Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diantar Oleh Tragedi, Diobati Oleh Trauma

4 Oktober 2022   08:07 Diperbarui: 4 Oktober 2022   08:23 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: tanjungharosikabukabupadangpanjang.desa.id

2022

Area-area pemakaman yang biasanya sepi seketika penuh terisi dalam waktu bersamaan. Ambulance - ambulance melintas cepat dengan suara sirine yang memunculkan pilu bagi banyak hati yang ditinggalkan. Orang-orang baik mengantar jasad-jasad korban tragedi. Doa dan derai airmata milik banyak kepala tercurah untuk luka yang sama, meluluhlantakkan satu kota, satu negara.

*

Alfi memandang desain yang baru selesai ia buat untuk Raji Sugandi, yang ia kenal sebagai seorang pensiunan polisi,  meminta pria muda itu mengubah salah satu rumah kosong miliknya menjadi seperti rumah yang pernah ia tempati bersama keluarga kecilnya. Kepiawaian Alfi sebagai seorang Nostalgist membuatnya yakin bahwa Alfi paham betul apa yang harus dilakukan untuk merealisasikan mimpi orang-orang yang ingin mengembalikan memori saat usia senja datang menyapa.

"Saya approve desain ini, lalu kapan bisa mulai dirombak rumahnya, Mas Alfi?" tanya Raji pada pertemuan mereka sore ini.

"Saya sudah hubungi tim yang akan mengerjakan, Pak. Lusa mereka datang ke Jakarta."

Wajah Raji terlihat sumringah. Ia ingin segera kembali ke masa lalu, mengenang banyak hal yang pernah hilang selama puluhan tahun.

Sebagai penyedia jasa, Alfi ikut senang jika kliennya merasa puas dengan hasil karyanya. Tak sia-sia ia tumbuh begitu mandiri menyelesaikan jenjang sekolah hingga kuliah tanpa kedua orang tua di sisinya.

Tiga bulan berlalu, pekerjaan untuk Raji selesai. Pria itu sangat terkesan dengan hasilnya. Sebagai ucapan terima kasih, Raji mengundang Alfi dalam acara syukuran perombakan rumahnya.

Kurang lebih tiga puluh orang tamu hadir di sana. Rata-rata usianya sebaya dengan si empunya acara.

"Mas Alfi, karya Anda luar biasa," puji Raji saat mendapati Alfi sudah berdiri di pintu utama.

"Sama-sama, Pak. Saya berusaha melakukan yang terbaik."

"Ayo kita ngobrol di taman." ajak pria tua itu seraya pamit pada tamu-tamunya yang lain, kemudian merangkul pundak desainer interior muda yang sudah merealisasikan mimpinya.

"Mas Alfi asli Jakarta?"

"Tidak, Pak. Saya dari Malang."

"Lho, Malangnya di mana?"

"Kepanjen, Pak."

"Orang tua di Malang atau ikut di sini?"

Suasana seketika menghangat, sehangat mata Alfi yang mulai berkaca-kaca.

"Bapak-Ibu sudah nggak ada. Lama sekali, saat saya masih belasan tahun."

Raji menatap Alfi, menemukan luka di sorotnya. Seketika pikirannya melayang ke tahun - tahun saat dirinya masih bertugas di Malang.

"Maaf, Mas Alfi, bapak dan ibu meninggalnya karena sakit?"


"Tidak, Pak, waktu itu ada kerusuhan supporter bola, ratusan jumlahnya, bapak dan ibu salah satu diantara mereka. Sejak itu saya hanya tinggal dengan Budhe."

Raji terdiam sejenak, ada luka yang semakin mengembalikan ingatannya ke masa itu, saat ia masih menjabat sebagai polisi muda dan ia tahu persis kejadiannya.

"Jadi, budhe yang membiayai pendidikan Mas Alfi?"


"Budhe bantu saya mengelola uang santunan dari pemerintah, Pak. Saya kuliah dari uang itu. Kejadian itu sebulan sebelum saya ulang tahun, kebetulan ada pertandingan di Stadion Kanjuruhan, beliau penggemar berat sepak bola. Ayah bilang ajakan nonton pertandingan itu sebagai kado buat saya. Ternyata malah jadi pengalaman pertama dan terakhir untuk saya dan ibu. Karena setelah itu saya jadi trauma nonton pertandingan bola, Pak." Jelas Alfi diselingi senyum hambar.

Raji bisa mendengar tarikan napas yang berat dari kalimat per kalimat yang disampaikan Alfi. Sesak itu sampai juga ke hatinya. Ia memahami beratnya masa kecil anak muda yang duduk di hadapannya kini. Kejadian 15 tahun silam menjadi hal yang cukup mencoreng nama kepolisian. Negara ini pun tak lepas dari cemooh negara-negara lain. Sebagai mantan polisi, Raji pun terbebani dengan insiden yang melukai banyak manusia di depan matanya.

