Jalanan sekitar kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) mulai lengang setelah siang harinya ramai oleh aksi mahasiswa. Namun, suasana itu mendadak berubah mencekam. Asap putih menyesakkan memenuhi udara. Orang-orang berlarian ke dalam kampus, mencoba menyelamatkan diri. Teriakan, batuk, dan isak tangis bercampur menjadi satu. Malam itu, 1 September 2025, kampus yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa justru berubah menjadi arena pengendalian massa dengan gas air mata.
Gas air mata di Unisba memicu trauma, sorotan HAM, dan kritik publik. Kampus yang seharusnya ruang aman kini ternodai oleh represi aparat. - Tiyarman Gulo
Kronologi Singkat, Dari Aksi ke Kepungan
Semua berawal dari aksi mahasiswa Unisba bersama BEM dan massa di sekitar DPRD Jawa Barat pada Senin siang. Seperti banyak aksi mahasiswa sebelumnya, tuntutannya seputar kebijakan pemerintah yang dianggap memberatkan rakyat. Usai aksi, massa kembali ke kampus untuk beristirahat.
Menjelang tengah malam, tepat pukul 23.40 WIB, tiba-tiba aparat kepolisian bersama unsur TNI bergerak dari arah Balubur Town Square. Tanpa banyak peringatan, mereka menyergap kerumunan mahasiswa di sekitar gerbang utama kampus Unisba, Jalan Tamansari. Gas air mata ditembakkan ke arah mahasiswa yang sedang berada di dalam dan sekitar kampus.
Saksi mata menggambarkan suasana itu seperti "serangan mendadak". Mahasiswa yang panik berhamburan ke dalam kampus untuk berlindung. Namun, aparat tetap menembakkan gas air mata ke arah gedung kampus, bahkan hingga gerbang utama.
"Gerombolan TNI dan polisi tiba-tiba menyerang, menembakkan gas air mata. Ada korban yang sesak napas, ada satpam yang kena selongsong gas di dada," kata Kamal Rahmatullah, salah satu saksi di lokasi.
Satpam Unisba bernama Mulyadi bahkan mengalami luka di bagian dada karena terkena selongsong. Video amatir dan rekaman CCTV memperlihatkan polisi berseragam anti huru-hara merangsek ke area kampus, memperkuat gambaran betapa gentingnya malam itu.
Suara dari Lapangan
Bagi mahasiswa, malam itu bukan sekadar insiden biasa. Bayangkan, mereka baru saja pulang dari aksi panjang, lelah, lapar, hanya ingin beristirahat. Tiba-tiba kampus, tempat yang selama ini jadi "rumah kedua", berubah jadi lokasi pengepungan.
Seorang mahasiswa bercerita, ia harus menutup wajah dengan kaus basah agar bisa bernapas. Ada yang pingsan karena sesak napas. Ada pula yang menangis ketakutan. Situasi ini diperparah oleh kabar bahwa aparat tidak hanya berhenti di gerbang, tetapi menembakkan gas berkali-kali ke arah dalam.
Bagi warga sekitar, gas air mata itu juga membawa dampak. Anak-anak kecil dan orang tua yang tinggal di sekitar kampus ikut terpapar. Mereka terbangun tengah malam karena udara yang pengap, mata perih, dan tenggorokan terbakar. Malam itu, kampus dan sekitarnya berubah menjadi zona darurat.
Gas Air Mata, Senjata atau Alat Pengendali?
Gas air mata sering disebut sebagai "alat non-mematikan" untuk mengendalikan kerusuhan. Namun, siapa pun yang pernah merasakannya tahu, efeknya tidak main-main. Gas ini membuat mata perih, sesak napas, mual, bahkan bisa memicu serangan asma atau pingsan.