Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Polda Metro Jaya Resmi Tahan NM atas Kasus Pemerasan, Pengancaman dan TPPU

10 Oktober 2025   18:20 Diperbarui: 10 Oktober 2025   15:08 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada masa ketika nama Nikita Mirzani identik dengan dua hal, keberanian dan kehebohan. Ia bicara tanpa filter, melawan tanpa takut, dan berani tampil apa adanya di tengah dunia hiburan yang penuh topeng. Tapi kini, suara lantangnya bergaung di tempat yang berbeda, di ruang sidang, bukan lagi di layar kaca.

Pada Kamis (9/10/2025), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nikita berdiri di hadapan majelis hakim dengan wajah tegas namun tak setegar dulu. Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan, 11 tahun penjara dan denda Rp2 miliar.

Kasus yang menjeratnya bukan perkara kecil, pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap seorang dokter sekaligus pebisnis kecantikan, Reza Gladys.

Tuntutan itu seperti puncak dari gunung es panjang kisah Nikita, perjalanan dari "artis berani bicara" menjadi "tersangka pemerasan."

Publik yang dulu bertepuk tangan karena ketegasannya, kini terbelah, antara yang menganggap ia hanya korban "permainan digital," dan yang menilai inilah konsekuensi dari kesembronoan.

Nikita Mirzani dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp2 miliar atas kasus pemerasan dan pencucian uang terhadap dokter Reza Gladys. - Tiyarman Gulo

Awal yang Sepele, Review Produk yang Berujung Petaka

Semua bermula dari hal yang tampak remeh, ulasan produk di TikTok.

Pada Rabu (9/10/2024), akun @dokterdetektif yang dikelola seorang dokter bernama Samira, mengulas produk kecantikan Glafidsya, milik Reza Gladys. Ia menilai serum vitamin C booster dari Glafidsya tak sesuai klaim dan harganya tak sebanding dengan kualitasnya.

Dua hari berselang, Samira kembali mengulas lima produk lain. Kritiknya makin tajam, menyebut ada potensi bahaya di balik label "anti-aging."

Video itu viral. Ribuan komentar muncul. Sebagian membela, sebagian menyerang. Reza Gladys akhirnya mengunggah video permintaan maaf, sebuah langkah yang di dunia maya sering kali justru membuat luka makin lebar.

Di titik inilah Nikita Mirzani muncul.

Masuknya Nikita, Dari Siaran Langsung ke Aksi Ancaman

Lewat akun TikTok-nya, @nikihuruhara, Nikita menyiarkan live streaming panjang yang menohok. Ia menuding produk Reza mengandung zat berbahaya, bahkan menyebut bisa menyebabkan kanker kulit.

Kalimat demi kalimat keluar seperti peluru tanpa kendali. Warganet yang menonton merasa dihibur, tapi bagi Reza Gladys, itu awal dari badai besar.

Video Nikita memancing gelombang hujatan baru. Produk Glafidsya dihujani komentar negatif, dan sebagian pelanggan mulai menarik diri. Reza panik. Dalam situasi penuh tekanan, seorang rekan sesama dokter bernama Oky menyarankan solusi tak biasa, 

"Coba kasih uang aja ke Nikita, biar berhenti ngomong."

Solusi itu ternyata membuka babak baru yang lebih kelam.

Uang, Ancaman, dan Speak Up yang Disalahartikan

Lewat asistennya, Ismail Marzuki, Nikita dikabarkan menyampaikan pesan kepada Reza, ia ingin berbicara langsung, tapi dengan nada yang berbeda.

Pesan WhatsApp dari Ismail mengandung ancaman halus, jika tidak ada "itikad baik," Nikita akan "speak up." Kata itu, speak up, yang bagi sebagian orang berarti keberanian mengungkap kebenaran, dalam konteks ini menjadi ancaman akan membuka aib.

Ahli linguistik yang dihadirkan dalam persidangan, Makyun Subuki, menjelaskan bahwa kata "speak up" memang bisa bermakna positif atau negatif tergantung konteksnya. Dalam kasus ini, jelas bermakna negatif, sebuah ancaman verbal yang menyiratkan tekanan psikologis.

Takut reputasinya hancur, Reza akhirnya setuju memberi uang.

Nominalnya fantastis, Rp4 miliar.

Uang itu dikirim melalui rekening Ismail, dan dari sana, Rp30 juta diberikan kembali kepada Nikita. Jaksa menilai ini bukti keterlibatan langsung Nikita dalam pemerasan terencana.

Dari Drama Sosial Media ke Drama Hukum

Kasus ini bukan sekadar soal uang, tapi tentang bagaimana kekuatan media sosial bisa berubah menjadi alat tekanan.

Dulu, selebritas mengandalkan kamera televisi dan panggung musik untuk bersuara. Kini, cukup satu live di TikTok, dan seluruh negeri bisa berguncang.

Nikita Mirzani selama ini dikenal sebagai figur yang blak-blakan.

Ia sering menyoroti ketidakadilan, menggugat sistem, dan berbicara tanpa rasa takut. Tapi kali ini, keberaniannya justru menjadi senjata yang berbalik arah.

Jaksa menilai, niat dan tindakan Nikita jelas mengarah pada upaya menguntungkan diri sendiri lewat ancaman.

Dalam hukum pidana, niat seperti itu masuk ke dalam unsur "kesengajaan untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum."
Dan karena uang hasil pemerasan itu digunakan kembali dalam bentuk transaksi yang sulit dilacak, unsur TPPU (tindak pidana pencucian uang) pun ikut menjeratnya.

Tuntutan Berat, 11 Tahun dan Denda Rp2 Miliar

Ketika JPU membacakan tuntutan, suasana ruang sidang mendadak hening.

Sebelas tahun penjara bukan angka kecil.

Bahkan untuk ukuran kasus pemerasan biasa, hukuman itu tergolong berat.

Namun jaksa punya alasan. Mereka menyebut tindakan Nikita terencana, dilakukan berulang, dan melibatkan pihak lain (Ismail).
Selain itu, akibat perbuatannya, korban menderita kerugian besar dan reputasi rusak di depan publik.

"Dengan demikian unsur untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum telah terbukti sah dan meyakinkan," ujar jaksa.

Hakim ketua, Khairul Soleh, menutup sidang dengan kalimat yang tegas tapi tetap formal,

"Sidang ditunda hingga Kamis, 16 Oktober 2025, untuk mendengarkan pembelaan dari terdakwa dan penasihat hukumnya."

Nikita yang biasanya ekspresif hanya menunduk.

Untuk pertama kalinya, ia tidak bersuara.

Antara Hukum dan Citra Publik

Menariknya, kasus ini menunjukkan betapa tipisnya batas antara "keberanian berbicara" dan "ancaman verbal."

Di dunia digital, setiap kata bisa direkam, dipelintir, atau digunakan sebagai alat bukti.

Bagi banyak selebritas, media sosial adalah panggung tambahan, tempat membangun koneksi dengan penggemar. Tapi bagi Nikita, media sosial sering kali menjadi medan perang.

Ia pernah berseteru dengan sesama artis, politisi, bahkan aparat. Namun kini, lawannya bukan lagi akun gosip atau netizen, melainkan sistem hukum itu sendiri.

Di satu sisi, publik mengingat Nikita sebagai ibu tunggal yang kuat, yang membesarkan anak-anaknya dengan kerja keras. Di sisi lain, ada sisi gelap dari sosok yang sama, impulsif, meledak-ledak, dan sulit mengendalikan amarahnya di depan publik.

Fenomena Selebritas dan Hukum Digital

Kasus ini juga membuka mata tentang fenomena baru, kriminalisasi dan penyalahgunaan pengaruh digital.

Kini, setiap figur publik bisa memengaruhi opini publik hanya dengan satu unggahan. Dan di situlah bahayanya, karena opini bisa berubah jadi tekanan, dan tekanan bisa berubah jadi alat pemerasan.

Beberapa ahli komunikasi bahkan menyebut Nikita sebagai contoh "celebrity overexposure", terlalu sering tampil dan bicara hingga kehilangan batas antara persona digital dan dirinya sendiri.

Apa yang dulu dianggap hiburan, kini berubah jadi bukti di ruang sidang.

Pelajaran dari Kasus Nikita

Apa yang bisa dipetik dari kisah ini?

Pertama, popularitas tidak kebal hukum.

Sekeras apa pun seseorang di dunia maya, ia tetap terikat oleh hukum yang berlaku di dunia nyata.

Kebebasan berbicara tidak bisa disamakan dengan kebebasan menghina, menuduh, atau menekan orang lain demi keuntungan.

Kedua, media sosial bukan tempat yang netral.

Ia bisa jadi panggung, tapi juga jebakan.

Satu kata, satu emotikon, satu "live" yang emosional bisa mengubah hidup seseorang.

Ketiga, ketenaran adalah ujian karakter.

Ia bisa membuat seseorang dikenal, tapi juga bisa memperlihatkan sisi terdalam yang selama ini tersembunyi. Dalam kasus Nikita, keberaniannya bicara mungkin benar, tapi caranya yang blak-blakan membuat batas moral dan hukum kabur.

Antara Nikita dan Kita Semua

Di luar semua drama hukum dan sensasi, kisah ini sebenarnya juga tentang manusia biasa yang kehilangan arah di tengah gemerlap sorotan.

Nikita Mirzani, sekeras apa pun citranya di publik, tetaplah seorang ibu, seorang perempuan, yang pernah merasa dihina, diserang, dan berjuang sendirian.

Namun di dunia yang serba cepat ini, kadang keberanian bicara tanpa batas bisa berubah menjadi pisau bermata dua.
Dan pisau itu, kali ini, menancap balik pada dirinya sendiri.

Panggung Terakhir

Mungkin ini bukan akhir bagi Nikita Mirzani.

Masih ada babak pembelaan, masih ada peluang banding, dan tentu saja masih ada ruang bagi publik untuk menilai ulang siapa dia sebenarnya.

Namun satu hal pasti, kisah ini akan diingat bukan hanya sebagai kasus hukum, tapi sebagai cermin zaman, di mana popularitas dan kekuasaan digital bisa mengangkat seseorang ke puncak, atau menjatuhkannya ke dasar terdalam.

Kisah Nikita bukan sekadar drama artis.

Ini tentang bagaimana suara yang terlalu lantang bisa menggema ke ruang yang salah.

Dan pada akhirnya, hukum, bukan likes, yang menentukan segalanya.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun