Dua hari kemudian ketika usai pelajaran. Gilang dipanggil ke ruang BK, bertemu Bu Nana. "Kamu hebat, Gilang!" kata Bu Nana sambil tersenyum dan memandang Gilang. Ada pancaran kasih yang lembut dari mata Bu Nana. Gilang menikmatinya.
"Terima kasih, Bu" jawab Gilang singkat. Gilang kini berada di ruang bimbingan dan konseling. Berdua. Gilang dipanggil khusus menghadap Bu Nana.
Bu Nana telah menyambutnya dengan ramah. Tersenyum dan menyalaminya. Jarinya yang lentik menunjuk kursi di seberang mejanya. Kini Gilang dan Bu Nana duduk berhadapan.
Ada banyak tumpukan stop map di pinggir meja. Mungkin data tentang anak-anak yang bandel, mungkin juga anak-anak yang berprestasi. Gilang tersenyum. Bersikap sopan. Agak segan ia duduk di ruang BK hanya berdua dengan Bu Nana. Ia dapat melihat beberapa anak melintasi ruang BK. Tentu mereka berpikir Gilang sedang kena masalah. Atau seperti biasanya sedang berkonsultasi tentang pelajaran Matematika.
 "Tadi pagi, jam ke tiga. Dhabung dan Syuhur saya panggil ke ruang ini. Ibu telah bertanya kepada mereka berdua. Siapakah yang telah membuat kotor dinding lorong di dekat gudang itu" Bu Nana mulai mengajaknya bercakap-cakap. Gilang menyimak. Ia semakin mengagumi kelembutan gerak Bu Nana.
"Awalnya mereka sedikit berkelit. Tapi akhirnya mengaku juga. Merekalah yang telah membuat bekas telapak sepatu di dinding sekolah kita" kata Bu Nana seterusnya. Ditatapnya Gilang dengan tenang. Mata Bu Nana memancarkan rasa bangga pada Gilang. Gilang menunduk. Menata perasaannya. la harus tetap sopan dan wajar. Tak mungkin ia menampakkan rasa kagumnya di depan Bu Nana sendiri.
"Coba ceriterakan, bagaimana Gilang bisa mengetahui bahwa Dhabung dan Syuhur yang menjadi Spiderman itu!" pinta Bu Nana. Ada kerjap mata yang bergerak secara otomatis seiring luncuran kalimat dari Bu Nana. Indah, mengesankan!
Gilang tersenyum sedikit. Mukanya memerah. Diusapnya wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia mengambil nafas panjang. Menahan debar dadanya.
"Kebetulan saja Bu. Saya tadinya juga bingung" Gilang mulai bercerita. Suaranya agak bergetar. Ada sedikit sekat yang menyelinap di tenggorokannya.
"Saya mengamati bekas telapak sepatu itu kira-kira setengah jam, Bu. Saya juga sempat menggambar bentuk pola telapak sepatu itu. Dari pola yang saya cermati, saya pastikan itu telapak sepatu kets" Gilang berhenti. Berpikir! Apalagi yang harus diceritakan? Dari mana lagi ia meneruskan ceritanya. Gilang tidak mau bercerita dengan gaya seperti menggurui Bu Nana. Ia tidak mau ada nada sombong terpancar lewat sikap dan kata-katanya.
"Lalu kamu pasti menemukan semacam petunjuk. Petunjuk apa lagi yang kau temukan?" tanya Bu Nana.