Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Babad Wirasaba: Ki Tolih - Warisan Wrangka Gajah Endra dan Perjalanan Menuju Cikakak

10 Agustus 2025   23:20 Diperbarui: 1 September 2025   14:05 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca Babad Wirasaba (10) - ChatGPT

Babad Wirasaba: Ki Tolih - Warisan Wrangka Gajah Endra dan Perjalanan Menuju Cikakak

Oleh: Toto Endargo -- Membaca Babad Wirasaba (10)

Pendahuluan

Episode ini mengisahkan babak penting dalam perjalanan hidup Ki Tolih, tokoh bijak yang menjaga keseimbangan antara kuasa lahir dan batin. Setelah sebelumnya memperoleh wrangka Keris Gajah Endra dari Kyai Mranggi Kejawar, Ki Tolih kini menuju Kaleng untuk menyerahkan wrangka keris tersebut kepada Ki Banyak Kumara, Dipati Kaleng.
Peristiwa ini bukan sekadar penyerahan benda pusaka, tetapi juga pemindahan tanggung jawab spiritual dan legitimasi simbolik kepada generasi penerus. Dari sudut pandang politik-budaya, momen ini merupakan "transfer" makna kekuasaan tanpa upacara formal kenegaraan, namun sarat nilai filosofis Jawa.

Transliterasi Naskah (Tembang Mijil)

  • Pan sineru lampahe Ki Tolih, ngenut tan kacarios, sampun prapta ing Kaleng lampahe, wis kepanggih lan Ki Kaleng aglis, sasalaman sami, wus tata alungguh.
  • Tuwin sira Nyai Dipati, atur salam gupoh, Kyai Tolih alon wecanane. "Heh ta Kyai, kula nuwun pamit, kantuna basuki, kula nganyut tuwuh.
  • Nutugaken sasedyaning galih, kula arsa ngulon", Ki Dipati ing Kaleng wuwuse, "Lah bok sampun kesah saking ngriki, tulusa Kiyai, dadosa tetunggul.
  • Tulusa dados jimat paripih", Ki Tolih lingnya lon, "Lan Kaleng amurda pasihane, nanging kedah kawula lumaris, kang sarungan keris, lah punika katur.
  • Sinimpena ing sapungkur mami, presasat wak ingong, taksih wonten ing ngriki wiyose, inggih dados jimat paripih, dhumatenga benjing, ing saturunipun".
  • Sigra Ki Dipati Kaleng aglis, nampi wrangka gupoh, apan sarwi ngrerepa ature, "Sakalangkung kasuwun ingkang sih, Kyai masiyati, sarunganing dhuwung."
  • Ri sampunya mekaten Ki Tolih, jabat tangan alon, Kyai Kaleng dahat pangungune, gya lunampah ing Kaleng kawingking, anjog ing pasisir, ing samudra kidul.
  • Lampahira nurut kesisik, andarung mangulon, anerak jurang parang mejenge, pan guwagos nang wong den lebeti, lampahnya Ki Tolih, ing wayah wus langkung.
  • Sapraptane Donan Ki Tolih, nyabrang ngidul ngulon, anjog Nusakambangan lampahe, pan amondhok desaneki, antara tri sasi, lamine neng ngriku.
  • Anulya pindhah panggenan neki, nyabrang malih ngalor, pan akraya tilas panggenan, prapta ing Cikakak mondhok malih, lajeng den kukuhi neng sirahing gunung.

Terjemahan Bebas

  • Ki Tolih melanjutkan perjalanannya. Setelah beberapa waktu, ia tiba di Kaleng dan bertemu Ki Dipati Kaleng. Mereka saling memberi salam dan duduk bersama. Nyai Dipati pun menyambut dengan gembira, sementara Ki Tolih perlahan mengutarakan maksudnya: ia hendak melanjutkan perjalanan ke arah barat.
  • Ki Dipati mencoba menahan, bahkan memintanya menjadi pelindung dan "jimat" Kaleng. Namun, Ki Tolih dengan halus menyerahkan wrangka keris Gajah Endra yang dibawanya:
  • "Simpanlah ini setelah kepergian saya, sebagai pusaka penjaga negeri ini, untuk diwariskan kepada keturunanmu kelak."
  • Ki Dipati menerima dengan hormat, penuh rasa terima kasih. Setelah itu, Ki Tolih berpamitan, meninggalkan Kaleng menuju pantai selatan, menelusuri tebing dan jurang, melewati medan yang jarang dilalui orang.
  • Perjalanan membawanya ke Donan, lalu menyeberang ke Nusakambangan. Ia tinggal di salah satu desa di sana selama tiga bulan, sebelum akhirnya kembali menyeberang ke utara, tiba di Cikakak, dan menetap di puncak gunung.

Makna Politik: Transfer Legitimasi Tanpa Tahta

Penyerahan wrangka keris kepada Banyak Kumara bukan sekadar hadiah, melainkan pengakuan tidak langsung terhadap garis keturunan Kaleng sebagai pihak yang layak menjaga pusaka tersebut. Dalam tradisi politik Jawa, benda pusaka adalah simbol legitimasi kekuasaan. Dengan menyerahkan wrangka Gajah Endra, Ki Tolih seakan "menitipkan mandat" kepada Kaleng, tanpa mengikatnya pada ikatan formal kerajaan.

Makna Budaya: Pusaka sebagai Penjaga Negeri

Dalam kosmologi Jawa, keris (dan bahkan wrangka-nya) diyakini memiliki daya penjaga harmoni. Wrangka keris Gajah Endra menjadi "jimat paripih", pusaka yang diyakini menjaga kesejahteraan wilayah. Filosofi ini memperlihatkan betapa erat hubungan antara benda pusaka, tanah, dan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun