"Baiklah," jawab Sasha. "Kita ketemu di kafe biasa."
Di kafe itu, Adnan menatap Sasha dengan tatapan yang penuh perhatian. "Kenapa, Sasha? Ada masalah?"
Sasha mengangguk. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana." Ia menceritakan tentang Darius, tentang bagaimana ia memintanya melukis potret Darian, dan tentang bagaimana ia merasa aman dan terancam pada saat yang bersamaan.
Adnan mendengarkan dengan seksama. Wajahnya yang tenang, kini terlihat serius. "Sasha," ucapnya, "aku tidak suka pria itu. Dia berbahaya. Dia ingin mengendalikanmu, Sasha. Sama seperti Rendy."
Sasha terdiam. Ia menatap Adnan. "Tidak," jawabnya, suaranya pelan tapi tegas. "Darius tidak seperti Rendy."
Adnan terkejut. "Apa maksudmu?"
"Rendy memaksaku. Ia ingin aku menjadi apa yang ia inginkan," jelas Sasha. "Tapi Darius... ia memberiku ruang. Ia membiarkanku menjadi diriku sendiri. Ia bahkan memberiku kebebasan untuk memanggilnya apa pun. Ia berbeda."
Mendengar itu, mata Adnan menyipit. Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi cemburu yang terang-terangan. "Sasha... kamu tidak tahu siapa pria itu sebenarnya. Kamu harusnya tahu, aku yang paling peduli padamu. Aku yang paling mengerti kamu."
"Kenapa kamu harus membandingkan dirimu dengan Darius?" tanya Sasha, ia mulai merasa tidak nyaman.
"Karena aku takut," jawab Adnan, suaranya meninggi. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Kamu hanya milikku, Sasha."
Kata-kata itu, yang seharusnya terdengar romantis, malah membuat Sasha ketakutan. Ia melihat bayangan obsesi yang sama seperti yang ia lihat pada Rendy. Cengkeraman Adnan di tangannya menguat.