
Ketika kedua kebutuhan ini bersanding, sebuah pertanyaan fundamental muncul: mana yang harus menjadi prioritas?
Pendidikan adalah Investasi, Bukan Sekadar Pengeluaran
Pendidikan yang berkualitas adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Namun, kualitas pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kualitas para pengajarnya.
Gaji guru dan dosen di Indonesia, yang seringkali jauh dari kata layak, menjadi salah satu penghambat utama.
Keterbatasan ekonomi memaksa banyak pendidik untuk mencari penghasilan tambahan, menggerus waktu dan energi yang seharusnya mereka curahkan untuk mengajar dan mengembangkan diri.
Menaikkan gaji guru dan dosen bukan sekadar memberi uang, melainkan sebuah investasi strategis. Dengan gaji yang memadai, profesi guru akan kembali menarik bagi talenta-talenta terbaik bangsa.
Ini akan menciptakan efek domino: guru yang sejahtera, termotivasi, dan fokus akan melahirkan siswa-siswa berkualitas. Inilah fondasi kokoh untuk Indonesia di masa depan.
Efisiensi Anggaran dan Keadilan Sosial dalam Program Bantuan
Tidak ada yang meragukan pentingnya asupan gizi untuk anak-anak, terutama mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera.
Program MBG yang digagas memiliki niat baik. Namun, besarnya anggaran yang lebih dari 300 triliun rupiah dan niat untuk menyalurkannya secara merata ke semua siswa, tanpa memandang kondisi ekonomi, patut dipertanyakan.
Pemberian bantuan sosial secara merata, atau yang dikenal sebagai skema "pukul rata," sering kali tidak efisien dan tidak adil.
Mengapa dana negara harus digunakan untuk memberi makan anak-anak dari keluarga yang sudah sangat mampu?
Dana yang terbuang ini seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor lain yang lebih krusial.
Sebuah program bantuan sosial seharusnya didasarkan pada prinsip keberpihakan dan tepat sasaran.
Alih-alih meratakan bantuan ke semua siswa, dana triliunan rupiah itu seharusnya difokuskan pada mereka yang paling membutuhkan: anak-anak dari keluarga miskin dan rentan.
Dengan cara ini, program MBG akan menjadi jauh lebih efektif dan berdampak nyata dalam mengatasi masalah gizi yang sesungguhnya.
Memilih Jalan yang Lebih Bijaksana
Tentu saja, kita tidak perlu mengorbankan satu program demi program lainnya. Baik peningkatan kualitas guru maupun pemenuhan gizi anak adalah hal penting. Namun, pemerintah harus mampu menentukan prioritas dengan bijak.
Apakah lebih mendesak untuk menggelontorkan dana triliunan rupiah untuk program yang berpotensi tidak tepat sasaran, atau lebih baik mengalokasikannya untuk menyejahterakan para pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini berjuang dengan upah minim?
Meningkatkan gaji guru adalah investasi jangka panjang yang akan menguatkan sistem pendidikan dari akarnya.Â
Sementara itu, program makan gratis bisa dijalankan dengan pendekatan yang lebih cerdas dan efisien, yaitu dengan menyalurkan bantuan secara selektif kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.
Prioritas kita harus jelas. Mari kita bangun fondasi pendidikan yang kuat dengan menyejahterakan para pengajarnya.Â
Ketika guru dan dosen sudah terjamin, mereka bisa fokus mencerdaskan anak bangsa. Barulah dengan begitu, kita bisa memastikan masa depan yang lebih cerah bagi semua.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI