Mohon tunggu...
Tripviana Hagnese
Tripviana Hagnese Mohon Tunggu... Bisnis, Penulis, Baker

Saya seorang istri, ibu rumah tangga, yang juga mengelola bisnis, ada bakery, laundry, dan parfum.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Senja di Ujung Pelangi (Ep. 6/10)

13 Juni 2025   03:56 Diperbarui: 13 Juni 2025   15:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi

Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 6/10)
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 6/10)

Episode 6: Kota Asing dan Sebuah Rahasia

Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode

Total 10 Episode

#tripvianahagnese

London. Kota dengan arsitektur kuno berpadu modernitas, tempat menara jam Big Ben berdiri gagah dan jalanan basah oleh gerimis yang tak kunjung henti. Bagi Senja, kota ini adalah panggung baru untuk mimpinya, sekaligus penjara rindu yang tak kasat mata.

Ia kini menempati sebuah studio apartemen mungil di dekat kampusnya, tidak jauh dari kantor cabang tempatnya bekerja. Segalanya terasa asing. Aroma roti gandum yang berbeda, hiruk pikuk kereta underground, hingga logat bicara yang kadang membuatnya harus berkonsentrasi penuh. Senja bekerja keras, mengatur waktu antara bekerja di kantor sebagai desainer grafis untuk proyek ekspansi startup Rama dan kuliah desain komunikasi visual. Setiap hari adalah maraton yang melelahkan.

Di tengah kesibukan itu, ia merasa kosong. Dinding apartemen terasa dingin, memantulkan kesepian. Ia sering memandangi layar ponselnya, berharap ada pesan dari Awan. Mereka memang masih sering berkomunikasi, namun telepon mereka kini hanya sebatas kabar singkat. Beda zona waktu membuat jadwal mereka sering bertabrakan. Ketika Senja baru memulai harinya, Awan sudah sibuk di kafe. Ketika Senja baru bisa bersantai, Awan sudah terlelap.

Suatu malam, setelah seharian penuh dengan kuliah dan revisi desain, Senja merebahkan diri di kasur, mencoba menghubungi Awan. Kali ini, Awan mengangkatnya. Suara Awan yang serak, khas orang baru bangun tidur, langsung membuat Senja merasakan rindu yang menusuk.

"Wan... maaf ya kalau ganggu tidurmu," bisik Senja, suaranya lirih.

Terdengar helaan napas lega dari seberang. "Nggak, Senja. Nggak apa-apa. Aku nunggu teleponmu. Ini jam berapa di sana?" Suara Awan terdengar lelah, namun penuh kelembutan.

"Jam sebelas malam lewat sedikit. Kamu pasti kecapekan ya?"

"Lumayan. Kedai lumayan ramai, Senja. Tapi ya itu, rasanya ada yang kurang kalau kamu nggak di sini." Awan terdiam sejenak. "Aku kangen banget, Senja. Kangen obrolan kita di kafe. Kangen lihat kamu gambar di sudut." Ia menatap ke arah bangku pojok kafe yang kosong, di mana dulu Senja sering duduk. Sebuah kerinduan yang mendalam terpancar dari matanya, bahkan dari kejauhan.

Senja merasakan matanya memanas. "Aku juga, Wan. Kangen banget. Kangen aroma kopimu, kangen suaramu yang bikin tenang. Di sini semuanya beda. Dingin. Aku kangen kehangatan di sampingmu. Aku kangen senyummu yang bisa menerangi kafe itu." Sebuah isakan kecil lolos dari bibirnya.

"Sstt... jangan nangis. Kamu harus kuat di sana," bujuk Awan, suaranya mencoba menenangkan. "Kedai kopiku 'Senja Rasa' sudah buka, lho. Kamu suka desainnya? Aku kirim fotonya, ya. Aku akan tunggu kamu pulang, Senja. Kapan pun itu. Kamu pulang, ya? Aku mau kamu jadi orang pertama yang minum kopi di meja bar-ku yang baru."

Senja tersenyum pahit, ada genangan air mata di matanya. "Pasti, Wan. Aku janji. Semoga aku bisa datang pas grand opening." Ia tahu, itu nyaris mustahil. Jarak ini, tuntutan pekerjaan ini, seolah menariknya semakin jauh. Namun, ikatan dan perasaan di antara mereka, justru terasa semakin kuat, diuji oleh jarak yang membentang, oleh rindu yang tak terhingga.

