Dari Wirasaba ke Toyamas (5) - Adipati Wargautama Memberi Pesan Terakhir
Oleh: Toto Endargo -- Membaca Babad Wirasaba  Â
Pendahuluan
Menjelang ajalnya, Ki Adipati Wargautama masih menunjukkan ketenangan seorang pemimpin yang matang dalam budi. Di tengah luka parah dan kepedihan pengikutnya, beliau menyampaikan wejangan terakhir --- bukan hanya untuk keluarga, tetapi juga untuk masa depan keturunan Wirasaba. Pesan ini sarat nilai sosial, simbol budaya, dan peringatan yang terus diingat generasi berikutnya.
Narasi
Sebelum menghembuskan napas terakhir, Ki Adipati mendengar para gandhek berbisik-bisik menyalahkan satu sama lain. Dengan pelan beliau berkata:
"Sudahlah, jangan saling menyalahkan, wahai para gandhek semua. Kalau pikiranmu kacau, semua nanti akan celaka. Segala sesuatu hendaknya dirundingkan baik-baik, jangan sampai berselisih pikiran. Katakan saja bahwa sudah terjadi kesalahpahaman. Kalau sudah sampai ajal, jangan disesali. Kalau hidup rukun, perjalanan akan baik. Aku hanyalah kehendak Hyang Agung, juga titah Sri Narapati, aku hanya dijadikan jalan saja. Tidak bisa dihindari, karena sudah menjadi takdirnya."
Kepada para prajurit pengikutnya, beliau berpesan:
"Saksikanlah pesanku ini: anak-cucuku jangan sampai menikah dengan orang Toyareka di kemudian hari. Jangan ada yang memakai kuda berbulu merah. Jangan pula memakai bale bapang lagi, dan jangan makan daging angsa setelah aku tiada. Dan jangan bepergian pada hari Sabtu Pahing. Ingatlah itu semua sebagai pesanku terakhir!"
Setelah itu, Ki Adipati berpulang. Tangis keluarga dan rakyat pecah, menggema di rumah tempat beliau menghembuskan napas terakhir.
Kepemimpinan di Ujung Hayat
Dalam budaya Jawa, pemimpin ideal adalah yang tetap bijaksana dalam kondisi terburuk. Ki Adipati, meski berada di ambang kematian, memilih meredakan konflik di antara para utusan. Ini menunjukkan konsep pamong (pengayom) yang mengutamakan kerukunan di atas dendam pribadi.
Simbolisme Larangan
- Tidak menikah dengan orang Toyareka kemungkinan besar mencerminkan luka politik atau pengkhianatan yang berasal dari wilayah tersebut. Dalam simbol budaya Jawa, larangan ini menjadi bentuk pamalih (penjaga identitas dan kehormatan keluarga).
- Tidak memakai kuda berbulu merah (wulu abrit)Â warna merah dalam konteks ini bisa melambangkan darah atau pertanda sial.
- Tidak memakai bale bapang mungkin berkaitan dengan tempat terakhir beliau dijamu sebelum ditikam.
- Tidak makan daging angsa menghindari mengulang momen tragis di mana hidangan itu menjadi bagian dari hari kematiannya.
- Tidak bepergian di Sabtu Pahing dalam penanggalan Jawa, Sabtu Pahing bisa dianggap dina ala (hari sial) untuk keluarga beliau.
Filosofi Menerima Takdir
Kalimat "Aku hanyalah kehendak Hyang Agung... sudah menjadi takdirnya" adalah inti dari pandangan Jawa tentang laku pasrah. Ini bukan sekadar menerima kematian, tetapi menyadari bahwa hidup manusia hanyalah bagian kecil dari alur kosmis yang lebih besar.
Baca selanjutnya: Kuda Sang Adipati Warga Utama Melepas Kendali
Implikasi Sosial-Politik
Pesan terakhir ini bukan hanya nasihat keluarga, tetapi juga menjadi semacam piagam moral bagi rakyat Wirasaba. Larangan-larangan tersebut memperkuat identitas kolektif dan menjadi penanda sejarah bahwa tragedi ini tidak boleh dilupakan, sekaligus membangun batas sosial terhadap pihak-pihak yang dianggap berbahaya secara politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI