Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Let's talk about life.

IG: cakesbyzas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Banyaknya Orang Keracunan Disebut Masih Wajar, Bahaya Pola Pikir di Balik Angka

29 September 2025   08:17 Diperbarui: 27 September 2025   23:22 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalau audah berbicara tentang kesehatan dan nyawa manusia, tidak ada angka yang layak dibilang kecil (Gemini AI-generated image) 

Ketika Angka Menipu Hati Nurani

Bayangkan suasana di sebuah perusahaan besar. Ribuan karyawan berkumpul, makan siang bersama dengan menu katering yang sudah disiapkan. Semuanya terlihat wajar sampai sore harinya, kabar buruk menyebar cepat. Ratusan orang mendadak mual, muntah, dan harus dibawa ke klinik. Jumlahnya mencapai seratus orang.

Tapi, ketika keluhan diajukan ke kepala katering, jawabannya justru membuat darah mendidih. Ia berkata dengan tenang, "Kalau dilihat dari total 10.000 orang yang makan, sebenarnya yang keracunan cuma 1%. Itu angka kecil, masih wajar."

Di titik inilah kita bisa melihat bagaimana angka bisa menipu hati nurani. Seolah-olah logika statistik bisa dipakai untuk menutupi fakta kalau ada seratus manusia yang benar-benar merasakan penderitaan fisik. Padahal, bahkan kalau cuma satu orang saja yang sampai terbaring sakit, itu sudah terlalu banyak. Karena kita sedang berbicara soal kesehatan, soal nyawa, soal amanah.

Lalu, mengapa pola pikir seperti itu sangat berbahaya? Dan apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini untuk kehidupan sehari-hari---baik di tempat kerja maupun di luar sana?

Angka yang Membius, Nyawa yang Terlupakan

Di dunia kerja, angka memang punya daya tarik yang luar biasa. KPI, persentase, efisiensi, target, semua itu jadi alat ukur yang dipakai setiap hari. Tidak ada yang salah dengan itu. Angka membantu memberi arah, mengukur pencapaian, dan memudahkan komunikasi.

Tapi masalah muncul ketika angka dipakai sebagai tameng. Ketika ada masalah nyata, lalu orang berlindung di balik statistik untuk mengurangi rasa bersalah. Seratus orang keracunan makanan diubah menjadi "cuma 1%".

Ini mirip seperti seseorang yang menabrak pejalan kaki lalu berkata, "Toh cuma satu orang dari sekian juta pengguna jalan." Logika seperti itu dingin, kering, dan berbahaya. Karena pada akhirnya, yang terlupakan adalah wajah-wajah manusia di balik angka itu. Orang yang meringis menahan sakit, keluarga yang cemas, anak yang kehilangan tenaga karena muntah sepanjang malam.

Dalam filsafat moral, ini disebut problem "dehumanisasi angka". Kita terbiasa menghitung, tapi lupa merasakan. Padahal manusia bukan deret persentase. Setiap orang adalah dunia yang penuh cerita, yang tak bisa direduksi jadi angka kecil di laporan.

Saat Empati Dikalahkan Statistik

Kalau Anda pernah mengalami sakit perut karena makanan, Anda tahu betapa tidak nyamannya kondisi itu. Tubuh lemas, perut melilit, bahkan kadang sulit tidur. Sekarang bayangkan itu menimpa seratus orang sekaligus di satu perusahaan. Klinik kewalahan, produktivitas terganggu, suasana kantor berubah panik.

Tapi ada orang yang justru berkata, "Angkanya kecil, jadi ini bukan masalah besar." Inilah titik berbahaya ketika empati dikalahkan oleh statistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun