Episode 11: Pelarian dan Sebuah Pertemuan Tak Terduga
Sasha merasa hancur. Dikhianati oleh Rendy, diabaikan oleh ayahnya, dan kini dikecewakan oleh Darius—pria yang ia mulai percayai. Hatinya sakit, penuh amarah dan kekecewaan. Tanpa berpikir panjang, ia mengemasi barang-barangnya, melarikan diri dari Jakarta, dari semua orang yang ingin mengendalikan dan memanfaatkannya. Tujuannya hanya satu: mencari ketenangan di tempat yang jauh.
Ia menemukan pelarian itu di Bali. Ia menyewa sebuah vila kecil dan sederhana, terbuat dari kayu yang dicat putih, dengan atap alang-alang yang menaungi teras kecilnya. Pemandangan dari teras itu adalah surga: pantai yang tenang, air laut biru jernih yang berbaris rapi dengan pasir putih bersih. Jauh dari hiruk pikuk kota, ia merasa seperti bernapas lagi. Ia mematikan ponselnya, memutus kontak dengan dunia luar.
Saat Sasha melarikan diri, Darius terus mencarinya. Panggilan teleponnya tak terhitung, pesannya tak dibalas. Ia frustrasi, tapi ia tahu, ia tidak bisa memaksakan kehendaknya pada Sasha.
Di sisi lain, Adnan berusaha memanfaatkan situasi. Ia terus menghubungi Sasha, mencoba menunjukkan dirinya sebagai satu-satunya orang yang peduli. "Sasha, di mana kamu? Aku bisa menemanimu," bujuknya. "Biarkan aku yang melindungi kamu dari pria manipulatif itu." Tapi Sasha hanya ingin sendiri. Ia tidak memberi tahu Adnan keberadaannya. Ia hanya ingin hening.
Di pantai pribadi di depan vilanya, yang hanya berjejer beberapa cottage, Sasha mulai melukis. Ia melukis dengan amarah, menuangkan semua emosinya. Garis-garisnya kasar, warnanya gelap, merefleksikan gejolak jiwanya.
Suatu sore, saat ia sedang melukis, sepasang suami istri senior berjalan melintasi pantai. Pria itu tampak gagah dengan rambut yang mulai memutih, mengenakan kemeja linen putih dan celana pendek selutut. Wanita di sampingnya anggun dengan gaun musim panas, rambutnya digelung rapi, dan matanya memancarkan kehangatan yang familiar. Mereka berjalan beriringan, tangan mereka saling bertautan erat, seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka. Sasha merasa ada sesuatu yang familiar dari raut wajah mereka, terutama mata mereka yang terlihat tenang namun penuh makna.
Pasangan itu berhenti dan mengamati lukisan Sasha.
"Lukisan ini... penuh emosi," ujar si pria senior, suaranya dalam dan tenang. "Penuh luka dan gairah."