Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Remaja: Mengungkap Jejak Spiderman

23 Maret 2025   17:20 Diperbarui: 8 April 2025   11:52 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bu Nana dan Gilang - ChatGPT AI 

Cerpen Remaja: Mengungkap Jejak Spiderman

Bu Nana menatap tembok di dekat gudang sekolah. Ia heran! Ada bekas telapak sepatu menempel di dinding, seperti tapak sepatu orang yang berjalan di tembok itu. Tapak sepatu itu berawal dari tembok dan berakhir di langit-langit.

"Siapa yang berjalan merayap di dinding sekolah, bahkan sampai ke langit-langit? Mungkinkah Spiderman mampir ke sekolah kami?" pertanyaan yang muncul seketika di benak Bu Nana.

Spiderman tentu mengawalinya dengan berjalan di tembok, badannya telentang menghadap ke atas. Kemudian ia berjalan nungging dengan kaki di atas sehingga telapak kakinya menempel di langit-langit dan kepalanya berada di bawah. Jika dilihat dari bekas tapak sepatunya, mungkin begitulah Spiderman ini berjalan.

Ibu Nana yang lembut, guru Matematika dengan kacamata positif 1,5-nya mengerutkan dahi. Ia kebetulan pengampu seksi 7K, Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Keindahan, Kesehatan, Kerindangan dan Kekeluargaan. Jelas ini menyangkut tugasnya untuk mengembalikan lagi agar suasana sekolah kembali kondusif. Bersih, indah dan nyaman.

"Hem, bagaimana peristiwa aneh ini terjadi?" gumam Bu Nana dalam hati. Ia tadi diberitahu oleh Pak Narsum bahwa dinding gudang kotor, penuh telapak sepatu. Bu Nana pun memeriksanya dan sungguh keheranan.

"Aneh!" katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Spiderman ini harus ditangkap!" pendapatnya dalam hati.

"Tapi, siapa yang sanggup menangkap Spiderman yang kurang pekerjaan ini?" gumam Bu Nana sambil berjalan perlahan mondar-mandir di sekitar TKP, tempat kejadian perkara. Hak sepatunya memukul-mukul lantai lorong dan menimbulkan bunyi yang khas. Cethok, cethok, cethok...!

Dan Senin siang itu seperti hari-hari biasanya, selalu saja ada beberapa anak yang melaksanakan belajar kelompok. Memanfaatkan waktu seusai pelajaran berakhir. Mengerjakan PR atau menyelesaikan tugas dari gurunya. Makan siang mereka cukup sebungkus batagor dan segelas minuman air mineral atau minum seplastik es campur.

He, he, mungkin karena terlalu banyak cairan yang masuk ke tubuhnya, maka salah satu anak yang sedang belajar kelompok itu ingin ke kamar kecil. Kamar kecil berada di dekat gudang TKP. Ketika ia sampai di dekat lorong gudang. Ia tertegun. Ia berhenti. Ia melihat Bu Nana seperti sedang berpikir keras. Ia menatap Bu Nana. Bu Nana kembali menatap dinding gudang.

"Selamat siang, Bu!" salamnya buat Bu Nana. Bu Nana berpaling dan menatap remaja putra di depannya.

"Siang Gilang! Kamu sedang belajar apa? Belum pulang ya?"

"Belum, Bu. Sedang belajar-kelompok. Ada PR Fisika dari Pak Ar!" jawab Gilang sopan. Ia bersalaman dengan Bu Nana, seperti kebiasaan para siswa jika bersalaman dengan guru. Cium tangan gurunya. Karena tidak tahu apa yang dikerjakan Bu Nana dan tak ingin mengganggu kepentingannya maka Gilang pun meminta maaf untuk berlalu dari hadapan Bu Nana.

"Maaf, Bu!" katanya kemudian. Badan sedikit dibungkukkan, ia pun melanjutkan perjalanannya untuk buang air kecil.

Bu Nana tersenyum kecil. Ada secerah ide menghampiri benaknya. "Mungkin Gilang mengetahui si Spiderman yang mengotori dinding sekolah ini. Kalau Gilang tidak tahu biar ia menyelidiki kasus ini" pikir Bu Nana.

Gilang anaknya sopan. Pintar. Ia ketua kelas di kelasnya. Ia sangat disegani teman- temannya. Segala tugas sekolah dikerjakannya dengan penuh tanggung jawab. Jika ada kesulitan tak takut-takut untuk segera berkonsultasi dengan guru yang mengajarnya. Hidungnya mancung, rambutnya hitam tebal seperti alisnya. Bajunya selalu rapi. Sinar matanya berkilat-kilat.

"Gilang!" Panggil Bu Nana ketika ia berjalan selesai dari kamar kecil. Bu Nana mendekatinya. Gilang menghentikan langkahnya.

"Ya, Bu!" jawab Gilang sopan. Di jidatnya langsung tergambar simbol tanda tanya besar. "Ada kepentingan apa Bu Nana ini?" katanya dalam hati. Dan Bu Nana merangkulnya. Berjalan ke dinding berbekas telapak sepatu.

"Kamu tahu siapa yang membuatnya?" tanya Bu Nana sambil menunjuk bekas telapak sepatu di dinding. Gilang pun menatap dinding lorong yang jadi kotor itu. Tapak sepatu. Tercetak dari tembok sampai ke langit-langit.

"Tidak, Bu!" jawab Gilang sambil menatap wajah Bu Nana yang tersenyum kecil. Ada bau wangi menyebar dari diri Bu Nana. Gilang memejamkan mata dua detik. Gilang menghayati dengan serius betapa manisnya senyum Bu Nana, "Kalau begitu kau harus menyelidikinya!"

Gilang terdiam. Bagaimana cara melaksanakan tugas ini. Bukan hal yang mudah tentunya. Bagaimana kalau gagal? Apa risikonya jika ia berhasil dan si Spiderman tahu bahwa dialah yang membongkar keusilannya? Mungkin Spiderman akan dendam padanya! Keraguan tampak di sikap Gilang. Bu Nana dapat menangkap keraguan dibenak Gilang, dan ia harus meyakinkan Gilang agar mau berusaha.

"Mungkinkah Spiderman yang membuatnya?" tanya Bu Nana.

"Bukan Bu. Paling anak-anak. Siswa sekolah kita juga, Bu!" jawab Gilang pelan.

"Kalau begitu, kamu harus sanggup Gilang!" desak Bu Nana sambil memegang lembut pundaknya. Ada desir lirih yang mengalir di diri Gilang.

"Tangkap Si Spiderman pembuat kotor dinding ini!" perintah lembut Bu Nana. Senyum Bu Nana kembali merekah. Langsung berantakan kekerasan hati Gilang. Ia luluh dan Gilang pun menganggukkan kepalanya pertanda sanggup melaksanakan tugas.

"Baik Bu saya akan berusaha mengetahui si Spiderman ini!" jawabnya mantap. Menguatkan tekad. Sesuatu harus dicobanya. Orang harus berusaha menggapai sesuatu yang baik.

"Bagus, Gilang. Selidiki sendiri dulu. Jadikan ini sebagai rahasiamu. Hanya jika terpaksa sekali Gilang boleh minta tolong kepada teman yang sangat kau percaya!"

Bu nana lalu menatap Gilang dengan tajam. Lalu sedikit tersenyum, "Semoga Gilang masih ingat nasehat ibu ketika kamu kelas dua. Berpikirlah sebagai detektif saat kau mengerjakan matematika!"

Ya, Gilang ingat! Bu Nana memberi soal yang tampak sederhana, sebuah kubus panjang sisinya 4 cm. Lalu ditugasi menjawab 6 pertanyaan di antaranya volume, sudut, panjang diagonal, luas bidang. Dari data yang minim ternyata dapat digunakan untuk melacak dan menyelesaikan banyak pertanyaan. "Itulah mental detektif!" kata Bu Nana, saat itu.

Kini naluri detektif Gilang pun dimunculkan. Inventarisir seluruh data pendukung. Kumpulkan! Analisa. Buatlah sebuah hipotesa, perkira-kirakan. Simpulkan dan buktikan! Hal pelacakan para detektif untuk membuka tabir kasus, menurut Gilang, ternyata hampir sama dengan menyelesaikan soal matematika.

Untuk menyelesaikannya harus mengkaji data yang ada. Sesepele apapun data awal harus dicari dan diusahakan agar menjadi petunjuk penting. Harus dapat diubah untuk menjadi modal penting atau dapat diubah menjadi data yang lebih akurat dan sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi. Dan harapannya data yang baru ditemukan itu harus cocok untuk dimasukkan ke dalam rumus yang sesuai. Dengan demikian akan mempermudah dalam menyelesaikan soal. Dan soal pun dapat dijawab, dapat diselesaikan dengan benar.

***

Dua hari kemudian ketika usai pelajaran. Gilang dipanggil ke ruang BK, bertemu Bu Nana. "Kamu hebat, Gilang!" kata Bu Nana sambil tersenyum dan memandang Gilang. Ada pancaran kasih yang lembut dari mata Bu Nana. Gilang menikmatinya.

"Terima kasih, Bu" jawab Gilang singkat. Gilang kini berada di ruang bimbingan dan konseling. Berdua. Gilang dipanggil khusus menghadap Bu Nana.

Bu Nana telah menyambutnya dengan ramah. Tersenyum dan menyalaminya. Jarinya yang lentik menunjuk kursi di seberang mejanya. Kini Gilang dan Bu Nana duduk berhadapan.

Ada banyak tumpukan stop map di pinggir meja. Mungkin data tentang anak-anak yang bandel, mungkin juga anak-anak yang berprestasi. Gilang tersenyum. Bersikap sopan. Agak segan ia duduk di ruang BK hanya berdua dengan Bu Nana. Ia dapat melihat beberapa anak melintasi ruang BK. Tentu mereka berpikir Gilang sedang kena masalah. Atau seperti biasanya sedang berkonsultasi tentang pelajaran Matematika.

 "Tadi pagi, jam ke tiga. Dhabung dan Syuhur saya panggil ke ruang ini. Ibu telah bertanya kepada mereka berdua. Siapakah yang telah membuat kotor dinding lorong di dekat gudang itu" Bu Nana mulai mengajaknya bercakap-cakap. Gilang menyimak. Ia semakin mengagumi kelembutan gerak Bu Nana.

"Awalnya mereka sedikit berkelit. Tapi akhirnya mengaku juga. Merekalah yang telah membuat bekas telapak sepatu di dinding sekolah kita" kata Bu Nana seterusnya. Ditatapnya Gilang dengan tenang. Mata Bu Nana memancarkan rasa bangga pada Gilang. Gilang menunduk. Menata perasaannya. la harus tetap sopan dan wajar. Tak mungkin ia menampakkan rasa kagumnya di depan Bu Nana sendiri.

"Coba ceriterakan, bagaimana Gilang bisa mengetahui bahwa Dhabung dan Syuhur yang menjadi Spiderman itu!" pinta Bu Nana. Ada kerjap mata yang bergerak secara otomatis seiring luncuran kalimat dari Bu Nana. Indah, mengesankan!

Gilang tersenyum sedikit. Mukanya memerah. Diusapnya wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia mengambil nafas panjang. Menahan debar dadanya.

"Kebetulan saja Bu. Saya tadinya juga bingung" Gilang mulai bercerita. Suaranya agak bergetar. Ada sedikit sekat yang menyelinap di tenggorokannya.

"Saya mengamati bekas telapak sepatu itu kira-kira setengah jam, Bu. Saya juga sempat menggambar bentuk pola telapak sepatu itu. Dari pola yang saya cermati, saya pastikan itu telapak sepatu kets" Gilang berhenti. Berpikir! Apalagi yang harus diceritakan? Dari mana lagi ia meneruskan ceritanya. Gilang tidak mau bercerita dengan gaya seperti menggurui Bu Nana. Ia tidak mau ada nada sombong terpancar lewat sikap dan kata-katanya.

"Lalu kamu pasti menemukan semacam petunjuk. Petunjuk apa lagi yang kau temukan?" tanya Bu Nana.

"Iya Bu, saya bingung bagaimana bekas sepatu itu sampai di langit- langlt. Saya berpikir keras sekali. Rasanya tidak mungkin seseorang berjalan nungging di langit-langit sekolah kita" kata Gilang sambil memutar bola matanya.

"Iya, betul! Terus?" pertanyaan sederhana dengan nada sedikit mendesah.

"Ini pasti pakai alat untuk menempelkannya ke langit-langit. Saya berpikir! Tongkat! Mungkin dengan tongkat Pramuka!" terang Gilang dengan bersemangat. Bu Nana mengangguk-anggukan kepalanya. Sedikit tersenyum. Gilang menarik nafas panjang. Gilang sadar kalimatnya terlalu cepat. Maka segera ia kurangi kecepatan bicaranya.

"Dengan ujung tongkat, sepatu dibalik dan ditempel-tempelkan ke langit-langit. Seperti orang menggunakan stempel. Bergantian antara sepatu kanan dan sepatu kiri, dibuat seperti telapak orang sedang berjalan. Begitu, Bu!" Gilang berusaha tegar bercerita di depan Bu Nana. Bu Nana tersenyum.

"Iya betul! Lalu bagaimana sehingga kau secara tepat mengambil kesimpulan bahwa Dhabung dan Syuhur pelakunya"

"Saya bertanya pada Pak Prapto yang sedang membuat sangkar burung. Apa Pak Prapto kemarin mengetahui ada anak membawa tongkat pramuka. Dan Pak Prapto mengatakan bahwa ada dua anak yang mengembalikan tongkat ke gudarg sekolah sepertinya Dhabung dan Syuhur. Dari keterangan itu saya lalu mencurigai kedua anak itu!"

Pak Prapto adalah penjaga malam yang mempunyai kantin dan menempati ruangan di belakang sekolah. Ia setiap hari kalau ada waktu kosong, waktunya digunakan untuk membuat sangkar burung. Lalu dijual. Dengan demikian setiap kali Pak Prapto dapat memperhatikan anak atau orang yang berada di sekitar gudang sekolah.

"Ya kamu hebat Gilang!" kata Bu Nana, matanya berbinar, "Tidak salah aku minta tolong padamu". Di tatapnya wajah Gilang dengan rasa bangga.

"Terimakasih, Bu! Lalu paginya saya secara diam-diam mencocokkan gambar pola telapak sepatu di kertas dengan pola gambar di sepatu Syuhur. Ternyata cocok Bu!"

"Ya, ya!" ucapan yang keluar dari bibir Bu Nana. Guru Matematika ini sangat terkesan dengan cara kerja Gilang. Menyelidiki dan mengambil kesimpulan secara tersusun rapi.

"Yang menempel di dinding itu telapak sepatunya Syuhur, Bu" kata Gilang sambil tersenyum. Ia menundukkan kepala saat melihat gerak bibir Bu Nana.

"Ya, Ibu sudah tahu. Tadi pagi Dhabung dan Syuhur sudah bercerita persis seperti yang kau katakan itu. Kamu hebat Gilang. Dan atas nama sekolah Ibu mengucapkan terima kasih untukmu" kata Bu Nana dengan penuh bangga. Gilang tetap menundukkan kepala. Sedikit mengangguk-angguk. Ia tetap sopan. Ketika retina matanya menangkap pantulan rok Bu Nana segera saja ada sentuhan lembut di pundaknya. Rupanya Bu Nana mendekatinya.

"Sampaikan pada Ayah dan lbumu bahwa besok sore Ibu ingin berkunjung ke rumahmu. Terima kasih Gilang. Kamu boleh pulang!" Hah!

Kata-kata 'kamu boleh pulang' dari Bu Nana, seperti melemparkannya dari dunia yang sangat nyaman. Ia seperti diusir oleh Bu Nana. Gilang masih ingin nyaman berdua di ruang BK bersama Bu Nana. Ia ingin tetap mendengar suara Bu Nana saat mengagumi kemampuannya menangkap Spiderman. Bu Nana pun menyalami tangan Gilang dengan bangga dan lembut. Gilang merasakannya dengan sepenuh hati. Nyaman dan indah.

Siang itu Gilang pulang dengan dada penuh rasa syukur. Bahwa dia tidak menunjuk nama yang salah. Jika pelakunya bukan Dhabung dan Syuhur maka laporannya hanya akan menjadi sebuah fitnah. Fitnah terhadap Dhabung dan Syuhur. Hal yang sangat ditakutinya, keliru menangkap orang! Takut keliru salah sasaran.

Alhamdulillah, telah terpecahkan teka-teki Sang Spiderman di sekolahnya. Ada kebanggaan di hati Bu Nana atas kemampuan Gilang. Ada rasa indah dan nyaman yang menyusupi di palung hati Gilang. Ada kebanggaan di dada Gilang yang begitu mengesankan. Namun ada juga rasa syukur di hati keduanya.

Segera dinding yang kotor diusahakan bersih kembali, dilakukan oleh Dhabung dan Syuhur. Keduanya tidak juga tahu bahwa Gilanglah yang mengungkap misteri tapak sepatu Spiderman. Tempat Gilang sekolah pun kembali selalu ceria dengan segala dinamika seluruh penghuninya.

Dari Majalah Dinding Sekolah, Purbalingga, 19 Februari 2004

Untuk alumni 1989, terimakasih atas polah kalian!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun