Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Oseng Mercon Pengingat Janji

12 November 2022   16:43 Diperbarui: 12 November 2022   18:10 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolpri : Oseng Mercon

Sejak menjabat sebagai kepala cabang sebuah perusahaan retail, Boni kerap mendapat bingkisan-bingkisan Natal dari para klien. Jumlahnya tak hanya belasan, bahkan sampai puluhan. Sejak minggu pertama Desember, Agnes, wanita yang sudah dua tahun dinikahinya, harus bolak balik membuka gerbang rumah itu untuk menerima kiriman-kiriman yang berdatangan. Karena jumlahnya yang cukup banyak, terkadang Boni meminta Agnes untuk langsung membukanya setelah membuat daftar nama-nama pengirimnya.

*

Boni pulang cepat hari itu, ia berencana untuk menata rumahnya menjelang Natal, rumah yang berhasil ia bangun dengan jerih payahnya sendiri. Masa-masa berjuang, banyak yang sudah pria itu korbankan, termasuk perasaan.

Sampai di rumah, Agnes sudah menyiapkan makanan di meja, lalu wanita itu melanjutkan sisa pekerjaan rumah yang lain. Boni sedikit terusik dengan menu yang dihidangkan. Makanan favorit saat ia masih kuliah di Jogja. Makanan yang sudah sangat lama tak dinikmatinya.

Di suapan pertama, Boni terdiam. Matanya terpenjam, melambungkan ingatan ke 10 tahun silam. Matanya berkaca-kaca, mengingat Jogja dan segala kenangan yang tertinggal di sana.

**//**

Seorang gadis melintas, membawa kotak makan siangnya lalu makan sendiri di kantin kampus. Ia hanya memesan segelas es teh manis, agar ia diberi kesempatan untuk menumpang duduk di sana.

Gadis manis berpenampilan sederhana dengan bandana bermotif mawar warna biru tua. Gadis itu tak menyadari, sejak awal ia duduk hingga makan siangnya habis, Boni memperhatikannya dari meja seberang. Kejadian itu tak hanya sekali, namun berulang-ulang.

Setiap tahun kampus mereka mengadakan bazzar, acara yang memang diadakan untuk menjalin keakraban antar para mahasiswa. Sengaja pihak kampus tidak melibatkan orang-orang di luar kalangan mereka, para dosen ingin menumbuhkan jiwa bisnis untuk anak didiknya. 

Tahun ini Boni didaulat sebagai salah satu panitia. Selama dua minggu ia membuka pendaftaran untuk teman-teman yang mau membuka stand. Semua stand sudah tersedia, mulai dari merchandise, minuman ringan, hingga stand buku yang selalu menjadi incaran setiap tahunnya. Namun, masih ada yang kurang, stand makanan khas nusantara belum ada peminatnya.

Seketika Boni ingat pada gadis itu, gadis yang selalu membawa makanan dalam kotak makan dan hanya membeli es teh manis di kantin, agar ia bisa duduk di sana, sama seperti mahasiswa lainnya. Mungkin gadis itu masak sendiri di rumah, mungkin pula orang tuanya atau pembantunya, terserah saja, yang penting mereka bisa berkenalan. Berbekal sebuah proposal penawaran Boni dengan semangat mendekati gadis itu yang masih sendirian menikmati makan siang.

"Hai, boleh duduk di sini?"

Gadis itu masih sibuk mengunyah makanannya, ia hanya mengangguk sebagai tanda mempersilakan.

"Aku Boni, mbaknya namanya siapa?"

"Andin, Anastasia Andini."


"Maaf ganggu waktunya, ya. Jadi begini ...,"

Boni pun menyampaikan niatnya untuk mengajak gadis itu membuka stand makanan di acara bazzar tahunan. Setelah dialog yang hampir setengah jam, akhirnya kata sepakat itu pun dicapai.

Andin mau bergabung menjadi tenant dalam acara itu, ia akan membuka stand makanan khas Yogyakarta.

*

Acara bazzar selesai digelar, selain meraup keuntungan, Andin pun menuai banyak pujian.

"Kamu hebat, Oseng Mercon buatanmu dahsyat, Ndin. Terima kasih ya, sudah mau partisipasi,"

"Aku yang harusnya terima kasih sama kamu, Boni. Kalau bukan karena kamu ajak, mungkin aku nggak tahu kalau kemampuan memasakku itu bisa diakui banyak orang,"

"Kamu nggak pingin punya usaha makanan?"

"Mau, cuma modalnya nggak ada. Kamu mau belajar masak Oseng Mercon? Siapa tahu memang rejekimu, pakai resepku, kujamin laku."

Setelah hari itu, keduanya membuat janji temu. Boni menyambangi tempat tinggal Andin dan ibunya. Wanita tua itu sangat ramah, terbias di matanya, ia menerima kedatangan Boni dengan senang hati.

"Mas Boni tenan iki mau belajar masak?"


"Nggih, Bu. Oseng Mercon resep Andin itu enak banget. Lidah saya dan teman-teman di kampus cocok sekali. Padahal sejujurnya, lidah Jakarta saya agak susah nerima masakan Jogja."


"Masakan ini sudah ada sejak 24 tahun lalu, sekarang baru rame setelah makanan pedas mulai muncul di Jogja, mungkin turis-turis sama pendatang bosan ya maem yang manis-manis,"


"Walah, pantes, Bu. Tapi masakan Andin benar-benar bikin saya nggak percaya kalau ini Jogja punya,"

Ibu Andin tertawa mendengar pujian Boni yang tak ada habisnya. Wanita itu pun membiarkan Boni dan Andin mengambil waktu mereka di dapur miliknya.

*

"Jadi apa aja bahannya?" tanya Boni bersemangat.


"Kita buat untuk  3-4 porsi, ya? Daging sapi 250 gram potong-potong sesuai selera, boleh kamu tambah kikil, sandung lamur, untuk isiannya,"


"Lalu bumbunya?"


"8 siung bawang merah, 4 siung bawang putih, cabe rawit merah sesuai selera tingkat pedas yang kamu mau, jahe dan ketumbar jangan sampai lupa."

Boni memperhatikan kelihaian Andin meramu bumbu-bumbu yang sudah disiapkan, gadis itu benar-benar mengolah bumbunya secara manual, tidak ada bantuan blender atau pun chopper.    

Boni ingin membantu, namun Andin menolak, ia minta Boni menjadi pemerhati dulu, jika hari ini sukses, Boni boleh praktek sendiri.

"Ibu bilang, kalau mengolah bumbu itu lebih enak diuleg, entah kenapa, tapi aku percaya. Merebus daging itu proses paling penting, Bon. Aku pakai metode 5-30-7, selain menghemat gas, dia juga hemat waktu."

Boni garuk-garuk kepala. Sebagai orang yang tidak pernah memasak sebelumnya, ia semakin merasa awam saat berada dalam satu dapur bersama Andin, perempuan yang diam-diam mulai mengambil hatinya. Melihat wajah Boni yang bingung, Andin menahan tawa.

"Aku tahu kamu bingung, tapi tenang, ini nggak akan lama. Jadi, masak air dalam panci sampai benar-benar mendidih, lalu nanti daging yang sudah kita potong-potong itu dimasukkan, biarkan selama 5 menit. Setelah itu matikan kompor. Diamkan selama 30 menit, setelah 30 menit masak lagi selama 7 menit. Lalu diamkan lagi, sampai kira-kira agak dingin baru dagingnya kita olah dengan bumbu-bumbu,"

Boni mengikuti proses demi prosesnya, ia begitu kagum melihat kemampuan Andin memasak, hingga hawa panas dalam dapur seakan tak memberi efek apa-apa.

"Air asam jangan lupa, itu yang menambah cita rasa. Oh, ya, untuk rasa manisnya sebisa mungkin pakai gula merah atau aren saja, ya. Hasilnya akan berbeda kalau kamu menggunakan gula putih atau kecap,"

Oseng Mercon khas Jogja siap dihidangkan. Warnanya sangat menggugah selera. Cabe rawit merah yang diulek kasar benar-benar mengoyahkan iman. Boni tak sabar menikmati makan malam yang dibuat langsung di depan mata.

Andin mengajak Boni duduk di meja makan kayu sederhana milik keluarganya. Kali ini ibu tidak ikut makan bersama, ia membiarkan anak gadisnya menjamu tamu spesialnya.

Kolpri
Kolpri

Tangan gadis itu bergerak cepat mengambilkan nasi dan beberapa sendok mercon ke piring Boni.

"Yuk," tawarnya.

Satu, dua, tiga suap, sukses merapat ke tenggorokan. Boni tak  berkomentar, bahkan tak bisa lagi berkata-kata. Oseng Mercon ini sangat nikmat di indera pengecapnya. Semua bumbu meresap sempurna di daging sapi yang empuk luar biasa. Pedas, manis, asin, dan gurih, berpadu menjadi satu. Selain itu, rasa ketumbarnya pun cukup dominan. Ditambah dengan jahe, sehingga tak ada rasa amis saat menikmatinya.

Boni tak memiliki kata lain untuk memuji masakan Andin. Terlalu sempurna.

Sejak hari itu, mereka semakin dekat, sampai tiba di masa kelulusan. Keduanya tak pernah punya ikatan istimewa, hanya rasa ingin saling melengkapi sebagai bukti bahwa ini bukan hubungan biasa.

"Kamu mau ke Jakarta, nggak?" tanya Boni selepas acara wisuda.

"Kalau aku ke Jakarta, ibu sama siapa?"

"Kita kerja di Jakarta, sebulan sekali aku antar kamu pulang."

"Kenapa nggak kamu aja kerja di sini? Banyak lapangan kerja,"

"Tidak akan tercukupi, orang tuaku di Jakarta. Pendapatan di Jogja tidak bisa menutupi semua mimpiku yang ingin aku realisasikan untuk mereka,"

"Sama, aku juga. Apalagi ibu tinggal sendiri, cuma aku teman ceritanya,"

Boni gamang, memilih antara bersabar atau kecewa dengan alasan Andin. Namun kedua orang tuanya sudah mendesaknya untuk pulang. Dengan sangat hati-hati Boni berpamitan, ia meminta Andin menunggunya kembali ke Jogja untuk merencanakan masa depan yang selama ini belum pernah berani ia sampaikan.

"Ndak apa-apa. Kalau memungkinkan, dan Gusti memberi jalan, aku yang akan ke Jakarta, membawa ibu dan resep ini, aku akan membuka lahan bisnis dan menemuimu," jawaban terakhir Andin saat itu.

**//**


"Mas? Ngantuk?'

Boni membuka mata. Suara Agnes mengejutkannya.

"Oseng mercon ini kamu yang masak?" Tanya Boni sedikit gelagapan.

"Aku lupa bilang, itu kiriman klien, sebentar aku ambilkan box-nya,"

Agnes cepat-cepat menuju dapur, mengambil box pembungkus oseng mercon tadi.

"Ini," sodornya.

Boni melihat nama pengirimnya, untung box itu masih ada dan baik bentuknya.

"Oseng Mercon Jogja Mbak Andin, Fatmawati, Jakarta Selatan."

-Selesai-

NB : Resep dalam cerpen ini adalah resep pribadi, saya pakai juga buat usaha. Silakan jika ingin mencoba. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun