Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menjadikan Media Sosial Sebagai Ladang Riset, Bukan Medan Perang

27 Agustus 2016   22:42 Diperbarui: 15 April 2019   14:03 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar (www.breezepeople.co.uk)

Mengutip pernyataan Gunnar Myrdall, bahwa budaya yang disemangati agama berpengaruh besar dalam kemajuan sebuah bangsa. Kemajuan sebuah bangsa adalah kemajuan pribadi-pribadinya. Maju disini bukanlah diartikan sebagai kemajuan yang terlihat oleh mata jasmani melulu. Gedung pencakar langit, pertumbuhan apartemen yang melonjak tiap tahun, dunia usaha yang mulai melibatkan komputerisasi, dan gaya hidup yang kebarat-baratan serta ke korea-koreaan.

Jika kita melihat kemajuan hanya dari kebendaan dan yang bersifat fisik semata, maka dipastikan kita sedang berdiri pada pemahaman yang salah. Untuk memiliki semua itu sebuah bangsa tak perlu maju, undang saja semua investor terbaik di dunia ini, permudah ijinya, maka niscaya mereka akan membangun simbol-simbol kemajuan yang dangkal itu. Semua itu hanyalah aksesoris dan dekorasi di zaman yang terus menuntut pembangunan, kitalah yang harus maju, pikiran kita.

Tentu yang namanya berpikir maju, bukan berpikir yang pola nya hanya terfokus pada hari ini belaka. Pemikiran yang maju adalah sebuah pikiran yang berfokus pada masa depan, melampaui zamanya. Tentu kita sering mendengar masyarakat kita berujar seperti ini, "Negara lain udah sibuk ke bulan kita dari dulu masih aja sibuk ngrusin masalah yang itu lagi itu lagi."

Misalnya, memperdebatkan perbedaan keyakinan hingga melakukan tindakan anarkis yang merugikan berbagai pihak. Tuhan lah yang membela kita manusia, bukan sebaliknya. Orang lain  bisa saja menghina agama yang kita anut, tapi kita sendirilah yang bisa membuat agama kita terhina dengan perilaku yang kita tampilkan. 

Saya memiliki beberapa teman di Facebook yang sangat reaktif dan emosional .Kerjanya sehari-hari hanya membagikan status yang ditulis Jonru dan membagikan blog-blog nggak jelas yang selesai dia baca. Akhirnya apa? Status nya sangat sarat dengan amarah dan kebencian. Bahkan saat terjadi bom di Prancis dia percaya kalau korban yang berjatuhan hanyalah boneka. Bahkan dia merasa itu adalah harga yang pantas untuk warga Prancis dapatkan karena sepak terjang Negara mereka di Timur Tengah. Lalu timbul pertanyaan, apakah ini semua salah media sosial? Jawaban saya adalah tidak, bukan sama sekali.

Semua adalah salah manusia. Salah yang membuat tulisan berisi hasutan provokatif dan salah yang membaca. Bagaimana mungkin untuk hal-hal yang baik kita bisa begitu skeptis, tapi dengan mudah bisa percaya terhadap hal negatif sekaligus mengimaninya? Tapi bukankah itu yang sering terjadi di media sosial?

Saya tertarik dengan pemikiran Jakob Oetama dan intuisinya yang terobsesi akan sebuah pertanyaan, tentang bagaimanakah gambaran manusia dan masyarakat Indonesia, yang kemudian dia sebut sebagai Manusia Baru Indonesia dan Masyarakat  Baru Indonesia di abad ke-21. Dalam bukunya yang berjudul Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama, beliau menjelaskan tentang pelajaran sejarah yang di dapatkanya dari gurunya, Romo Van Den Berg, seorang jesuit pengajar sejarah Eropa. Dijelaskan bagaimana Jakob Oetama diajarkan mengenai arti manusia Renaisans. Manusia Renaisans tidak mengarah ke akhirat, tetapi ke dunia, bukan yang terbelenggu oleh dogma, melainkan yang bebas menurut penalaranya dan yang bisa menikmati keindahan penciptaan.

Renaisans sendiri adalah sebuah paham yang berkonotasi pada kelahiran kembali yang  merevolusi banyak hal di Eropa. Seperti tatanan budaya, politik, seni, kepercayaan dan kehidupan bermasyarakat. Apakah Indonesia tergolong masyarakat yang telah mengalami kelahiran kembali? Renaisans kah kita? Ya tapi bukan rasa Eropa, melainkan bercita rasa Indonesia seutuhnya. Betulkah? Ya harusnya demikian. Kita dilahirkan kembali dari bangsa yang terjajah di bawah bendera kolonial, menjadi manusia yang Indonesia sepenuhnya. Kita adalah bangsa yang murni dan orisinil, yang disebut Jakob Oetama sebagai manusia Pancasila.

Tapi terkadang kita yang satu identitas ini malah saling "membantai" padahal sesama manusia Pancasila. Ah, tak perlu heran kadang yang seibu dan sedarah saja saling menyakiti kok. Apalagi di era media sosial seperti sekarang ini, rasa-rasanya media sosial sudah seperti medan perang saja. Malah sudah seperti game baru, yang tak kalah asyik dari berburu pokemon.

Bisa membaca artikel yang berasal dari blog antah berantah lalu men-share nya di Facebook rasanya seperti naik level saja, girangnya mirip main game. Kalau sudah membaca artikel yang yang tak jelas asal nya, asal bisa membantu argumen, maka hal itu dilahap sepenuhnya. Bagi saya tulisan-tulisan hoax itu tak ubahnya sebuah produk terlarang namun tetap beredar, kenapa bisa? Ya karena peminatnya masih banyak, konsumenya masih seabrek-abrek.

Secara teoritis memahami dan menjiwai nilai-nilai pancasila bisa jadi rantai yang mengekang kaki kita agar tidak berdiri di pihak perusak. Saya suka pernyataan seorang aktivis angkatan 66, Soe-Hok-Gie yang berujar, "Bagiku perjuangan harus tetap ada.Usaha penghapusan terhadap kedegilan, terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis." Sebuah pernyataan yang luar biasa yang membuat saya berpikir;Bukankah tak jarang saat ini manusia yang semakin kental agamanya, malah semakin terkelupas humanismenya dan malah mendewa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun