Banyak orang tua berpikir bahwa urusan pendidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Padahal, keterlibatan orang tua secara aktif adalah kunci sukses pendidikan anak. Penelitian dari Harvard Family Research Project (2017) menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan nilai akademik, motivasi belajar, dan kedisiplinan anak.
Sayangnya, partisipasi orang tua di Indonesia masih tergolong rendah. Menurut Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud (2021), hanya 34% orang tua yang secara rutin berkomunikasi dengan guru atau mengikuti kegiatan sekolah. Padahal, komunikasi dua arah antara guru dan orang tua sangat penting untuk memahami kebutuhan dan perkembangan murid secara utuh.
Orang tua seharusnya menjadi mitra aktif: menghadiri rapat sekolah, memantau PR anak, berdiskusi dengan guru, dan menciptakan suasana belajar yang positif di rumah. Hal-hal sederhana seperti menanyakan "Bagaimana hari ini di sekolah?" bisa menjadi awal yang penting untuk membangun keterlibatan.
Mengapa Sinergi Ini Penting?
Bayangkan jika guru mengajar dengan semangat, murid belajar dengan antusias, dan orang tua mendukung dengan sepenuh hati. Inilah ekosistem pendidikan yang ideal. Sinergi ini menciptakan rasa tanggung jawab bersama, bukan saling menyalahkan saat hasil tidak sesuai harapan.
Dalam sistem yang terintegrasi, guru dapat menyesuaikan metode mengajar berdasarkan masukan orang tua, murid bisa berkembang sesuai potensinya, dan orang tua mendapat kejelasan mengenai arah pendidikan anaknya. Pendidikan pun tidak lagi menjadi beban, melainkan perjalanan bersama.
Lebih dari itu, sinergi ini membentuk nilai-nilai penting dalam diri anak, seperti kejujuran, kerja keras, dan kepedulian sosial. Ketika rumah dan sekolah menyuarakan nilai yang sama, anak-anak akan tumbuh dengan fondasi karakter yang kuat.
Menghadapi Tantangan Bersama
Pendidikan hari ini dihadapkan pada tantangan luar biasa: ketimpangan akses, perubahan kurikulum, tekanan akademik, hingga kecanduan gawai. Semua itu tidak mungkin diselesaikan oleh guru sendirian.
Ketika seorang anak kecanduan gadget, solusinya tidak cukup hanya dengan menegur dari sekolah. Orang tua harus ikut turun tangan. Ketika seorang murid menunjukkan gejala stres akademik, guru perlu berdiskusi dengan orang tua dan mencari pendekatan yang tepat. Inilah pentingnya komunikasi terbuka dan kolaborasi yang empatik.
Di era digital ini, platform seperti WhatsApp, Google Classroom, dan portal pembelajaran daring dapat menjadi jembatan komunikasi antara guru, murid, dan orang tua. Teknologi seharusnya mendekatkan, bukan menjauhkan.