Mohon tunggu...
Tobi J. Doseng
Tobi J. Doseng Mohon Tunggu... Guru - Biarlah gelas yang kuminum cukup setengah penuh.

Kehormatan terbesar dalam hidup saya adalah jika saya total mencintai diri, keluarga, sesama, dan profesiku. Untuk itu, segala yang bernada positif adalah tamu pertama yang kupersilakan memasuki pikiranku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

SMP St. Yosef Lawir: Rahim Kebanggaanku

18 Maret 2023   14:05 Diperbarui: 18 Maret 2023   14:07 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SMP St. Yosef Lawir: Rahim Kebanggaanku

Peti kayu berukuran 50 kali 50 sentimeter diletakkan begitu saja di samping tempat duduknya. Bantal yang warna sarungnya tampak begitu kusam dan digulung bersama tikar, dijadikan sandaran utamanya saat ia tidur beralaskan tanah berumput kering. Pandangannya begitu kosong. Ia memandang birunya angkasa tanpa berkedip. Sesekali juga ia mengukir sudut bibirnya dengan kerutan pilu yang diakhiri dengan tetesan air mata pada wajah polosnya. Tangan kecilnya pun kadang merogoh ke dada untuk memastikan apakah kunci petinya masih berkalung di leher. Tanpa ada kata yang tercuap, air matanya kembali membasah deras pada pipihnya.

“Nana, bangun sudah ge!”

Ia mengikuti suara ajakan itu tampak begitu berat. Sempat ia jatuh kecil. Namun kemudian ia bisa berdiri tegap. Lalu, ia mengipasi pantat dan punggungnya agar rumput dan debu tak lagi menempel.

“Lihat! Ini namamu, Nana. Berarti ini adalah tempat tidurmu. Kau tidur di lante dua, Nana. Pasti mimpi juga akan bagus-bagus. Hehe…”

Inilah secuil kisah di hari Kamis tanggal 17 Juni 1993 di pukul 16.00. Kisah yang begitu kuat membekas dalam lembar memoriku. Kisah atas hari pertama saat saya masuk aula paroki yang dimetmorfosis menjadi asrama SMPK St. Yosef Lawir. Kisah elegi hari pertama saat mulai tidur malam tidak lagi serumah dengan orang tua, kakak, atau adik.


Ingin untuk menceritakan semuanya di sini, tapi rupa-rupanya kertas yang perlu dipersiapkan tak cukup hanya serim. Untuk itu, saya hanya membagikan beberapa hal yang telah memberikan arti siapakah saya sebagai anak yang telah ditempa di atas tanur SMPK St. Yoseph Lawir. Selain, untuk memerciki rasa bangga atas “harta” yang telah diwariskan oleh alamamater tercinta ini kepada siapa yang ingin membaca kisahku ini.

Dua Waktu yang Menentukan 

Jadwal kegiatan asrama dan sekolah begitu mudah ditemukan. Pembina asrama dibantu oleh kakak-kakak kelas, menempelnya dengan rapih pada titik-titik kumpul atau pada lokasi yang pasti orang lewat depannya. Di ruang belajar, di dapur,  di pintu masuk asrama, dan bahkan di depan kamar toilet adalah lokasi mereka ditempatkan.  

Sesewaktu, kadang kertas jadwal tersebut melayang tanpa ditopang oleh angin alias dicabut tangan-tangan jahil. Namun tak serta merta, kegiatan yang sudah terjadwal ikut huru hara. Jika demikian adanya, maka pasti seorang kaka kelas yang punya suara keras dan wajah sedikit serem menggantikannya. Bukan untuk menempel yang baru. Tetapi mengumumkan dengan teriakan lantang tentang apa yang dilakukan setiap jamnya.

Dari aneka jadwal yang ada, ada dua jadwal yang sedikit susah saya cepat mengadaptasinya, yaitu tidur siang dan belajar (sehabis tidur siang dan sebelum sesudah makan malam).

 Pertama, tidur siang. Kurang lebih sejam sehabis makan siang, semua anak asrama wajib tidur siang. Muka kampung, wajah luguh, dan patuh pada teriakan kakak kelas adalah ragam pertama yang kuperintahkan kepada mata untuk turut. Sangat susah. Badan bolak balik. Bunyi kruk krak tripleks alas tempat tidur tak terkendali. Alhasil, tendangan mirip saolin dari kakak kelas yang menempati lantai bawah dari tempat tidur tidak bisah ditolak.

Kondisi keseimbangan sehabis tanda lonceng selesai tidur dibunyikan juga tak kalah meggelikan. Saya kadang malu karena saya seperti ibu hamil yang mual muntah pada pagi hari atau yang kerap disebut morning sickness. Bahkan satu waktu, seorang teman kelas saya menertawakan keadaan tersebut sampai ia tidak sadar celananya sudah melorot dan tanpa sensor terlihat jelas ia tidak menggunakan celana dalam. Hehe…

Benar. Aku sungguh tersiksa. Waktu untuk tidur siang yang kutahu hanya dimiliki anak-anak balita, kini terjadi pada saya. Waktu yang kerap mamaku bilang bahwa itu waktu bukan khusus untuk anak-anak miskin seperti saya. Waktu yang mamaku paling benci karena tidak dimanfaatkan untuk segera bekerja setelah perut dinyatakan kenyang. Dan ajaran itu, benar-benar direstui oleh sistem hormon tubuhku.    

Proses menggelindingkan sandungan yang sudah menjadi pola pikir tersebut, mulai menunjukkan titik toleransinya setelah kebiasaan tidur siang berlaku ajek. Reaksi tubuh saya sehabis tidur siang tidak lagi seperti biasanya. Saya mulai merasakan pikiran saya kian tenang. Ketika tangan dan kaki diregangkan, aliran darah per nadi begitu terasa. Sangat segar.  Rasa romantisme untuk segera pulang ke rumah pun mulai hambar.

Tak hanya itu. Yang paling mengagumkan adalah setelah saya membaca ulang  materi yang diberikan oleh guru di sekolah begitu mudah dihafal. Daya ingat saya begitu bagus. Saya bahkan mampu mengingat secara detail untuk tiga empat halaman dari buku yang pernah saya baca.

Yang lucunya, pas minggu kedua dalam bulan. –Waktu yang diijinkan Bapak asrama untuk mengunjungi ortu.–  Kedua orang tua saya kaget. Kata mereka, saya mulai gemuk, wajah semakin mulus, kulit semakin putih, dan badan saya tampak berotot.

“Kau makan apa di asrama, Nana?”, tanya mereka. “Apa pun makanannya, yang penting tidur adalah kewajiban,” selorohku sambil tertawa.

Jadi ternyata, tidur siang membawa berkah terhadap saya, baik secara fisik maupun psikis. Demikian juga terhadap prestasi belajar.

Kedua, belajar. Waktu yang terjadwal secara khusus seperti tertempel di dinding ruang belajar adalah hal yang baru kutemukan. Itu lantaran belum kulakukan pada jenjang pendidikan sebelumnya, apalagi di rumah. Suasana pengiringnya pun menambah pemaknaannya.

Bila lonceng tanda mulai dibunyikan, keheningan menghinggapi kami semua. Suara yang tersisa hanya langkah serokan kaki dari Bapa asrama. Ia yang mengontrol kami cukup dengan pandangan matanya yang tajam. Ia pun tidak mengompromi anak asrama yang menduduki meja belajar dengan telat. Baginya, belajar on time adalah keharusan dan duduk dengan tenang sambil membaca adalah kemutlakan.  Suasana yang betul-betul terjaga.

Tetapi awal yang baik tersebut tidak beriringan dengan rasa nyaman yang kumiliki. Kebiasaan membaca cepat dengan bersuara adalah perkara awal yang cukup sulit kukendalilan saat itu. Coba dengan mengatupkan mulut agar tidak menimbulkan kegaduhan, malah suara gemuruh memenuhi tenggorokanku.

Rasa jengkel semakin memuncak manakala waktu untuk belajar tahap pertama disediakan selama sejam. Tempus yang terlalu lama bagi anak kampungan yang lebih betah untuk bermain bersama teman-temannya.   

Keadaan yang sama bila belajar di sesi sebelum dan sesudah makan malam. Anak SMP kelas 1 yang masih culun, kerap diteriaki Bapa asrama. Itu lantaran membuka mulut tak ubahnya seekor kuda yang lagi kawin. Yah, kami menguap lebar tanpa menutup dengan tangan.

Jangan pula lihat gerakan jari tangan, baik kiri atau kanan. Kedunya, tidak pernah lelah untuk mengocok bola mata. Seolah-olah ada selumbar yang mengganjal. Hasilnya? Air mata menganak sungai. Waktu yang selayaknya disediakan untuk membaca buku (catatan) disedot habis untuk mengurus dua organ yang mengapiti hidung tersebut.

“Apakah saya terus menerus bertahan dengan kebiasaan ini yang tidak mencirikan saya sebagai pelajar?”, batinku menggugat. Pertanyaan ini pun kutulis pada halaman muka buku catatan matematika. Buku yang harus kubuka setiap sesi belajar dimulai. Dengan demikian, ia menjadi penyapa pertama saya saat waktu belajar dimulai.

Meskipun perubahannya tidak serentak, namun tanda-tanda menggembirakan mulai tampak berkat refrein gugatan itu. Saya bahkan berjanji pada diri untuk memberikan waktu sepenuhnya saat belajar dimulai. Saya pun memusatkan seluruh kosentrasi saya pada buku yang saya baca.

Faktor pendukung lain pun kusempurnakan. Kebiasaan mengeluarkan suara saat membaca, kucegah dengan menutup mulutku dengan telapak tangan  kiriku. Kadang pula jari telunjuk kiri dan kanan kumasukan ke lubang telinga untuk mencegah suara berisik mengganggu ketenangan belajarku.

Kupastikan pula bahwa posisi dudukku nyaman. Pandanganku kugiring untuk berpusat hanya kepada huruf-huruf di buku. Di tangan kananku, balpoin tidak kulepas. Ia kugunakan untuk menggarisbawahi kata-kata kunci atau kalimat inti dalam sebuah paragraf. Selain itu, kumanfaatkan balpoin itu untuk mencakar ulang mapel-mapel sekelas matematika.

Ritme belajar tersebut kurawat terus. Guru-guruku sangat senang dengan saya. Mereka menunjukkan apresiasinya saat saya menjawab dengan bagus untuk pertanyaan yang mereka berikan. Bahkan mereka tidak sungkan menyebut nama saya untuk dijadikan model bagi teman sekelas atau kakak-kakak kelas dalam (pencapaian) belajar.

Nama saya begitu melambung. Guru-guru esdeku pun sangat berbangga mendengar prestasi belajarku itu. Mereka sumringah karena anak hasil didikan mereka telah mengharumkan nama baik sekolah. Namun saya tidak jemawah. Saya tetap meletakkan diri saya dalam kerendahan hati dan kesederhanaan sebagai anak petani miskin.

Nilai yang Dipetik

Tanpa mengabaikan kebiasaan lain yang dilembagakana oleh Asrama SMPK St. Yoseph Lawir, seperti Misa pagi atau sore; dua waktu kegiatan di atas telah membentuk karakter saya. Mereka memberikan tanda yang jelas akan asal mana eSeMPe almamaterku.

Saat saya melanjutkan Pendidikan di SMAN Ruteng (sekarang SMAN 1 Langke Rembong), pengalaman di atas kugoresi dalam tertib hidup dan prestasi belajarku. Mereka tidak lagi kutempatkan sebagai sebuah rutinitas yang saat tidak patuh harus dikenai sanksi. Tetapi keduanya kujadikan sebagai sebuah habitus. Sebuah kebiasaan baik yang menjadi gaya hidup. Yang dengannya orang percaya lalu mengikutinya bukan melalui perkataan semata tetapi melalui tindakan nyata.

Untuk itu, ada beberapa poin penting akan nilai yang kutimba dari rahim almamater tercintaku, SMPK St. yoseph Lawir. Pertama, tidur dulu baru belajar. Siapa pun yang hendak belajar (atau membaca), maka seluruh indra yang ia miliki harus tercurah pada buku atau catatan yang di depan matanya. Kosentrasinya harus terpusat pada setiap kata yang terjabar dalam paragraf. Jika syarat ini terpenuhi, maka bukan hal yang mustahil, semua isi dari buku tersebut dapat ditangkap.

Namun demikian, semua indra tersebut bisa bekerja optimal jika hanya jika kondisi fisik dan psikis dalam level nyaman. Dan keterpenuhan level tersebut salah satunya melalui tidur (siang) yang cukup. Tidur mendongkrak daya ingat. Ia juga menjaga ruang kosentrasi bekerja secara penuh.

Apa yang terjadi jika kita belajar (atau membaca) tidak diimbangi dengan tidur (siang) yang cukup? Kita hanya membaca untuk membaca. Tidak pernah sampai pada level untuk mengingat apa lagi menyimpulkan. Indra-indra kita (terutama mata) pun menjadi beresiko jatuh sakit.

Lucunya lagi, lembaran-lembaran buku menjadi peninabobo. Ia pun merestui kita untuk jadikan dia sebagai bantal. Meskipun itu menggelikan. Tapi jauh lebih baik  dari pada lembar-lembar miliknya dihancurkan oleh air liur yang amis.

Kedua, tidur dan belajar diatur dalam waktu.  Penjadwalan yang tertib harus  ditetapkan dalam semua rencana kegiatan. Hal itu mendesak agar indikator kerja bisa diukur dan target yang ditetapkan terwujud.

Jika kemudian pengaturan waktu menjadi habitus, maka seluruh sistem dalam tubuh pun akan merestuinya. Tubuh akan memberikan tanda kepada kita akan apa yang dilakukan secara on time, meskipun kita  tidak memiliki alat penunjuk waktu. Jadi, tubuh memberi sinyal secara otomatis untuk sebuah aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan baik harian kita. Termasuk dalam belajar dan tidur.   

Ketiga, aturan menopang perkembangan instansi dan komunitas. Semua peraturan asrama dan sekolah, yang kualami selama tiga tahun di SMP, begitu mesra. Keduanya saling melengkapi dan menguatkan. Keduanya tidak bertumpang tindih.

Para guru, pembina asrama, siswa dan semua pihak terkait pun tunduk pada ketentuan tersebut. Kami semua menjalankannya berdasarkan hak dan kewajiban yang terurai di dalamnya. Sanksi pun begitu patuh dipenuhi.

Semua peraturan tersebut, meskipun banyak menyasar ke peran perseorangan, kami tidak lakoni  dalam kesendirian. Tetapi dalam spiritualitas komunitas. Spiritualitas sebeban sepenanggungan. Dengan demikian, suasana saling mengingat, saling memberi masukan, mengeritik dalam kasih, dan memberi sanksi bukan karena jengkel atau marah meningkatkan aura persaudaraan kami.

Akhirnya,

Ketiga nilai yang saya garis bawahi di atas bukanlah karena mereka saja yang tersisa dalam keidentitasanku sebagai anak tamatan SMP Lawir. Untuk menulis semuanya, sekali lagi, mungkin tidak akan ditemukan bab penutup.

Oleh karena itu, jika masih ada “harta” yang tidak sempat kutulis di sini namun teman-teman seangkatan atau yang pernah dibesarkan oleh rahim SMP Lawir masih mencatatnya dengan baik, maka sempatkan diri kita duduk bersama lalu saling bercerita. Kita saling berbagi tentang tawa dan air mata, suka dan duka, gagal dan sukses saat kita selagi bersama. Hingga akhirnya, kita sama-sama beridiri lalu menundukkan kepala untuk memberikan pengehormatan kepada almamater tercinta ini, SMP Lawir.

Untuk adik-adik yang masih diasuh dalam rahim yang sama ini, kakakmu ini berpesan.

Jangan engkau ukiri hari esokmu tanpa ada ambisi

Jangan pula engkau meragukan kemampuan dirimu

Letakkan mimpimu dalam hasrat untuk menjadi yang terbaik

Kau adalah anak panah yang sudah dilepas dari busur orang tuamu

Masa depanmu ada pada tanganmu sendiri

 

Dan….

Hendaklah ilmu menjadi wadas berdiri dan langkahmu

Karena harta itu tidak akan direbut oleh siapa pun di dunia ini.

Dirgahayu almamaterku.

Jayalah selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun