Turunan Sejarah Wirasaba lebih dapat dipercaya sebagai acuan utama, karena konsisten dalam menyebut empat anak Wargautama beserta pembagian tanahnya.
Betapa pentingnya Onje dalam perjalanan sejarah Purbalingga. Ia adalah desa kecil, menjadi simpul strategis yang berjaya menjadi Kadipaten Purbalingga
Wirasaba telah menjadi saksi bisu bagaimana sebuah wilayah kecil ikut terseret dalam arus besar politik kerajaan-kerajaan Jawa.
Membaca ulang Turunan Sejarah Wirasaba mengingatkan kita bahwa pembagian empat wilayah — Senon, Wirasaba, Toyareka, dan Pasir — hanya fragmen politik.
Babad ini cermin, bagaimana orang Jawa memandang kekuasaan sebagai perpaduan antara politik praktis, nilai-nilai budaya, dan legitimasi spiritual.
Dari Wirasaba ke Toyamas, negeri ini tidak hanya menjadi simbol perpindahan kekuasaan, tetapi juga pusat kemakmuran dan budaya.
Ki Adipati Wargautama menerima petunjuk gaib yang mendorong perubahan besar: memindahkan pusat pemerintahan ke Bumi Kejawar.
Raja menyatakan jelas: Putra Kejawar diangkat menggantikan mertuanya sebagai Adipati Wirasaba, dengan gelar nunggak semi dan nama resmi Wargautama.
Serangwati berada di posisi sulit — bukan penguasa, tetapi menjadi penghubung antara istana Pajang dan keluarga Wirasaba.
Dalam politik Jawa, penyesalan bisa jadi dari bagian strategi retorika: memberi kesan empati, untuk menutupi perintah yang telah menimbulkan korban
Ki Adipati Margautamasebagai pemimpin yang dicintai, bahkan oleh hewan tunggangannya
Ki Adipati Wargautama, meski berada di ambang kematian, memilih meredakan konflik di antara para utusan. Ini menunjukkan konsep pamong (pengayom).
Gugurnya Ki Adipati Wargautama meski Sultan telah memerintahkan pembatalan eksekusi bisa menimbulkan krisis legitimasi bagi Pajang.
Keputusan Sultan Pajang yang tergesa-gesa memberi perintah eksekusi adalah gambaran nyata monarki absolut Jawa pada abad ke-16.
Sultan yang terpengaruh amarah dan “bisikan iblis” menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa kendali eling, dan gegabah, akan dapat melahirkan sebuah tragedi.
Sikap Rara Sukartijah sebagai bentuk eling lan waspada—kesadaran bahwa pernikahan yang tidak dilandasi keselarasan batin akan membawa penderitaan.
Adipati Wirasaba, ia menemukan cahaya itu di Kejawar — bukan dari putra bangsawan, melainkan dari anak pungut yang bercahaya.
Munculnya Jaka Warga sebagai pemimpin muda membuka lembaran baru dalam sejarah Wirasaba.
Ki Tolih dari Kaleng hingga Cikakak, langkahnya adalah perjalanan batin seorang bijak, meninggalkan simbol kekuasaan, demi merawat kebebasan batin.
Ki Tolih melihat bahwa cahaya nasib Bagus Mangun akan bersinar lebih jauh, jauh melampaui batas sawah dan kebiasaan kampung.