Di kantor, Rama menunjukkan sikap yang lebih dari sekadar atasan. Ia selalu memastikan Senja merasa nyaman, sering menanyakan kabar keluarga Senja di Jakarta, dan tak jarang menawarkan diri untuk mengantar Senja pulang. Ia membelikan makanan kesukaan Senja, bahkan membawakan snack di saat Senja lembur. Sikapnya sangat ramah, penuh perhatian, nyaris kebapakan, namun Senja merasa sedikit tidak nyaman. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah insting yang memberitahunya bahwa perhatian ini terasa terlalu berlebihan untuk seorang atasan.

"Senja, kamu jangan terlalu memforsir diri. Nanti sakit. Ingat Bapak dan Jingga di Jakarta, mereka butuh kamu sehat," kata Rama suatu sore, saat melihat Senja masih sibuk di mejanya padahal jam kerja sudah lewat. Ia meletakkan secangkir teh hangat di meja Senja. Ada gurat kekhawatiran yang tulus di wajahnya.

"Terima kasih, Rama. Saya nggak apa-apa. Ini tinggal sedikit lagi," jawab Senja, berusaha tersenyum.

"Baiklah, kalau begitu. Aku juga masih ada beberapa hal yang harus kuselesaikan di arsip," ujar Rama, bergerak menuju lemari arsip tua di sudut ruangan, yang jarang disentuh. Ia mengamati Senja sesaat sebelum akhirnya membuka pintu lemari.

Suatu sore, Senja diminta Rama untuk merapikan beberapa arsip lama di kantornya, termasuk di lemari arsip yang jarang terpakai itu. Ini tugas yang membosankan, namun ia melakukannya dengan telaten. Saat memilah-milah berkas lama yang berdebu, sebuah amplop usang terjatuh dari tumpukan map. Di dalamnya, ada sebuah foto polaroid yang sudah agak buram.

Foto itu menunjukkan pria yang sangat mirip Rama, seperti Rama muda, mungkin sekitar usia 26 tahun, seperti usia Rama saat ini, sedang tersenyum lebar di samping seorang wanita yang ia peluk erat. Wanita itu... wanita itu memiliki mata yang persis seperti ibunya. Bentuk wajahnya, senyum tipisnya---sangat mirip dengan Ibu Senja, hanya saja di foto itu ia terlihat jauh lebih muda, dengan gaya rambut yang berbeda.

Jantung Senja berdegup kencang, bagai dipalu keras. Tangannya gemetar memegang foto itu. Sebuah kecurigaan besar, sebuah firasat aneh, mulai tumbuh dan melilit di benaknya. Mengapa Rama memiliki foto wanita yang mirip ibunya? Dan mengapa ibunya terlihat begitu akrab dengan laki-laki itu? Apakah ini ibunya Rama? Tapi... laki-laki dan ibunya, apa hubungannya dengan Rama? Senja tidak pernah tahu.

Ia membalik foto itu, mencari tulisan di baliknya, namun tak ada apa-apa selain tanggal buram: "1998". Tahun itu adalah beberapa tahun sebelum kedua orang tua Senja menikah. Otaknya mulai berputar, menghubungkan titik-titik yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tersembunyi di balik senyum ramah Rama dan perhatiannya yang begitu besar.

Senja buru-buru menyembunyikan foto itu di dalam sakunya. Rasa cemas dan kebingungan kini menyelimutinya. London, yang tadinya terasa seperti tempat perjuangan, kini terasa seperti tempat menyimpan rahasia besar yang siap terkuak, mengubah segalanya.

Penemuan foto ini membuka kotak Pandora dalam hidup Senja. Siapa sebenarnya wanita di foto itu? Dan apa hubungannya dengan Rama? Misteri ini akan membawanya pada penemuan yang lebih mengejutkan, dan menguji kembali kekuatan hatinya, bahkan di tengah rindu yang tak terhingga pada Awan.

Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 6/10)
Gambar Milik Tripviana Hagnese: Senja di Ujung Pelangi (Ep. 6/10)

Senja di Ujung Pelangi Tayang setiap hari 3 Episode

Total 10 Episode

#tripvianahagnese

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun