Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Jika PKI Menang...

3 Oktober 2025   14:18 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:30 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kemenangan (pixabay.com/Pexels)

Coba bayangkan... Pagi hari, 1 Oktober 1965. Jakarta tidak lagi penuh dengan wajah cemas pasca malam penuh teror, melainkan bendera merah dengan palu arit berkibar di setiap sudut jalan. Radio nasional menyiarkan pidato panjang penuh semangat dari pemimpin Partai Komunis Indonesia. Lagu perjuangan diputar berulang-ulang, diselingi seruan bahwa Indonesia resmi memasuki babak baru, negara sosialis dengan ekonomi komunis.

Kedengarannya dramatis, bukan? Tapi mari kita jujur, apa yang akan terjadi kalau PKI benar-benar berhasil merebut kekuasaan? Bagaimana hidup sehari-hari rakyat? Bagaimana kondisi ekonomi, politik, bahkan suasana di meja makan kita? Mari kita bedah perlahan.

Jika PKI menang 1965, ekonomi komunis berlaku: nasionalisasi, kolektivisasi, kontrol ketat negara, rakyat miskin, takut, dan hidup penuh propaganda. - Tiyarman Gulo

Sejenak Menoleh ke 1965, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Pada tahun 1965, PKI adalah salah satu partai komunis terbesar di dunia di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Jumlah anggotanya jutaan, dengan simpatisan yang lebih luas lagi, buruh, petani, mahasiswa, hingga seniman. Mereka punya organisasi massa di mana-mana.

Di sisi lain, ketegangan politik sedang memuncak. Presiden Soekarno mencoba menyeimbangkan tiga kekuatan besar, militer, nasionalis, dan PKI. Ketika peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pecah, PKI dituduh sebagai dalang penculikan dan pembunuhan para jenderal. Militer kemudian mengambil alih, dan sejarah mencatat, PKI dihancurkan total.

Namun, mari kita putar balik skenario, bagaimana jika PKI justru menang?

Ekonomi Komunis, Nasionalisasi Besar-Besaran

Hal pertama yang kemungkinan dilakukan PKI adalah menghapus kapitalisme. Semua perusahaan swasta, baik milik asing maupun lokal, akan dinasionalisasi.

Bayangkan sebuah pabrik gula di Jawa, milik pengusaha Belanda. Besoknya, papan nama berganti, "Milik Negara". Atau sebuah toko tekstil di Pasar Baru, milik pedagang Tionghoa. Pemiliknya dipaksa menyerahkan kunci toko kepada pemerintah.

Bagi para pengusaha, ini jelas bencana. Mereka dicap "kapitalis" atau "musuh rakyat". Beberapa mungkin dipenjara, diasingkan, atau bahkan hilang begitu saja. Sementara itu, buruh dan rakyat kecil akan diberi janji manis, "Sekarang pabrik ini milik kita semua!"

Tapi apakah benar begitu? Sejarah dari negara lain menunjukkan bahwa setelah nasionalisasi, sering kali justru muncul birokrasi yang kaku. Buruh tetap bekerja keras, tetapi majikannya kini bukan lagi seorang pemilik modal, melainkan negara. Kalau negara menarik habis hasil kerja, buruh tetap tak bisa protes.

Pertanian, Sawah Kolektif, Petani Tak Lagi Punya Lahan

Indonesia pada 1960-an adalah negara agraris. Mayoritas rakyat hidup dari sawah. Jika PKI menang, hampir bisa dipastikan mereka akan meniru model kolektivisasi tanah seperti di Uni Soviet dan Tiongkok.

Artinya, petani tidak lagi punya sawah sendiri. Semua tanah disatukan, dikelola negara, lalu dikerjakan bersama-sama. Petani akan dipanggil bukan untuk menanam padi di sawahnya sendiri, tapi ke "lahan kolektif".

Sekilas, ini terdengar adil. Tuan tanah yang selama ini menguasai ratusan hektare akan dilucuti. Petani miskin senang karena tidak lagi menyewa tanah.

Namun, sejarah berkata lain. Di Uni Soviet pada 1930-an, kolektivisasi memicu kelaparan hebat. Di Tiongkok pada masa Great Leap Forward (1958--1962), puluhan juta orang meninggal karena produksi pangan anjlok. Mengapa? Karena semangat kerja menurun. Bayangkan, kalau hasil panen tetap diserahkan ke negara, apa motivasi petani untuk kerja keras?

Jika Indonesia menempuh jalan yang sama, lumbung padi bisa kosong, sementara rakyat dipaksa tetap menyerahkan hasil panen kepada negara. Krisis pangan hampir pasti menghantui.

Industri, Rencana Lima Tahun vs Perut Rakyat

Negara komunis biasanya punya satu resep wajib, Rencana Lima Tahunan. Semua target produksi ditentukan negara. Prioritas utama biasanya bukan sembako atau kebutuhan sehari-hari, melainkan industri berat, baja, semen, persenjataan.

Pemerintah mungkin akan membangun pabrik baja megah di Cilegon, membanggakan produksi traktor, atau memamerkan pesawat tempur buatan dalam negeri. Tapi di sisi lain, harga beras bisa melambung karena kurang perhatian.

Ini bukan asumsi kosong. Di Uni Soviet, rakyat sering antre panjang untuk roti, sementara pemerintah sibuk mengirim satelit ke luar angkasa. Di Korea Utara, rakyat lapar meski negara membanggakan misil balistik.

Di Indonesia versi PKI, mungkin saja rakyat bangga karena punya "pabrik revolusi", tapi perut tetap keroncongan.

Pendidikan dan Kesehatan, Gratis, Tapi...

Salah satu janji manis komunisme adalah layanan sosial gratis. Pendidikan dan kesehatan akan diurus negara. Sekolah mungkin akan dibangun di desa-desa terpencil. Klinik sederhana berdiri di pinggir kampung.

Sekilas, ini kabar baik. Anak-anak desa bisa sekolah tanpa bayar. Orang sakit tidak takut datang ke dokter.

Namun, masalahnya lagi-lagi soal kualitas. Sekolah tanpa buku, guru tanpa gaji layak, klinik tanpa obat, apa artinya? Gratis, ya, tapi seadanya. Bahkan di Kuba yang terkenal dengan sistem kesehatannya, rakyat sering kekurangan obat dasar.

Hidup Sehari-hari, Negara Ada di Mana-Mana

Sekarang mari kita intip kehidupan sehari-hari rakyat jika PKI menang.

Jalanan dipenuhi spanduk merah, mural palu arit di setiap tembok, dan rapat akbar partai hampir setiap minggu. Radio tiap pagi menyiarkan propaganda, "Revolusi kita semakin jaya!" Surat kabar hanya menulis berita keberhasilan, tak ada ruang untuk kritik.

Di sekolah, anak-anak tidak belajar Pancasila. Mereka akan dijejali Marxisme-Leninisme. Sejarah Indonesia ditulis ulang, PKI dipuji sebagai pahlawan, sementara musuh politik dicap pengkhianat.

Dalam kehidupan sosial, semua orang wajib hadir dalam rapat partai, pawai revolusi, atau gotong royong ala kolektif. Absen sekali saja bisa dicurigai sebagai "kontra-revolusioner". Aparat negara mengawasi bahkan percakapan di meja makan keluarga.

Rasa takut pun merayap. Siapa pun bisa ditangkap hanya karena laporan tetangga.

Harapan Rakyat Kecil, Bebas dari Tuan Tanah

Meski begitu, tidak semua akan melihatnya buruk. Bagi sebagian buruh dan petani, kemenangan PKI mungkin awal dari kebanggaan baru. Mereka merasa menjadi bagian dari revolusi dunia. Tidak ada lagi tuan tanah atau majikan yang menindas.

Tapi cepat atau lambat, kenyataan pahit datang, majikan baru mereka adalah negara. Kalau negara menarik habis hasil kerja, tak ada ruang untuk protes. Perlawanan hanya berujung penjara atau eksekusi.

Indonesia di Persimpangan Sejarah

Jika PKI menang, janji keadilan sosial bisa berubah menjadi bencana kemiskinan massal. Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris berlimpah pangan bisa terjerumus dalam kelaparan. Hidup rakyat bukan hanya miskin, tapi juga dicekam rasa takut.

Sejarah berkata lain. Militer mengambil alih, PKI dibubarkan, dan Indonesia masuk ke era Orde Baru. Tentu saja, jalur yang diambil pun penuh masalah, otoritarianisme, korupsi, dan krisis. Namun satu hal yang bisa kita tarik, Indonesia tidak jatuh ke dalam sistem ekonomi komunis total.

Belajar dari Sejarah, Bukan Terjebak Nostalgia

Sejarah memang tidak bisa diulang. Tapi membayangkan skenario "PKI menang" memberi kita pelajaran penting, setiap ideologi yang terlalu ekstrem, apakah itu komunisme total atau kapitalisme liar, selalu menyisakan korban.

Indonesia akhirnya memilih jalan tengah, demokrasi dengan segala kekurangannya. Kita masih berdebat soal keadilan sosial, pemerataan ekonomi, hingga kebebasan berpendapat. Tapi setidaknya, kita punya ruang untuk memperbaiki.

Mungkin itulah berkah terbesar, bahwa kita bisa belajar dari sejarah yang tidak terjadi, untuk menjaga masa depan yang sedang kita jalani.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun