Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saat Fanatisme Politik Kalahkan Akal Sehat

10 Oktober 2025   17:19 Diperbarui: 10 Oktober 2025   14:57 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roy Suryo Tanggapi santai pelaporan mantan Presiden Joko Widodo di Polda Metro Jaya atas tuduhan ijazah palsu. (TribunJakarta.com/Elga Hikari Putra)

Roy menambahkan bahwa ia sendiri ke Mabes Polri bukan untuk melapor, melainkan menyerahkan surat agar kasus laporannya dibuka kembali. Jadi, kedua belah pihak sama-sama datang ke polisi, tapi dengan tujuan yang sangat berbeda. Satu dengan semangat politik, satu lagi dengan urusan administrasi hukum.

Kasus yang Jadi Drama Publik

Kasus ini bermula dari tudingan lama tentang ijazah Jokowi. Isu itu seolah hidup lagi setelah beberapa tokoh, termasuk Roy Suryo dan dr. Tifauzia Tyassuma, mempertanyakan keaslian dokumen akademik Jokowi. Tuduhan yang, di era digital, dengan cepat membakar perdebatan di media sosial.

Bagi pendukung Jokowi, tudingan itu bentuk fitnah keji. Bagi pengkritik, itu bagian dari hak untuk mempertanyakan kejelasan publik figur. Tapi di tengah dua ekstrem itu, masyarakat awam lagi-lagi jadi korban kebingungan.

Ketika kasus ini masuk ke ranah hukum, seharusnya selesai di situ, antara pelapor, terlapor, dan penyidik. Namun, di Indonesia, urusan hukum sering kali berubah jadi drama publik. Semakin panas isu di dunia nyata, semakin riuh pula debat di media sosial.
Mereka yang tak tahu duduk perkara ikut beropini, membuat simpulan, dan saling serang di kolom komentar.

Fanatisme Politik yang Tak Kunjung Reda

Fenomena "geruduk polisi" ini sejatinya bukan pertama kali terjadi. Dulu, ketika era kampanye, pemandangan seperti itu sudah sering kita lihat, sekelompok orang memakai atribut partai, meneriakkan nama tokoh idolanya, sambil membawa poster dan spanduk. Tapi yang mengkhawatirkan, budaya itu kini merembes ke ruang hukum.

Pendukung militan bukan lagi hanya bertugas menyemangati, tapi juga mengawal, menekan, bahkan mendikte proses hukum.
Seolah-olah, keadilan harus berpihak pada jumlah massa. Semakin ramai pendukungmu di jalan, semakin besar kemungkinan laporanmu diproses cepat.

Ini gejala berbahaya. Karena di saat hukum sudah mulai bekerja, emosi massa malah ikut mengatur ritme keadilan.

Dan inilah wajah baru politik pasca-Jokowi, bukan lagi tentang gagasan pembangunan atau keberlanjutan, melainkan tentang loyalitas, fanatisme, dan siapa yang paling vokal membela idola.

Ketika Kunjungan ke Makam Jadi Simbol Kekacauan Logika

Salah satu episode paling absurd dari drama ini adalah ketika Roy Suryo dan dr. Tifa mendatangi makam keluarga Jokowi di Karanganyar. Kunjungan itu langsung memantik kemarahan. Peradi Bersatu menyebut tindakan itu "tidak masuk akal."
PSI bahkan menilai Roy dan Tifa "kehabisan akal dan gila publikasi."

Sekjen Peradi Bersatu, Ade Darmawan, melontarkan sindiran keras,

"Ini hubungannya makam apa sih? Lama-lama kita ke makam semua, deh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun