Terdengar helaan napas lega dari seberang. "Nggak, Senja. Nggak apa-apa. Aku nunggu teleponmu. Ini jam berapa di sana?" Suara Awan terdengar lelah, namun penuh kelembutan.
"Jam sebelas malam lewat sedikit. Kamu pasti kecapekan ya?"
"Lumayan. Kedai lumayan ramai, Senja. Tapi ya itu, rasanya ada yang kurang kalau kamu nggak di sini." Awan terdiam sejenak. "Aku kangen banget, Senja. Kangen obrolan kita di kafe. Kangen lihat kamu gambar di sudut." Ia menatap ke arah bangku pojok kafe yang kosong, di mana dulu Senja sering duduk. Sebuah kerinduan yang mendalam terpancar dari matanya, bahkan dari kejauhan.
Senja merasakan matanya memanas. "Aku juga, Wan. Kangen banget. Kangen aroma kopimu, kangen suaramu yang bikin tenang. Di sini semuanya beda. Dingin. Aku kangen kehangatan di sampingmu. Aku kangen senyummu yang bisa menerangi kafe itu." Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya.
"Sstt... jangan nangis. Kamu harus kuat di sana," bujuk Awan, suaranya mencoba menenangkan. "Kedai kopiku 'Senja Rasa' sudah buka, lho. Kamu suka desainnya? Aku kirim fotonya, ya. Aku akan tunggu kamu pulang, Senja. Kapan pun itu. Kamu pulang, ya? Aku mau kamu jadi orang pertama yang minum kopi di meja bar-ku yang baru."
Senja tersenyum pahit, ada genangan air mata di matanya. "Pasti, Wan. Aku janji. Semoga aku bisa datang pas grand opening." Ia tahu, itu nyaris mustahil. Jarak ini, tuntutan pekerjaan ini, seolah menariknya semakin jauh. Namun, ikatan dan perasaan di antara mereka, justru terasa semakin kuat, diuji oleh jarak yang membentang, oleh rindu yang tak terhingga.
Di kantor, Rama menunjukkan sikap yang lebih dari sekadar atasan. Ia selalu memastikan Senja merasa nyaman, sering menanyakan kabar keluarga Senja di Jakarta, dan tak jarang menawarkan diri untuk mengantar Senja pulang. Ia membelikan makanan kesukaan Senja, bahkan membawakan snack di saat Senja lembur. Sikapnya sangat ramah, penuh perhatian, nyaris kebapakan, namun Senja merasa sedikit tidak nyaman. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah insting yang memberitahunya bahwa perhatian ini terasa terlalu berlebihan untuk seorang atasan.
"Senja, kamu jangan terlalu memforsir diri. Nanti sakit. Ingat Bapak dan Jingga di Jakarta, mereka butuh kamu sehat," kata Rama suatu sore, saat melihat Senja masih sibuk di mejanya padahal jam kerja sudah lewat. Ia meletakkan secangkir teh hangat di meja Senja. Ada gurat kekhawatiran yang tulus di wajahnya.
"Terima kasih, Rama. Saya nggak apa-apa. Ini tinggal sedikit lagi," jawab Senja, berusaha tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu. Aku juga masih ada beberapa hal yang harus kuselesaikan di arsip," ujar Rama, bergerak menuju lemari arsip tua di sudut ruangan, yang jarang disentuh. Ia mengamati Senja sesaat sebelum akhirnya membuka pintu lemari.
Suatu sore, Senja diminta Rama untuk merapikan beberapa arsip lama di kantornya, termasuk di lemari arsip yang jarang terpakai itu. Ini tugas yang membosankan, namun ia melakukannya dengan telaten. Saat memilah-milah berkas lama yang berdebu, sebuah amplop usang terjatuh dari tumpukan map. Di dalamnya, ada sebuah foto polaroid yang sudah agak buram.