Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis | Analis Politik

Menjadi Kompasianer sejak Januari 2019 | Menulis lintas disiplin tanpa batasan genre. Mencari makna lewat berbagai sudut, dari hal-hal paling sunyi hingga yang paling gaduh.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Sampai Petang, Anak Lelah dan Lapar: Potret Pahit Pendidikan SMA/SMK di Sumatera Utara

26 Juli 2025   23:30 Diperbarui: 27 Juli 2025   12:48 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa/siswi SMA di Nias Selatan berjalan kaki dari rumah menuju sekolah. (Sumber gambar: Kabar Nias/kabarnias.com)

Perut Kosong, Otak Tak Bisa Fokus

Yang lebih mengiris: banyak siswa belajar dalam keadaan lapar. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dijanjikan pemerintah belum berjalan optimal, bahkan tak merata di Sumatera Utara. Di banyak sekolah, siswa harus bertahan sampai sore hanya dengan uang jajan yang pas-pasan, atau bahkan tanpa uang sama sekali.

Kita tak bisa berharap mereka menyerap pelajaran Fisika atau Matematika ketika yang mengganggu pikiran mereka adalah rasa lapar yang menyesakkan. Gizi buruk pada remaja bisa berdampak panjang: dari daya ingat yang menurun, perkembangan otak yang terganggu, hingga masalah kesehatan kronis.

Pendidikan yang memaksa anak bertahan dalam kondisi kelaparan bukan hanya tidak adil, tapi juga bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa.

Anak Desa: Pahlawan Kecil yang Waktunya Dirampas

Di desa-desa Sumatera Utara, siswa SMA/SMK tak hanya berperan sebagai pelajar. Mereka adalah bagian dari tulang punggung keluarga. Usai sekolah, mereka biasanya membantu orang tua di sawah, di laut, atau mengurus rumah. Itu bukan hanya kewajiban, tapi bagian dari pendidikan hidup yang membentuk karakter dan tanggung jawab.

Namun dengan jam pulang yang makin larut, waktu penting ini hilang. Mereka pulang dalam kondisi letih, dan tak lagi sanggup membantu. Ini tak hanya merampas hak mereka untuk berbakti, tapi juga memukul ekonomi keluarga yang menggantungkan sebagian tenaganya pada anak-anak ini.

Kebijakan pendidikan yang mengabaikan realitas sosial justru menciptakan ketimpangan baru. Niat memberi libur Sabtu ternyata malah menjauhkan anak dari peran sosial dan kearifan lokal yang selama ini mereka jalani dengan bangga.

Jarak Tempuh: Lelah Dimulai Bahkan Sebelum Bel Sekolah Bunyi

Realitas lain yang sering diabaikan adalah jauhnya jarak rumah siswa dan guru dari sekolah. Di banyak wilayah di Sumatera Utara, terutama daerah pedesaan atau pegunungan, siswa harus berjalan kaki, naik sepeda motor, atau menumpang angkutan selama 30 menit hingga 1 jam hanya untuk sampai ke sekolah. Belum termasuk medan berat seperti jalan berbatu, berlumpur, atau tanpa penerangan.

Maka ketika sekolah berakhir pukul empat sore, mereka belum benar-benar selesai. Masih ada perjalanan pulang yang jauh dan melelahkan, sebagian bahkan melintasi rute yang rawan dan sepi. Banyak guru mengalami hal serupa, terutama mereka yang mengajar di dua sekolah berbeda, jadwal mereka bertabrakan, dan jam kerja makin kacau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun