Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: kenapa anak-anak kita selalu tampak lelah?
Mata mereka redup, langkahnya lesu, senyum pun seperti dipaksa. Sekilas, kita menyebutnya sebagai bagian dari "proses belajar". Tapi sesungguhnya, kita sedang menyaksikan generasi yang pelan-pelan terbakar oleh tekanan akademik.
Inilah wajah academic burnout: kelelahan mental, emosional, dan fisik akibat tekanan belajar yang panjang, terus-menerus, dan sistemik.
Lintasan Maraton Bernama Sekolah
Bangun pukul 4 pagi, berangkat sekolah pukul 6, pulang pukul 4 sore, lanjut bimbingan belajar hingga malam. Akhir pekan? Try out. Libur? Latihan olimpiade.
Semua hari terasa sama. Tidak ada ruang untuk berhenti. Tidak ada waktu untuk sekadar menjadi anak-anak.
Apa yang dulu kita sebut pendidikan kini menjelma menjadi lintasan maraton tanpa garis akhir.
Alih-alih membangun semangat dan potensi, sistem kita justru membuat banyak siswa merasa hampa, cemas, dan kelelahan.
Bukan Malas, tapi Lelah yang Tak Tertolong
Banyak anak dicap malas hanya karena mereka menolak ikut bimbel tambahan atau tak mencapai nilai sempurna.
Padahal sering kali mereka bukan tak mau belajar. Mereka hanya burnout.
Terlalu lelah. Terlalu jenuh. Terlalu takut gagal.
Gejala burnout ini sering datang diam-diam:
- Sulit konsentrasi,
- Mudah marah,
- Tidur berlebihan atau justru insomnia,
- Menangis tanpa sebab,
- Merasa hidup ini sia-sia.
Tapi sayangnya, semua itu sering diabaikan. Kita memaksa anak-anak seperti robot, padahal mereka manusia.
Ketika Prestasi Menjadi Dewa, Kesehatan Mental Jadi Korban
Sistem pendidikan kita telah terlalu berorientasi pada angka. Nilai tinggi, ranking kelas, medali emas, akreditasi, masuk PTN unggulan.
Maka yang dikorbankan adalah proses belajar yang sehat dan menyenangkan.
Anak-anak akhirnya tumbuh dengan rasa bersalah ketika gagal, takut mengecewakan orang tua, dan bingung untuk apa mereka belajar.
Bahkan lebih jauh lagi, mereka tak pernah benar-benar belajar mengenal diri sendiri.