Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Janji Kelingking

5 November 2022   15:45 Diperbarui: 5 November 2022   15:55 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://0ikodomeo.wordpress.com/

Wafatnya kedua orang tuaku serta kegagalan dalam pernikahan membuatku memilih untuk kembali ke sini.

 Untung saja dulu ayah membatalkan rencananya menjual rumah ini. Aku sengaja memutuskan pindah di saat usia anakku sudah bisa mendaftar di bangku sekolah dasar. Ardinan, anakku, menjadi siswa di sekolahku yang dulu, SD Bestari. 

Sekolah khusus anak-anak tentara yang bangunannya sangat sederhana. Namun, jaman sudah berubah, bekas almamaterku itu kini dibangun megah berlantai tiga. Ekstrakurikulernya pun tak lagi hanya Paskibra dan Pramuka. Dulu, aku hanya sampai kelas 4 di sini, kemudian ayah memboyongku dan ibu untuk ikut ke kota tempatnya ditugaskan.

Kesibukan sebagai orang tua tunggal yang harus mencari nafkah membuatku harus menyewa seorang pengasuh untuk Ardinan. Namanya Unti, usianya masih 22 tahun. Ia tinggal bersama kami karena Unti senasib denganku, kami sama-sama yatim piatu.

*

Hari itu aku pulang lebih awal. Unti masih berada di rumah, karena selain mengasuh Ardinan, ia pun membantu pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Untungnya ia sama sekali tak keberatan.

"Kamu jemput Dinan jam berapa, Unti?"

"Nanti jam 12, Bu. Cuma kadang Dek Dinan nggak mau pulang cepat-cepat. Ia suka mampir dulu ke perpustakaan. Dia pinter, loh, Bu, rajin baca-baca."

"Sendiri?"

"Sama temannya, Dek Dinan bilang namanya Nuraini. Penjemput kan nggak boleh masuk sampai ke dalam, Bu. Jadi saya cuma bisa tunggu di taman,"

Mendengar cerita Unti, pikiranku kembali ke tahun-tahun di mana aku masih menjadi salah satu murid di sana. Aku pun gemar menghabiskan waktu membaca di perpustakaan yang dulu letaknya di halaman belakang sekolah, dekat dengan ruangan yang dijadikan rumah untuk penjaga sekolah dan keluarganya.

Sambil menunggu Dinan pulang, aku masuk ke kamarnya. Kudapati beberapa lembar kertas gambar miliknya tertempel di dinding. Air mataku hampir tumpah saat melihat salah satu gambar berisi tiga orang dalam posisi bergandengan tangan, di atas kepalanya tertulis Ayah, Dinan dan Ibu.

Kadang aku merasa sangat egois karena menolak ajakan rujuk Haydar, mantan suamiku. Aku terlalu mengedepankan egoku sebagai perempuan yang sakit hati.

"Ibuuuuuu ...," suara manja Dinan mengejutkanku.

"Hai, Sayang. Capek, ya?"

Kubiarkan anakku menghamburkan peluknya. Kami berdua memang selalu membutuhkan itu untuk saling menguatkan dan menunjukkan cinta.

*

Pagi itu aku memutuskan untuk menyempatkan diri mengantar Dinan ke sekolah. Setelah menemui wali kelasnya dan berbincang sebentar tentang perkembangan Dinan aku pun langsung menuju halaman belakang, tempat penjaga sekolah lama yang katanya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sana.

Namanya pak Daljono. Anak pak Daljono adalah teman sekelasku. Nung, salah satu anak berprestasi di sekolah ini. Kami sangat dekat, selayaknya sahabat. Namun, setelah kepindahanku, tersiar kabar bahwa Nung meninggal dunia. Padahal ia satu-satunya harapan kedua orang tua.

Aku senang saat mengetahui bahwa Pak Daljono dan istrinya masih tinggal di sana. 

Bu Daljono memelukku erat, bersama tangisnya yang pecah ia berkali-kali mengucapkan kalimat yang membawa nama Nung tepat di telingaku. Dari gelengan kepalanya, Pak Daljono seakan memintaku untuk mengabaikan kata-kata Bu Dal. 

"Sejak Nung pergi, ibunya jadi depresi," ucap pak Dal.

Pria itu mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan sikapnya yang sedikit emosional. Untuk mencairkan suasana, Pak Dal bercerita tentang kematian Nung saat duduk di bangku kelas 6, tepat dua hari setelah ujian akhir nasional. Diagnosa dokter, Nung terkena demam berdarah, karena saat itu wabahnya memang sedang menyerang kota ini.

"Nung itu nunggu Mbak Sawitri, katanya mau balik lagi, cuma sampai kelas 6 kok nggak datang-datang juga,"

Ada perih setelah mendengar pernyataan dari Bu Dal. Namun, apa dayaku? Aku hanya anak kecil yang harus mengikuti kemauan bapak untuk berpindah-pindah tempat mengikuti kemana pun beliau ditugaskan.

Sayangnya waktuku tak banyak untuk melanjutkan obrolan dengan Pak Dal dan istri. Ponselku sudah berulang kali berdering, aku harus segera sampai di kantor.

*

"Bu, Dek Dinan mau ulang tahun, kan?" Unti mengingatkan.

Sebagai orang tua rasanya malu sekali hal-hal sepenting ini hampir saja terlupa.

"Duh, untung kamu ngingetin saya, bisa ngambek si Dinan kalau saya sampai lupa,"

Seperti biasa, aku selalu bertanya apa yang Dinan inginkan di hari spesialnya sambil berdoa semoga ia tak memintaku rujuk dengan ayahnya.

Ternyata Dinan minta di ulang tahunnya kali ini aku membuatkan snack box untuk teman-teman sekelasnya. Bukan hal yang terlalu memberatkan.

*

Hari itu aku sengaja meliburkan diri, demi anak semata wayang yang kumiliki.

Wajah Dinan terlihat sangat bahagia bisa merayakan ulang tahun pertamanya menjadi murid sekolah dasar, walau aku tahu ia pasti ingin ayahnya berada di sini juga.

Masing-masing anak sudah mendapatkan snack box-nya. Acara pun selesai sesuai rencana.

Setelah berpamitan dengan wali kelas, aku pun mengajak Dinan pulang.

Namun ia menolak.

"Aku mau ke perpustakaan dulu, Bu,"

"Dinan setiap hari sudah ke perpustakaan sambil tunggu mba Unti jemput, kan?"

"Dinan nggak mau baca buku, Bu."

"Lalu?"

Tangan kecil itu menarikku, aku mengikuti langkahnya yang lumayan cepat. Ternyata ia mengajakku ke perpustakaan. Seorang penjaga menyambut kami.

"Halo, Dinan, biasanya sendirian ke sini," sapa pria muda itu.

Sebagai anak-anak, Dinan tak terlalu peduli dengan basa-basi, ia terus menarikku menuju ke ruang baca perpustakaan ini.

Langkah Dinan terhenti, ia menunjuk seorang gadis yang usianya sebaya dengannya. Gadis itu tersenyum padaku, manis dan hangat.

Kami bergerak mendekatinya, namun di jarak yang semakin dekat rasa-rasanya aku tak asing dengan wajah itu.


"Ibu, ini Nuraini, temanku. Kami suka membaca di sini,"

Aku masih terus memperhatikan wajah gadis kecil itu yang juga terus menatapku tanpa senyum yang memudar. Tersirat jelas wajahnya begitu bahagia.

Sampai akhirnya aku menyadari, siapa gadis kecil ini.

Nuraini Ningsih, orang-orang terdekat memanggilnya dengan nama "Nung". Aku baru menyadari saat Pak Dal memintaku untuk mengabaikan kata-kata yang dibisikkan istrinya tempo hari saat kami bertemu.

"Nung masih di sini, Nung masih di sini,"

Bu Dal tidak depresi, semua yang ia sampaikan benar adanya. Nung masih di sini, di depan mataku saat ini.

Seketika ingatanku bergerak ke masa itu, saat aku dan Nung bermain di taman sekolah untuk terakhir kalinya.

"Kalau kamu pindah ikut bapakmu, nanti temanku siapa, Wit?"

"Kamu kan anak pintar, teman-teman pasti suka main sama kamu,"

"Nggak ada, Wit. Mereka malu berteman sama anak penjaga sekolah,"

"Kamu sabar, ya, Nung, nanti aku pulang, kata bapak nggak lama kok tugas di sana,"

"Janji, ya, Wit?"

Lalu kami saling mengaitkan jari kelingking, bentuk perjanjian sakral untuk anak-anak usia dini.

Ku pikir Nung tak benar-benar menungguku. Ku kira ia tak akan begitu kesepian setelah kepergianku. 

Maafkan aku, Nung. Sekarang, aku sudah datang, memenuhi janji kelingking kita, tolong jangan ganggu anakku.

Bekasi,

5 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun