Ketika Angka Menipu Hati Nurani
Bayangkan suasana di sebuah perusahaan besar. Ribuan karyawan berkumpul, makan siang bersama dengan menu katering yang sudah disiapkan. Semuanya terlihat wajar sampai sore harinya, kabar buruk menyebar cepat. Ratusan orang mendadak mual, muntah, dan harus dibawa ke klinik. Jumlahnya mencapai seratus orang.
Tapi, ketika keluhan diajukan ke kepala katering, jawabannya justru membuat darah mendidih. Ia berkata dengan tenang, "Kalau dilihat dari total 10.000 orang yang makan, sebenarnya yang keracunan cuma 1%. Itu angka kecil, masih wajar."
Di titik inilah kita bisa melihat bagaimana angka bisa menipu hati nurani. Seolah-olah logika statistik bisa dipakai untuk menutupi fakta kalau ada seratus manusia yang benar-benar merasakan penderitaan fisik. Padahal, bahkan kalau cuma satu orang saja yang sampai terbaring sakit, itu sudah terlalu banyak. Karena kita sedang berbicara soal kesehatan, soal nyawa, soal amanah.
Lalu, mengapa pola pikir seperti itu sangat berbahaya? Dan apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini untuk kehidupan sehari-hari---baik di tempat kerja maupun di luar sana?
Angka yang Membius, Nyawa yang Terlupakan
Di dunia kerja, angka memang punya daya tarik yang luar biasa. KPI, persentase, efisiensi, target, semua itu jadi alat ukur yang dipakai setiap hari. Tidak ada yang salah dengan itu. Angka membantu memberi arah, mengukur pencapaian, dan memudahkan komunikasi.
Tapi masalah muncul ketika angka dipakai sebagai tameng. Ketika ada masalah nyata, lalu orang berlindung di balik statistik untuk mengurangi rasa bersalah. Seratus orang keracunan makanan diubah menjadi "cuma 1%".
Ini mirip seperti seseorang yang menabrak pejalan kaki lalu berkata, "Toh cuma satu orang dari sekian juta pengguna jalan." Logika seperti itu dingin, kering, dan berbahaya. Karena pada akhirnya, yang terlupakan adalah wajah-wajah manusia di balik angka itu. Orang yang meringis menahan sakit, keluarga yang cemas, anak yang kehilangan tenaga karena muntah sepanjang malam.
Dalam filsafat moral, ini disebut problem "dehumanisasi angka". Kita terbiasa menghitung, tapi lupa merasakan. Padahal manusia bukan deret persentase. Setiap orang adalah dunia yang penuh cerita, yang tak bisa direduksi jadi angka kecil di laporan.
Saat Empati Dikalahkan Statistik
Kalau Anda pernah mengalami sakit perut karena makanan, Anda tahu betapa tidak nyamannya kondisi itu. Tubuh lemas, perut melilit, bahkan kadang sulit tidur. Sekarang bayangkan itu menimpa seratus orang sekaligus di satu perusahaan. Klinik kewalahan, produktivitas terganggu, suasana kantor berubah panik.
Tapi ada orang yang justru berkata, "Angkanya kecil, jadi ini bukan masalah besar." Inilah titik berbahaya ketika empati dikalahkan oleh statistik.