Seorang asisten rumah tangga tiba-tiba muncul dengan kudapan untuk majikan dan tamu istimewanya. Kehadirannya memberikan sedikit waktu untuk Raji mengatur napasnya yang sedikit sesak.

"Ayo mas Alfi, dicoba dulu. Ini makanan dan minuman khasnya Bengkulu, tanah kelahiran saya.  Ada teh telur dan Lepek Binti, kalau di Jakarta kue ini mungkin rasanya seperti lemper."

Sesungguhnya Alfi sangat tidak memiliki napsu mencicipi apa pun malam ini, karena ia sedang membuka memori lama tentang bagian-bagian terpahit dalam hidupnya.

 

 "Apa kamu membenci polisi karena kejadian itu, Mas Alfi? Jangan sungkan, anggap saya teman, bukan mantan polisi."

"Sejujurnya saya pernah membenci polisi, Pak. Mungkin bukan hanya saya, tapi semua korban dan anggota keluarganya. Kenapa gas air mata yang dilarang mereka pakai akhirnya justru melukai banyak orang di sana. Bukankah sudah ada ketentuan dalam FIFA Stadium Safety and Security bahwa tidak boleh menggunakan gas air mata untuk meredam massa? Rasanya saat itu Polisi bukan mengayomi, tapi mereka melukai," Alfi menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya pelan dan pasti. 

"Tapi setelah saya mulai dewasa, saya tak lagi bisa memandang kejadian itu sebelah mata saja. Polisi tidak akan bertindak seperti itu secara tiba-tiba jika tidak ada hal yang mengancam banyak pihak di sana. Supporter yang tidak sportif juga adalah pemicu. Ditambah lagi mereka kedapatan mengkonsumsi alcohol saat menonton pertandingan, semua kerusuhan yang terjadi rasanya begitu wajar. Jika saja mereka berbesar hati menerima kekalahan tim andalannya, mungkin insiden itu tidak akan pernah terjadi. Tapi, sekarang bukan saatnya lagi mencari siapa yang salah, tapi bagaimana menghapuskan trauma yang masih tersisa." jelas Alfi menutupi gempuran dengan berusaha menunjukkan ketabahan.

"Setiap orang punya trauma, Mas. Tapi itu harus disembuhkan. Ayo, saya bantu. Apa yang bisa saya lakukan untuk mengobati trauma, Mas Alfi?"

"Ah, tidak, Pak Raji. Mohon maaf sebelumnya, tapi bukan tugas bapak untuk menyembuhkan trauma ini. Bapak kan klien saya."

"Mungkin awalnya memang begitu, tapi mendengar kisahmu, saya ingin kamu menganggap saya sebagai orang tua. Saya pun kehilangan anak dan istri saya di insiden itu, Mas.

Alfi terkejut mendengar kalimat Raji barusan.


"Saat itu saya memang piket untuk menjaga pertandingan, anak dan istri saya menemani tapi mereka duduk di barisan penonton. Secepat debu yang beterbangan tertiup angin, secepat itu pula saya kehilangan keduanya."

Kali ini Alfi yang menatap mata tua Raji dengan penuh simpati.

"Saya masih ingat benar bagaimana ratusan orang terjepit dan berteriak kesakitan. Saya tidak berhasil menemukan anak dan istri dalam kepanikan itu. Saya mendapati mereka sudah berada di rumah sakit dan meninggal dunia setelah perawatan satu malam. Saya dan beberapa rekan lalu diberhentikan dari jabatan kami karena insiden itu. Saya menuai banyak kehilangan dalam sekejap mata." Mata Raji berkaca-kaca.

"Bapak tahu kenapa saya memilih menjadi Nostalgist? Karena saya ingin mengembalikan memori dan kenangan masa lalu yang Indah bagi banyak orang melalui sebuah bangunan. Kenangan saat kita masih bersama, saat belum ada yang meninggalkan satu sama lain. Saat segalanya masih utuh terjaga. Saya tidak ingin orang lain kehilangan masa -- masa indah itu seperti yang pernah saya alami."

Malam ini rasanya semilir angin bertiup lebih sejuk dari biasanya, bukan hanya bagi Alfi, juga untuk lelaki tua di hadapannya. Raji menepuk bahu anak muda itu beberapa kali, menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dan berharap Alfi pun akan merasakan hal yang sama.

Rumah bukanlah tempat asal Anda, melainkan tempat Anda menemukan terang saat semua menjadi gelap. (Pierce Brown)

-Selesai-

Bekasi, hari ke-4 Oktober 2022

Salam 

Nostalgist : Sebutan bagi seorang desainer interior yang bertugas merancang desain ruang-ruang yang dapat mencerminkan  memori atau nuansa masa lalu (tentik.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun