Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kisah Penjahit Ditagih Pajak Rp2,8M dan Guru Kehilangan Rp69 Juta dalam Sekejap

9 Agustus 2025   17:50 Diperbarui: 9 Agustus 2025   16:02 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ismanto kaget mendapatkan surat tersebut dan merasa tidak pernah melakukan transaksi sebesar tersebut. (TRIBUN JATENG/INDRA DWI PURNOMO)

Ada dua hal yang bisa membuat jantung orang biasa berdebar kencang tak karuan. Ketukan pintu dari orang tak dikenal yang berwajah serius, atau dering telepon dari nomor asing yang mengaku dari instansi pemerintah. Keduanya membawa aura yang sama. Kemungkinan adanya masalah. Dan ketika kata sakti "pajak" disebut, rasa was-was itu bisa berubah menjadi kepanikan.

Bagi Ismanto, seorang penjahit di gang sempit Pekalongan, "masalah" itu datang dalam bentuk surat dengan angka yang mustahil, sebesar Rp 2,8 Miliar. Juga bagi EW, seorang guru di Bantul, masalah itu datang dari suara ramah di telepon yang dalam sekejap menguras habis tabungannya. Mereka adalah korban dari dua wajah teror yang sama, yang menggunakan nama besar "pajak" untuk memangsa. Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah kisah nyata tentang bagaimana kehidupan orang biasa bisa jungkir balik, dan bagaimana kita semua bisa menjadi target berikutnya.

Waspada! Teror 'pajak' punya dua wajah: penyalahgunaan NIK seperti dialami penjahit Ismanto, dan penipuan via telepon yang menguras rekening guru EW. - Tiyarman Gulo

Kisah Ismanto dan Tagihan Mustahil di Gang Sempit

Di sebuah sudut Desa Coprayan, Pekalongan, terdapat sebuah gang sempit yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Di sanalah Ismanto (32) dan istrinya, Ulfa (27), merajut hidup. Suara mesin jahit menjadi musik latar keseharian mereka. Ismanto adalah seorang buruh jahit lepas. Hidupnya sederhana, sangat sederhana. 

"Motor saja masih kredit, rumah tidak punya," ungkapnya. 

Pendapatannya pas-pasan untuk makan dan biaya sekolah anak.

Pada Rabu, 6 Agustus 2025, irama hidup yang tenang itu pecah. Empat orang berpenampilan resmi datang mengetuk pintunya. Mereka mengaku sebagai petugas pajak. Di tangan mereka, ada surat yang membuat dunia Ismanto seakan berhenti berputar. Surat itu berisi tagihan pajak senilai Rp 2,8 Miliar.

"Saya kaget, karena saya cuma buruh jahit lepas," kata Ismanto, suaranya bergetar menahan syok. 

"Tidak pernah punya usaha besar, apalagi sampai transaksi beli kain dalam jumlah besar seperti itu."

Logikanya menolak. Akal sehatnya menjerit. Bagaimana mungkin seorang penjahit rumahan, yang hidup dari upah jahitan, bisa memiliki utang pajak yang cukup untuk membeli beberapa rumah mewah? Para petugas yang datang pun, menurut Ismanto, tampak ikut bingung melihat kondisi rumahnya yang sangat kontras dengan angka di surat yang mereka bawa. 

"Kok rumah saya yang seperti ini bisa kena tagihan pajak miliaran rupiah," tambahnya.

Tak mau pasrah, Ismanto mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pekalongan untuk mencari kejelasan. Di sanalah kepingan puzzle yang lebih mengerikan mulai terungkap.

Kepala KPP Pratama Pekalongan, Subandi, memberikan klarifikasi penting. Kedatangan petugasnya bukanlah untuk "menagih", melainkan untuk "klarifikasi". Dalam sistem administrasi mereka, tercatat ada sebuah transaksi raksasa senilai Rp 2,9 Miliar yang dilakukan dengan salah satu perusahaan, dan transaksi itu menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik Ismanto. Jadi, nilai Rp 2,8 Miliar itu bukanlah jumlah pajaknya, melainkan nilai transaksi yang tercatat atas namanya.

Ismanto adalah korban dari "Hantu Senyap", yaitu penyalahgunaan identitas. NIK-nya, entah bagaimana, telah dicuri dan digunakan oleh pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan transaksi miliaran rupiah. Ia tak tahu, tak merasa, hingga surat dari kantor pajak datang sebagai pembawa kabar buruk. Ada dugaan kuat, pihak lain telah memakai NIK Ismanto.

Kisah Guru EW dan Saldo Rp 69 Juta yang Lenyap

Ratusan kilometer dari Pekalongan, di sebuah sekolah di Bantul, Yogyakarta, "Hantu Pajak" beraksi dengan cara yang berbeda. Kali ini, ia tidak datang diam-diam lewat surat, melainkan lewat suara ramah di telepon. Korbannya adalah EW (49), seorang guru MTs Negeri.

Pada Kamis, 24 Juli 2025, di tengah kesibukannya mengajar, ponsel EW berdering. Seorang perempuan di seberang telepon mengaku sebagai petugas pajak. Dengan nada profesional, telepon itu kemudian disambungkan ke seorang pria yang mengaku sebagai rekannya. Di sinilah jebakan dimulai.

AKP I Nengah Jeffry dari Polres Bantul menjelaskan modus operandinya. Pelaku meminta EW untuk mengunduh sebuah aplikasi bernama "Coretax" (nama yang dibuat agar terdengar resmi). Setelah aplikasi terpasang, penipu itu meminta EW melakukan video call dengan mengaktifkan mode share screen atau berbagi layar.

Ini adalah langkah fatal. Dengan berbagi layar, penipu bisa melihat semua yang tampil di ponsel EW, termasuk saat ia membuka aplikasi mobile banking. 

"Dalam video call itu, terlapor bisa melihat m-banking milik korban dan menguras dua rekening hingga korban mengalami kerugian Rp 69.150.000," jelas Jeffry.

Dalam sekejap, tabungan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun ludes. EW adalah korban "Hantu Bersuara". Penipu aktif yang menggunakan rekayasa sosial, memanipulasi korban dengan dalih otoritas (pajak) dan teknologi untuk membobol rekening. Setelah sadar, yang bisa ia lakukan hanyalah melapor ke polisi, berharap uangnya kembali dan pelaku tertangkap.

Cara Bertahan dari Dua Wajah Teror 'Hantu Pajak'

Kisah Ismanto dan EW adalah cerminan dari kerentanan kita di era digital. Keduanya adalah orang biasa yang menjadi korban karena satu hal, yaitu data pribadi. Kasus mereka mengajarkan kita bahwa ancaman tidak hanya satu, dan kita perlu membangun pertahanan untuk keduanya. Berikut Kit Pertahanan Diri dari 'Hantu Pajak'

1. Melawan Hantu Senyap (Kasus Ismanto). Jaga KTP dan NIK Anda Seperti Harta Karun.

  • Jangan Pernah Meminjamkan KTP. NIK Anda adalah kunci utama identitas digital Anda. Jangan pernah memberikannya kepada orang yang tidak tepercaya, apalagi untuk "dipinjam" dengan iming-iming uang.

  • Hancurkan Fotokopi Tak Terpakai. Jangan buang fotokopi KTP atau dokumen penting lainnya secara utuh. Sobek atau hancurkan bagian NIK dan data vital sebelum membuangnya.

  • Segera Klarifikasi. Jika Anda menerima surat aneh dari kantor pajak atau instansi lain, jangan panik atau diabaikan. Segera datangi kantor resminya untuk melakukan klarifikasi, seperti yang dilakukan Ismanto.

2. Melawan Hantu Bersuara (Kasus Guru EW). Curiga adalah Senjata Terbaik Anda.

  • Jangan Klik Link atau Unduh Aplikasi Sembarangan. Instansi resmi seperti Ditjen Pajak tidak akan pernah meminta Anda mengunduh aplikasi melalui tautan WhatsApp atau telepon. Semua aplikasi resmi hanya ada di Play Store atau App Store.

  • Jangan Pernah Berbagi Layar (Share Screen). Tidak ada satu pun alasan valid bagi petugas bank, pajak, atau instansi mana pun untuk meminta Anda berbagi layar saat membuka aplikasi perbankan. Jika ada yang meminta, itu 100% penipuan.

  • Verifikasi Ulang. Jika mendapat telepon mencurigakan, tutup teleponnya. Cari nomor telepon resmi instansi tersebut melalui Google, lalu hubungi mereka untuk memverifikasi kebenarannya.

Kisah Ismanto dan EW adalah pelajaran mahal bagi kita semua. Di dunia di mana data adalah mata uang baru, menjaga identitas pribadi kita bukanlah lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk bertahan hidup. Tetap waspada, karena 'hantu pajak' bisa mengetuk pintu atau menelepon siapa saja, kapan saja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun