"Tangkap dia! Jangan biarkan dia kabur!" perintah Jenderal Haryo kepada Radit, yang langsung menyerbu Bram.
Baku hantam tak terhindarkan. Bram, meski dengan rusuk yang belum pulih sempurna, bertarung mati-matian. Ia tahu misi mereka adalah mendapatkan bukti di brankas itu. Sementara Bram bergelut dengan Radit, Jenderal Haryo membidikkan pistolnya ke arah Bram.
"Aruna! USB!" teriak Bram, menyadari target sebenarnya.
Aruna, yang kini sudah berada di pintu masuk rumah, langsung berlari ke ruang kerja. Ia tahu mereka harus mengambil flash drive itu. Ia membuka brankas yang sudah setengah terbuka oleh Bram, tangannya meraih sebuah USB kecil yang berkilau. Misi berhasil!
Namun, saat ia berbalik, Jenderal Haryo yang marah melihatnya. Ia mengalihkan bidikan pistolnya ke Aruna. "Kembalikan itu, Jalang!"
"Tidak akan!" Aruna berlari menuruni tangga, USB itu digenggam erat.
Di tengah kekacauan itu, pintu utama rumah Jenderal Haryo mendadak didobrak. Dua siluet familiar muncul: Inspektur Budi dan Ajun Inspektur Rendi! Mereka tiba tepat waktu.
Rendi melihat Bram yang kewalahan melawan Radit, dan kemarahan memuncak di dadanya. Ia tahu siapa Radit. Ia juga tahu Jenderal Haryo adalah dalang di balik semua kebusukan ini, termasuk kebusukan yang menewaskan ayahnya. Kilasan ingatan datang menyerbu: ayahnya, terbaring sakit di rumah sakit, namun kematiannya dipercepat oleh tangan tak terlihat Jenderal Haryo. Dendam lama kini menemukan wujudnya.
"Kau!" Rendi meraung, menyerbu Radit dengan amarah membabi buta.
Radit, yang terkejut dengan kedatangan Rendi, menodongkan pistol ke arahnya. DOR!
Budi, dengan refleks kilat, melompat dan menghalau Radit, membuat tembakan itu meleset dari Rendi, namun justru menghantam bahunya sendiri. Darah mengucur dari luka Budi. Radit, melihat Budi terluka, tertawa sinis, tawa yang penuh keji. "Mati kau, pecundang!"