Ada sebuah ironi yang sering terjadi di zaman sekarang. Seorang pria hidupnya terlihat lengkap. Ia punya rumah yang nyaman, mobil yang layak, pekerjaan tetap, istri yang mendampingi, dan anak-anak yang sehat. Kalau dilihat dari kacamata umum, hidupnya baik-baik saja. Bahkan banyak orang mungkin diam-diam iri dengan stabilitas hidupnya.
Tapi entah mengapa, ada sebuah perasaan aneh yang datang setiap kali ia membuka media sosial. Saat melihat orang lain memamerkan rumah baru, liburan mewah, atau barang-barang branded, dadanya terasa sesak. Ada rasa kurang. Seolah-olah apa yang ia punya tidak cukup. Padahal kalau dipikir baik-baik, ia sudah berada di posisi yang dulu cuma bisa ia impikan.
Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Dan bagaimana cara Anda menyikapinya supaya hati tetap tenang, tanpa harus terjebak dalam pusaran perbandingan yang tidak ada habisnya? Mari kita bahas perlahan.
Dunia yang Terlihat Lebih Indah di Layar
Media sosial menciptakan panggung raksasa tempat orang bisa menampilkan versi terbaik dari hidup mereka. Foto keluarga yang serasi, makanan enak di restoran mahal, liburan di pantai eksotis, atau pencapaian karier yang mengesankan.
Tidak ada yang salah dengan itu. Setiap orang berhak berbagi kebahagiaan. Tapi masalah muncul ketika Anda mulai lupa kalau yang ditampilkan hanyalah potongan cerita, bukan keseluruhan hidup seseorang.
Bayangkan sebuah film. Anda cuma melihat highlight terbaik dari aktornya. Anda tidak melihat momen-momen ketika aktor itu sakit, merasa gagal, atau menangis sendirian. Media sosial bekerja dengan cara yang sama. Orang lebih suka menunjukkan sisi yang bisa dibanggakan.
Akhirnya, muncul ilusi. Seolah-olah semua orang hidupnya lebih bahagia, lebih kaya, lebih sukses daripada Anda. Padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.
Mengapa Rasa Kurang Itu Muncul?
Secara psikologi, ada istilah social comparison theory. Teorinya sederhana: manusia cenderung menilai dirinya dengan cara membandingkan dengan orang lain. Kalau membandingkan ke bawah (dengan orang yang lebih sulit hidupnya), biasanya muncul rasa syukur atau puas. Kalau membandingkan ke atas (dengan orang yang terlihat lebih sukses), biasanya muncul rasa kurang atau iri.
Di satu sisi, perbandingan bisa memotivasi. Anda bisa terdorong bekerja lebih keras karena ingin mencapai sesuatu. Tapi di sisi lain, kalau terlalu sering terjadi, apalagi lewat media sosial yang penuh pencitraan, perasaan itu berubah menjadi racun. Anda merasa tidak cukup, bahkan ketika hidup Anda sebenarnya baik-baik saja.
Di sinilah letak bahayanya. Rasa kurang itu tidak lahir karena kebutuhan nyata, tapi karena bayangan semu yang terus dipupuk oleh konten-konten digital.