Pernyataan yang menampar logika publik. Bagi banyak orang, tindakan itu dinilai tak etis dan tidak relevan dengan substansi hukum. Tapi di sisi lain, justru menunjukkan betapa simbolisme dalam politik kita sudah kehilangan arah.
Segalanya bisa dijadikan panggung, dari pengadilan sampai pemakaman. Semuanya bisa jadi konten, bisa jadi headline, bisa jadi senjata untuk menyerang lawan atau menarik simpati publik.
Roy Suryo, Sindiran, dan Politik Emosional
Roy Suryo bukan nama baru dalam dunia politik Indonesia. Ia dikenal cerdas, tapi juga kerap menuai kontroversi karena gaya bicaranya yang blak-blakan. Dalam kasus ini, sindirannya bukan sekadar guyonan. Ia sedang menunjukkan sesuatu, bahwa politik Indonesia makin emosional.
"Lucu aja, mau apa lagi?" katanya ringan, tapi menyiratkan kejenuhan terhadap situasi di mana setiap langkah kecil bisa berubah jadi sensasi besar.
Kita hidup di zaman di mana emosi jadi mata uang politik. Orang lebih mudah percaya pada narasi yang menggugah perasaan daripada data yang dingin dan rasional. Di situlah muncul "politik rasa," di mana setiap kubu berusaha memenangkan hati, bukan pikiran.
Ketika Semua Ingin Benar Sendiri
Pendukung Jokowi merasa mereka membela kehormatan presiden. Pendukung Roy merasa mereka memperjuangkan kebenaran.
Keduanya sama-sama yakin berdiri di pihak yang benar.
Tapi yang sering terlupakan, kebenaran tidak butuh teriakan, ia butuh pembuktian. Dan pembuktian itu tempatnya di pengadilan, bukan di jalanan atau di layar YouTube.
Sayangnya, budaya debat sehat di negeri ini sudah lama kalah oleh budaya "adu siapa paling ramai." Setiap isu berubah jadi lomba trending topic. Setiap komentar berubah jadi ajang sindir. Kita jadi bangsa yang sibuk berteriak, tapi malas berpikir.
Ketika Hukum dan Loyalitas Sulit Dibedakan
Andi Azwan bilang, mereka hanya memberi "dukungan moral" untuk polisi. Tapi bagi banyak orang, aksi itu tak ubahnya tekanan politik. Mereka membawa nama besar Jokowi, Prabowo, dan Gibran, tiga figur yang seolah jadi simbol kekuasaan baru.
Ketika relawan membawa nama pejabat tinggi, apakah polisi masih bisa bekerja tanpa tekanan? Pertanyaan ini menggelayut di kepala banyak warga. Karena di negeri ini, batas antara "dukungan" dan "intervensi" sering kali tipis, bahkan nyaris tak terlihat.
Politik Tanpa Nalar
Kita hidup di masa di mana semua hal bisa jadi bahan perdebatan politik. Dari harga cabai, kecelakaan, sampai ijazah presiden, semua punya kubu. Masalahnya, semakin lama kita sibuk membela idola, semakin jauh kita dari substansi, kesejahteraan rakyat, integritas hukum, dan kedewasaan berdemokrasi.