Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perpus Misterius

20 Desember 2024   05:09 Diperbarui: 23 Desember 2024   03:36 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

'Mbak, saya sudah di lokasi, tapi tidak melihat ada rumah cat hitam seperti yang kamu sebutkan!' Segera kukirim pesan itu. Aku asal saja panggil dia 'mbak', padahal belum tahu dia laki-laki atau perempuan. Tapi tidak ada bantahan. Berarti dugaanku benar.

Aku mencari-cari mungkin ada seseorang yang bisa aku tanyai, namun sepanjang jalan tak terlihat ada seorang pun. Rumah-rumah mewah berhalaman luas yang berjajar di sebelah kanan-kiri jalan pun tampak layaknya pemakaman. Terlihat sangat sepi.

'Rumah warna hitam?' pikirku sedikit penasaran. Itu warna yang janggal buat rumah.

Terdengar bunyi ponsel. Aku periksa pesan masuk. 'Ada gang kecil di sebelah kiri jalan. Masuk lewat situ!'

Oh ini dia! Gang yang seolah-olah baru muncul ketika mataku selesai membaca pesannya. Aneh, kenapa sebelumnya tak kulihat. Lebih aneh lagi, di antara rumah-rumah mewah kok ada gang kecil, yang hanya cukup dilewati sepeda motor.

Aku berbelok melenggang masuk ke gang, yang lebih tepat di sebut jalan setapak, karena banyak ditumbuhi rumput. Rupanya gang itu mengarah pada sebuah pekarangan di mana sebuah rumah berukuran besar berdiri megah.

Dedaunan kering menutupi nyaris seluruh halaman yang kuinjak. Tebalnya hampir menenggelamkan alas sepatu. Pasti penghuninya malas bersih-bersih halaman.

Aku akui, kadang aku tertantang untuk menjelajahi tempat asing dan misterius. Terpengaruh film fiksi, yang tokoh utamanya kemudian menemukan pusaka atau sebuah kitab kuno, yang membuatnya menjadi sakti, atau menemukan harta karun yang membuatnya mendadak jadi kaya raya. Imaginasi kekanak-kanakan yang aku biarkan terawat rapi.

'Mbak, saya sudah di depan rumah.' Kukirim pesan lagi, sebab dia tidak pernah mau mengangkat jika ditilpun. 'Tapi kelihatannya kok rumah sepi. Gak ada orang!' 

Tidak ada balasan. Aku baru menyadari bahwa ternyata tidak ada sinyal. 'Tapi kenapa dia bisa mengirim pesan?' pikirku. 'Jangan-jangan dia memang mau sengaja menyesatkanku!'

Mendadak kurasakan angin berhenti berembus, terlampau sunyi sampai aku takut untuk melangkahkan kaki agar tak menimbulkan suara berisik dari daun-daun kering. Tempat itu pun bisa dibilang cukup mencekam, sampai aku bisa mendengar degup jantungku sendiri.

Sambil terus memeriksa sekeliling, berharap ketemu salah seorang penghuni rumah. Namun tak kutemukan tanda-tanda ada kehidupan di dalam sana. Aku periksa ponsel lagi. Berharap ada sinyal.

Tiba-tiba mataku tertuju pada pesan dari pemiliknya yang menunjukan angka tahun telah lewat. Setahun yang lalu. Tidak masuk akal! Pasti ada kesalahan dalam pengaturan waktu di ponsel.

Tepat di saat memutuskan untuk menyerah, tiba-tiba pintu utama terbuka. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan memanggil dengan suara lembut, "Maaf sudah nunggu lama, Mas!"

Jantungku berdetak cepat, antara kaget dan senang. "Ah enggak. Iya sih, tapi gak apa-apa! Selamat sore, Mbak!"

"Selamat sore! Maaf soalnya tadi masih sibuk di dapur! Lagi mecoba masak resep baru! Kenalkan, saya Meta!"

"Saya mau mengembalikan ponsel! Maaf saya..."

"Oh betul, Mas. Itu ponsel saya yang hilang!"

Aku sodorkan ponsel terkutuk itu dan ingin segera menyingkir, "Maaf, saya kemarin belinya dua ratus ribu! Maaf lho, Mbak!"

"Tidak apa-apa, Mas. Saya paham. Nanti pasti saya ganti. Tapi silakan masuk dulu!" Ia memberi jalan seraya berpegangan pada gagang pintu yang seakan-akan hendak memaksa menutup sendiri. "Kebetulan saya baru masak sup lidah bakar. Saya akan senang hati jika Mas bersedia mencicipinya! Pasti belum pernah tahu kan? Ini asli resep hasil kreasi saya sendiri!"

Senyum manisnya menumpas segala kejengkelanku. Kelemahanku yang paling fatal, aku mudah terpesona oleh kecantikan. Apalagi gadis itu memang, terus terang, sangat menarik hati.

"Lidah bakar?" Mendadak hidungku mencium daging terbakar.

"Iya, belum pernah tahu kan? Mari silakan masuk, Mas!"

Gadis tinggi semampai berambut hitam panjang itu membawaku ke ruang makan. Mempersilakan agar aku duduk di sebuah kursi yang sepertinya sudah ia siapkan.

"Mbak Meta di rumah sendirian?"

"Sama suamiku. Dia masih bekerja di kampus. Pulangnya malam! Tunggu sebentar ya, Mas!"

"Kerja di kampus? Dosen?"

"Iya, tapi juga kepala perpus!"

'Kepala perpus kok bisa sekaya ini!' "Universitas apa, Mbak?"

Dari dapur ia menyebut nama kampusnya.

"Apakah Pak Doktor Dodit?"

"Betul! Mas kenal?"

"Itu kan kampusku juga!" Hm.., aku mulai mengendus sesuatu yang mencurigakan. Doktor Dodit, pria berumur di atas empat puluh tahun, menikah dengan seorang mahasiswi dan memiliki kekayaan yang luar biasa.

"Dulu aku pengunjung setia perpus, jadi akhirnya akrab sama dia!" urainya seolah bisa membaca rasa penasaranku. "Nah, akhirnya lama-lama aku tahu di lantai atas perpus itu ada percetakan yang mencetak buku-buku best seller! Tapi ini rahasia lho. Jangan diceritakan ke orang lain!"

"Apakah itu bukan pembajakan namanya?"

"Iya sih. Tapi kata suamiku tidak apa-apa demi mencerdaskan kehidupan bangsa!"

Terdengar klise. Menghalalkan perbuatan haram berkedok dalih mulia.

Tidak berselang lama kemudian, ia kembali muncul dari arah dapur. Kedua tangannya tampak membawa piring besar berisi makanan. Asap tipis mengepul. "Mas, mau minum?"

"Minum? Ah, air putih saja, Mbak!"

"Ini sudah saya buatkan lemon tea. Maksud saya minuman beralkohol. Jangan khawatir, alkoholnya rendah kok!"

"Trima kasih, tapi saya suka lemon tea saja!"

Saat ia meletakan piring di atas meja, tercium aroma daging gosong yang menyengat. Aku yakin dia baru belajar memasak, sehingga sampai kegosongan.

"Tahu nggak, percetakan itu konon sudah berjalan belasan tahun!" imbuhnya masih soal pembajakan buku di perpus.

"Ha..? belasan tahun?" Kanapa selama ini tidak ada seorang pun yang tahu, bahkan tidak ada yang menaruh curiga. Pantas saja perpustakaan itu tampak misterius. Barangkali disengaja agar segala praktik jahat di dalamnya tetap aman.

Terbayang olehku Pak Doktor Dodit yang flamboyant. Tampak santun, cerdas, dan menjadi idola banyak mahasiswi. Akan tetapi, di balik semua itu, dia adalah otak pembajakan buku. Aku jadi teringat rumor beberapa orang yang tadinya aku anggap fitnah, bahwa di perpus itu juga biasa dijadikan tempat mesum. Pikaranku tiba-tiba mengarah pada dugaan bahwa mahasiswi di depanku itu adalah istri simpanan Sang Doktor.

Gadis cantik itu dengan telaten menuangkan minum ke gelas ramping dengan takaran yang tepat, setidaknya kedua gelas itu sama persis tingginya. Ia lalu mengambil tempat duduk berhadapan dan menawarkan hasil masakannya dengan penuh percaya diri. "Silakan, Mas! Ini masakan lidah bakar!"

Aku tertegun. Kok ada gadis cantik yang demikian murah hati. Terlalu baik kepada orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Aku menduga-duga apakah ia melakukan hal seperti ini kepada semua orang asing? "Aku masih sulit percaya kalau seorang kepala perpus menjadi dalang pembajakan buku!"

"Ya untung masih nyetak buku, bukan nyetak uang palsu! Ha..ha..! Tapi asyik kalau bisa nyetak uang sendiri!"

"Wah, bisa juga lho! Biasanya bisnis kejahatan itu tidak tunggal!"

"Lupakan dulu itu. Silakan dicicipi, Mas!" ulangnya dengan nada suara sedikit naik, karena ia pikir tadi aku tidak mendengar.

"Oh iya. Sebetulnya aku itu mengurangi makan daging, Mbak!" 'Tepatnya menghindari makan daging gosong'. Aku mengambil seiris yang sisi-sisinya telah menjadi kehitaman. "Soalnya takut...!"

"Takut kolesterol!"

"Iya. Di samping daging juga meningkatkan asam urat! Kata orang-orang begitu!"

"He..he.., jangan percaya omongan orang! Tidak semua benar!"

"Setuju!"

Hembusan angin dari taman di samping ruang makan, menerpa anak-anak rambutnya. Sepasang mata jeli memancar cantik. Taman dengan segala panoramanya, meja dan peralatan makan yang mewah, pasti akan jadi momen abadi dalam memoriku.

Aku gigit seiris kecil, dan benar saja, rasanya pahit. Sesuai penampilannya. Aku meneguk air minum dan berusaha meyakinkan diri bahwa semua itu akan secepatnya berlalu.

"Bagaimana rasanya, Mas?"

"Hmm.., lumayan enak! Bumbu rempah-rempahnya pas! Terima kasih untuk hidangannya."

"Jujur?"

"Iya, aku gak bohong," dustaku. Menurutku berdusta untuk menyenangkan hati orang tidak apa-apa. "Mbak Meta, pasti suka masak ya?"

Tersungging senyum tersipu malu dari bibirnya yang berwarna merah merona. "Iya suka!" Jemarinya dengan terampil mengiris potongan daging agar sesuai dengan suapan untuk mulutnya.

"Cuma!" celetukku, "Pasti akan jauh lebih nikmat jika dagingnya tidak terlalu matang!" 'Salah, yang benar tidak gosong'.

"Sekarang kan banyak tukang goreng! Jadi gak seru kalau gak sampai gosong?"

"Maksudnya?"

"Aku yakin Mas pasti paham maksudku!"

"Tukang goreng di media sosial?"

"Nah itu!"

"Berarti menu gosong jadi favorit ya?"

"Iya betul. Makanan ini juga gorengan gosong namanya!" sahutnya sambil tertawa cekikikan, dan mendadak aku melihat kulitnya yang tadi putih pucat, perlahan-lahan menghitam. Merambat dari tangan naik ke atas.

Aku segera berdiri menjauhi meja. Panik menyergap. Rasanya udara semakin pengap, dan dadaku berdegup semakin cepat. Aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang kulihat, sampai nyaris membuatku pingsan karena ngeri.

Kulihat sekeliling ruangan terbakar. Secara cepat sekujur tubuh gadis itu terjilat api. Menyaksikannya membuatku semakin menggigil hebat.

Kini tampak luka bakar parah di wajahnya, dengan kedua mata yang melotot keluar dari kelopak. Lidah yang gosong terjulur keluar dari bibir yang masih mencoba tersenyum lebar, hingga merobek mukanya.

Aku cepat berlari keluar rumah. Sialnya, aku tidak menemukan jalan keluar. Pintu yang tadi kulewati seperti menghilang. Kini, api tampak semakin liar, ditambah bunyi-bunyi berbagai benda yang dilahap api, yang terdengar tak karuan. Suara-suara itu ditimpa jerit tangis yang terdengar semakin mengerikan, sampai aku tak saggup lagi mendengarnya.

Aku terjebak di tempat itu. Entah berapa lama aku berulang-ulang membaca Ayat Kursi. Sulit. Rasanya sangat sulit untuk membaca hingga tuntas. Berkali-kali mengulang dari depan, sampai akhirnya aku terjaga dari tidur. Aku tertidur di perpustakaan misterius.

Seolah ada yang memberi tahu bahwa dulu rumah itu kebakaran, dan gadis itu tewas karena terjebak di dalam rumah.

"Alhamdulillah!" Aku bersyukur, tidak terjebak di tempat itu. Sesuatu yang tadinya tampak begitu nyata rupanya hanya mimpi.

Aku meraih botol air putih di atas meja. Degup jantung melaju tidak seperti biasanya. Tenggorokan kering, dan saat menelan ludah terasa pahit. Seperti ada sisa gorengan gosong yang mengganjal di kerongkongan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun