Ada dua hal yang bisa membuat jantung orang biasa berdebar kencang tak karuan. Ketukan pintu dari orang tak dikenal yang berwajah serius, atau dering telepon dari nomor asing yang mengaku dari instansi pemerintah. Keduanya membawa aura yang sama. Kemungkinan adanya masalah. Dan ketika kata sakti "pajak" disebut, rasa was-was itu bisa berubah menjadi kepanikan.
Bagi Ismanto, seorang penjahit di gang sempit Pekalongan, "masalah" itu datang dalam bentuk surat dengan angka yang mustahil, sebesar Rp 2,8 Miliar. Juga bagi EW, seorang guru di Bantul, masalah itu datang dari suara ramah di telepon yang dalam sekejap menguras habis tabungannya. Mereka adalah korban dari dua wajah teror yang sama, yang menggunakan nama besar "pajak" untuk memangsa. Ini bukan cerita fiksi. Ini adalah kisah nyata tentang bagaimana kehidupan orang biasa bisa jungkir balik, dan bagaimana kita semua bisa menjadi target berikutnya.
Waspada! Teror 'pajak' punya dua wajah: penyalahgunaan NIK seperti dialami penjahit Ismanto, dan penipuan via telepon yang menguras rekening guru EW. - Tiyarman Gulo
Kisah Ismanto dan Tagihan Mustahil di Gang Sempit
Di sebuah sudut Desa Coprayan, Pekalongan, terdapat sebuah gang sempit yang lebarnya tak lebih dari satu meter. Di sanalah Ismanto (32) dan istrinya, Ulfa (27), merajut hidup. Suara mesin jahit menjadi musik latar keseharian mereka. Ismanto adalah seorang buruh jahit lepas. Hidupnya sederhana, sangat sederhana.Â
"Motor saja masih kredit, rumah tidak punya," ungkapnya.Â
Pendapatannya pas-pasan untuk makan dan biaya sekolah anak.
Pada Rabu, 6 Agustus 2025, irama hidup yang tenang itu pecah. Empat orang berpenampilan resmi datang mengetuk pintunya. Mereka mengaku sebagai petugas pajak. Di tangan mereka, ada surat yang membuat dunia Ismanto seakan berhenti berputar. Surat itu berisi tagihan pajak senilai Rp 2,8 Miliar.
"Saya kaget, karena saya cuma buruh jahit lepas," kata Ismanto, suaranya bergetar menahan syok.Â
"Tidak pernah punya usaha besar, apalagi sampai transaksi beli kain dalam jumlah besar seperti itu."
Logikanya menolak. Akal sehatnya menjerit. Bagaimana mungkin seorang penjahit rumahan, yang hidup dari upah jahitan, bisa memiliki utang pajak yang cukup untuk membeli beberapa rumah mewah? Para petugas yang datang pun, menurut Ismanto, tampak ikut bingung melihat kondisi rumahnya yang sangat kontras dengan angka di surat yang mereka bawa.Â
"Kok rumah saya yang seperti ini bisa kena tagihan pajak miliaran rupiah," tambahnya.
Tak mau pasrah, Ismanto mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pekalongan untuk mencari kejelasan. Di sanalah kepingan puzzle yang lebih mengerikan mulai terungkap.