Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mudik ke Padang, Rindu yang Tak Terbendung

27 Maret 2025   19:22 Diperbarui: 27 Maret 2025   20:44 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lyfe - Aku menatap tiket pesawat di genggaman. Tahun ini, aku akhirnya bisa mudik ke Padang setelah bertahun-tahun merantau di Jakarta. Rindu itu mengendap terlalu lama, rindu pada rumah, pada aroma rendang yang mewangi dari dapur Uni, pada suara gelak tawa keluarga besar yang berkumpul di bawah langit ranah Minang. Ah, betapa aku merindukan semuanya.

Mudik ke Padang membawa nostalgia, kehangatan keluarga, dan kenangan masa kecil. Perjalanan ini bukan sekadar pulang, tetapi juga menemukan kembali makna rumah.  - Tiyarman Gulo

Perjalanan dari Jakarta ke Padang kutempuh dengan pesawat. Andai saja ada waktu lebih, aku ingin menikmati perjalanan darat yang lebih panjang, sekadar menyusuri kenangan di sepanjang jalan. Tapi kali ini, aku ingin segera sampai. Begitu roda pesawat menyentuh landasan Bandara Minangkabau, hatiku serasa melonjak. Udara segar khas kampung halaman langsung menyergap begitu aku melangkah keluar dari pesawat. Aku menarik napas panjang, membiarkan aroma tanah kelahiranku mengisi rongga dada. Aku tersenyum lebar. "Akhirnya, pulang," gumamku.

Di rumah, sambutan keluarga begitu hangat. Ibuku langsung memelukku erat, tangisnya pecah di bahuku. "Alhamdulillah, nak... pulang juga kau," ujarnya dengan suara bergetar. Aku mengusap punggungnya, menahan haru. Ayah hanya mengangguk penuh arti, tetapi aku tahu, di balik ekspresinya yang tenang, ada rasa rindu yang sama besarnya. Saudara-saudaraku berebut memelukku, menanyakan kabar, menggoda dengan canda khas mereka. Aku tertawa, menyadari bahwa kebahagiaan sejati ada di sini, di rumah.

Hari pertama di kampung, Uni langsung menarik tanganku. "Kita ke pasar!" katanya semangat. Pasar Raya Padang masih sama seperti dulu, hiruk-pikuk dengan pedagang yang menjajakan dagangan khas Sumatera Barat. Kami berdesakan memilih daging sapi terbaik untuk rendang, menyusuri jejeran pedagang rempah dengan wangi khas yang menyeruak di udara. Aku tersenyum melihat Uni menawar harga dengan lihai, sementara aku sibuk menikmati suasana yang telah lama kurindukan.

Ketika waktu berbuka tiba, meja penuh dengan hidangan khas Minang. Rendang yang legit, ayam pop yang gurih, gulai tunjang yang lembut, dan tentu saja sambal lado hijau yang pedasnya menggigit. Aku makan dengan lahap, menikmati setiap suapan dengan rasa syukur yang melimpah. "Enak, kan?" tanya ibuku tersenyum. Aku hanya mengangguk, terlalu sibuk menikmati makanan hingga tak sempat menjawab.

Setelah berbuka, aku dan sepupuku pergi ke Masjid Raya Sumatera Barat. Masjid itu megah dengan arsitektur khas Minangkabau. Suasananya penuh dengan jamaah yang ingin menunaikan tarawih. Aku duduk di saf belakang setelah salat, menatap ukiran-ukiran indah di langit-langit masjid. Hati ini terasa damai, seakan semua penat dari kehidupan di kota besar luruh begitu saja.

Esoknya, aku dan keluarga pergi ke Pantai Air Manis, tempat legenda Malin Kundang berada. Angin pantai menerpa wajahku saat aku melangkah di pasir yang lembut. Ombak bergulung tenang, membasahi bebatuan tempat patung Malin Kundang yang terkenal itu berdiri. Aku menatap patung itu lama, membayangkan cerita yang selalu diceritakan ibuku sejak kecil. "Jangan jadi anak durhaka, Nak," pesan ibu kala itu. Aku tersenyum kecil, mengenang pesan itu, dan berjanji dalam hati untuk selalu mengingat dari mana aku berasal.

Hari-hari di kampung berlalu begitu cepat. Aku kembali menyusuri jalanan yang dulu akrab di kakiku, gang kecil tempat aku bermain kelereng saat kecil, lapangan bola tempat aku dan teman-teman menendang bola hingga senja, hingga warung kecil di tikungan jalan yang masih menjual es tebak favoritku. Semuanya masih sama, hanya aku yang mungkin sudah sedikit berbeda.

Sore itu, aku mengajak ayah ke sawah. Sudah lama aku tak merasakan bau lumpur dan mendengar gemericik air irigasi yang menyejukkan. Ayah berjalan pelan di pematang sawah, sesekali menunjuk ke hamparan padi yang mulai menguning. "Sawah ini dulu kau yang bantu tanam, ingat?" katanya. Aku tersenyum, mengangguk. Aku masih ingat betapa dulu aku selalu mengeluh saat diajak ke sawah, lebih memilih bermain bersama teman-teman. Kini, aku justru ingin kembali ke masa itu, merasakan kesederhanaan yang dulu kupandang sebelah mata.

Malam harinya, keluarga besar berkumpul. Cerita-cerita nostalgia mengalir deras. Tentang aku yang dulu nakal memanjat pohon jambu di halaman, tentang sepupu-sepupuku yang dulu bertengkar tapi kini malah saling merindukan. Gelak tawa pecah di antara kami, menciptakan kenangan baru yang akan tersimpan dalam ingatan.

Mudik ke Padang kali ini bukan sekadar perjalanan fisik. Ini perjalanan hati, perjalanan rindu yang akhirnya menemukan muaranya. Aku bersyukur bisa kembali ke tanah kelahiranku, menikmati kehangatan keluarga, dan mengisi kembali energi untuk menghadapi kehidupan di perantauan. Aku menyadari bahwa rumah bukan hanya sekadar bangunan, tapi tempat di mana hati kita merasa paling tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun