Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis | Analis Politik

Menjadi Kompasianer sejak Januari 2019 | Menulis lintas disiplin tanpa batasan genre. Mencari makna lewat berbagai sudut, dari hal-hal paling sunyi hingga yang paling gaduh.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Sampai Petang, Anak Lelah dan Lapar: Potret Pahit Pendidikan SMA/SMK di Sumatera Utara

26 Juli 2025   23:30 Diperbarui: 27 Juli 2025   12:48 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa/siswi SMA di Nias Selatan berjalan kaki dari rumah menuju sekolah. (Sumber gambar: Kabar Nias/kabarnias.com)

Jam menunjukkan pukul 17.15. Ruangan kelas sudah kosong. Seorang siswa SMA baru saja keluar dari sekolah dengan wajah letih. Tasnya menjuntai lemas, keringat di pelipis belum sempat kering. Di rumah, ibunya menunggu sambil menghangatkan makan malam. "Kenapa baru pulang jam segini?" tanyanya pelan. Anak itu hanya mengangguk. Tak menjawab. Tak sanggup menjelaskan. Tubuhnya lebih letih dari kata-kata.

Sebagai pemerhati pendidikan, dan sekaligus warga Sumatera Utara, saya rasanya tak bisa diam melihat keresahan yang merebak dari kota hingga ke pelosok desa.

Sejak tahun ajaran baru dimulai pada 14 Juli lalu, kebijakan sekolah lima hari yang memperpanjang jam belajar siswa SMA dan SMK hingga pukul empat sore mulai diberlakukan di berbagai sekolah di provinsi ini.

Di atas kertas, ini tampak sebagai langkah maju, katanya, agar Sabtu jadi hari libur. Tapi di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya: anak-anak dan guru kita makin lelah, makin tertekan, dan makin kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri.

Ini bukan semata isu lokal. Apa yang terjadi di Sumatera Utara bisa jadi cerminan dari kegagapan kita secara nasional dalam menata ulang sistem pendidikan yang manusiawi. Pendidikan tak boleh hanya jadi angka dan jadwal; ia harus berpijak pada realitas anak-anak yang kita didik.

Lelah, Gerah, dan Tidak Nyaman: Beban Fisik yang Menggerus Semangat

Bayangkan anak-anak duduk dari pagi hingga petang, hampir sembilan jam penuh. Tubuh dan pikiran mereka diperas setiap hari. Seorang siswa pernah mengaku: "Pulang sekolah rasanya sudah remuk, Pak. Jangankan belajar, istirahat saja tak cukup." Dan para guru? Tak jauh beda nasibnya. Mereka juga kelelahan, fisik dan mental.

Ini bukan sekadar lelah biasa. Ini adalah kelelahan struktural yang perlahan mengikis semangat, mematikan motivasi, dan bisa meruntuhkan kualitas pendidikan itu sendiri. Kejenuhan belajar dan mengajar (academic burnout) akan semakin terasa.

Menurut pedoman WHO dan UNICEF, proses belajar harus memperhatikan keseimbangan antara istirahat, aktivitas fisik, dan mental. Tapi kenyataannya, anak-anak kita dituntut terus aktif, di ruang kelas yang sering kali gerah, tanpa AC, dengan seragam yang melekat seharian penuh.

Masalah kebersihan pun timbul. Karena pulang terlalu sore, banyak siswa tak sempat mencuci seragam. Esoknya, mereka harus memakainya lagi. Lembab, bahkan berbau. Ini bukan hanya soal kenyamanan. Ini soal kesehatan, dan lebih jauh lagi, soal rasa percaya diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun