Mohon tunggu...
Tivana Fachrian
Tivana Fachrian Mohon Tunggu... Seniman - Coupleblogger

We wilt have poetry in our life. And adventure. And love. Love above all!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jemari

6 Januari 2021   12:09 Diperbarui: 6 Januari 2021   13:15 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tiv Firsta

 

Perihal penciptaan cinta. 

Mungkin pada saat diciptakan Tuhan, Tuhan hanya membisikkan padanya bahwa tugas cinta adalah merubah hidup umat manusia. 

Entah menjadikanmu semakin ramai, atau semakin sepi. 

Entah semakin takut, entah berani. 

Lemah, ataukah kuat. 

Bahkan terkadang cinta memilih melakukan semuanya, bukan salah satunya. 

Sekali lagi, mungkin saat diciptakan Tuhan, Tuhan hanya membisikkan ... Tugas cinta adalah merubah hidup kita. 

Seketika.


Sebuah gulungan benang rajut berwarna krem membentur kaki lelaki yang tengah memainkan ponsel di taman rumah sakit. Mata lelaki itu pun melongok ke bawah dan melihat sepasang kaki bertumpuan pijakan kursi roda mendekat padanya.

"Ini punyamu?" tanya si lelaki secara ramah kepada gadis dengan rambut jarang di
hadapannya.

Gadis itu mengangguk pelan secara malu. Ia pun memberikan gulungan benang tadi
kepada si gadis. Tanpa pamit atau ucapan terima kasih, gadis itu lalu pergi. Si lelaki menatap punggungnya yang kurus kering, sebutir air jatuh dari kedipannya yang kemudian ia seka.

"Aku takut." gumamnya.

Sehari kemudian, lelaki yang sama hendak duduk di bangku yang sama pula. Akan tetapi,
rupanya bangku itu sudah terlebih dahulu diambil oleh seseorang.

"Boleh saya duduk di sini?" ia meminta permisi.

"Boleh, silakan." gadis yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu itu menggeser sedikit
posisi duduknya.

"Hei, kamu anak yang kemarin 'kan?" tanya si lelaki basa-basi.

"Iya, maaf kemarin saya lupa bilang terima kasih." jawab gadis pemalu itu.

"Kamu sedang buat apa?" tanya si lelaki kembali, mencoba menjalin keakraban.

"Kelinci." tanpa menoleh, masih mengulang-ulang gerakannya merajut.

Untuk sesaat mereka saling diam, si gadis sibuk dengan kelincinya dan si lelaki sibuk mencari topik untuk menarik pembicaraan di antara keduanya.

"Kakak sering di sini? Siapa yang sakit?" tanya gadis itu.

"Oh, ini... Kakak cuma menjenguk teman. Teman Kakak ada yang jatuh dari motor."
papar si lelaki.

"Bagaimana keadaannya?" kini, gadis itu yang tampak mulai mencoba akrab.

"Baik. Sudah membaik, mungkin besok bisa pulang. Eng, kalau boleh tahu, adik sakit
apa?" tanyanya sembari memperhatikan muka gadis di sebelahnya.

"Kanker darah. Aku pernah sembuh, tapi sekarang ada lagi." jawab si gadis dengan wajah dan suara yang biasa saja, seakan-akan penyakitnya tidak benar-benar berbahaya.

Lelaki di sebelahnya tertegun. Ia hanya manggut-manggut dengan kekaguman melihat
ketegaran gadis enam belas tahun itu. Bahkan ia tampak sehat-sehat saja, dari yang ia tahu
biasanya pasien kanker darah jarang ada yang bisa keluar ruangan.

"Sudah jadi!" gadis itu mengangkat kelinci di tangannya.

"Hari ini hari terakhirku berada di sini, besok aku akan dipindahkan ke rumah sakit kanker. Soalnya, fasilitas di sana jauh lebih memadai. Aku buat banyak kelinci sebelum pergi. Untuk dibagi-bagikan. Kakak mau satu?" tawarnya. Kemudian memberikan boneka kelinci rajut
berwarna cokelat yang barusan ia buat.

"Terima kasih, ini bagus. Oh iya, siapa nama kamu?" sebuah pertanyaan yang semestinya
sudah dilontarkan sedari tadi.

"Renaissance, seperti nama era. Panggilannya Rena. Kakak siapa?"

"Stevan Wijaya, panggil saja Ivan."

"Kak... rambut Kakak bagus. Boleh aku menyentuhnya? Sedikiit saja." pinta Rena.

"Dulu rambutku juga tebal seperti ini." sambung gadis manis itu.

Ivan membiarkan Rena menyentuh rambutnya. Gadis itu tampak senang sekali dan melepaskan sebuah senyuman dari pipinya yang kurus. Tak lama kemudian, seorang perawat datang dengan kursi roda untuk menjemput Rena. Gadis itu melambaikan tangannya lalu pergi.
Hari itulah terakhir kalinya Ivan bertemu dengan Rena. Ivan berjalan ke sebuah ruangan di rumah sakit dengan membawa boneka kecil di tangan.

Esok hari, Rena tiba di tempat tinggal barunya yakni di sebuah rumah sakit besar yang dikhususkan untuk penderita kanker. Apa pun dilakukan oleh keluarga Rena untuk membuatnya sembuh, mengingat Rena adalah putri satu-satunya dalam keluarga itu. 

Ruangan yang ia tempati lebih besar dan bagus dari ruangannya di rumah sakit sebelumnya, akan tetapi, mulai hari itu juga ia benar-benar dilarang untuk pergi meninggalkan ruangan seperti yang biasa dilakukan.

Hal itu dikarenakan kondisi tubuhnya yang semakin mengalami penurunan. Darah segar
mengalir dari hidungnya sebanyak berkali-kali hari ini, tidak ada yang bisa diperbuat selain
menikmati rasa sakit yang menguras berat tubuhnya.

Seminggu berlalu.

"Selamat pagi, Rena. Hari ini kita kemoterapi. Rena kuat ya, pasti Rena bisa sembuh lagi!" ucap dokter.

Sebuah proses yang teramat menyakitkan bagi Rena, tetapi mau tidak mau ia harus melewatinya lagi. Ia musti mengulang kembali rasa mengerikannya pengobatan yang sempat menyembuhkan ia beberapa bulan lalu; sebelum pada akhirnya dinyatakan bahwa sel kanker yang pernah hilang itu kembali merenggut kebahagiaannya. Air mata mengalir dan membasahi wajah pucat Rena, bersamaan dengan sekantong cairan obat yang sedikit demi sedikit memasuki pembuluhnya.

"Pak, Bu, sel kanker Rena mulai menolak kemoterapi. P-glikoprotein obat ini
menyebabkan terjadinya obat keluar dari dalam sel kanker, sehingga membuat sel kanker
mengalami penurunan sensitivitas terhadap obat." dokter memaparkan.

"Lakukan sesuatu untuk anak saya, Dok. Lakukan sesuatu untuknya! Saya akan membayar berapa pun!" Ayah Rena menangis dan memohon.

Rena terbaring seorang diri di kamarnya, tak lama kemudian ia mendengar suara bising
kepanikan dari lorong depan.

"Ivan? Ivan? Bisa dengar suara saya Anggukkan kepalamu kalau kamu dengar!"

Tubuh Rena terhenyak, ia ingat kepada laki-laki yang ia temui sebelum dipindahkan ke
rumah sakit itu. Semoga hanya namanya saja yang sama! Ucapnya di dalam hati. Seorang
perawat memasuki ruangannya untuk mempersiapkan transfusi darah. Ia pun bertanya kepada perawat itu.

"Ruangan di depan saya itu siapa, Sus? Ada pasien baru ya?"

"Pasien dari rumah sakit lain, ditransfer kemari karena kondisinya memburuk. Parahnya lagi, kankernya baru terdeteksi beberapa waktu lalu padahal sudah masuk stadium tiga. Sempat salah diagnosa kabarnya." papar perawat sambil memasang kantung darah.

"Memangnya, dia kena kanker apa, Sus?" Rena bertanya lagi.

"Kanker jaringan syaraf lunak. Sudah menyerang ke bagian wajahnya." si perawat mengimbuhkan.

"Siapa namanya, kalau boleh Rena tahu?"

...

"Stevan Wijaya." Rena terperanga mendengar nama tersebut.

Rambut Kakak bagus, boleh aku menyentuhnya?

Rena berkaca-kaca, ia tidak menyangka sama sekali ternyata laki-laki sehat itu sama saja
seperti dirinya. Setelah kantung darahnya terpasang, Rena meminta. 

"Sus, boleh saya duduk di depan jendela itu?"

Ruangan Rena memiliki sebuah jendela kaca besar. Karena tidak sembarang orang dapat
memasuki ruangannya, setiap saat teman-teman dan keluarga yang hendak membesuk biasanya hanya diizinkan menengok dari jendela besar itu. Jendela itu pun berhadapan langsung dengan jendela ruangan di seberangnya; ruangan lelaki yang disebut oleh perawat beranama Stevan Wijaya. Rena ingin memastikan apakah benar lelaki di dalam sana merupakan lelaki yang sama dengan yang ia temui di rumah sakit sebelumnya.

Tangis pecah; kita tahu jawabannya. Lelaki itu tampak lemah tersandar pada tempat tidur.
Rena melambaikan tangannya. Ivan seperti mendapat kekuatan baru begitu menyadari seseorang yang berada di jendela itu adalah Rena. Ivan membalas lambaian tangan Rena dan menunjukkan kelincinya; kelinci Rena yang masih ia simpan bahkan dibawanya ke mana-mana.

"Kakak harus kuat!" ucap Rena sembari mengisyaratkan dengan jemarinya.

Setiap hari mereka bertemu di hadapan masing-masing jendela, mereka berkomunikasi dari kejauhan dengan gerakan tangan, saling memberikan semangat untuk bertahan hidup lebih lama. Hingga suatu hari, Ivan kehilangan kemampuannya menggerakkan tangan, hal perih itu
sungguh memukul Rena. Kondisi Rena turut menurun, akan tetapi dengan setia Rena selalu
meminta didudukkan di atas kursi roda di hadapan jendela. Setiap harinya ia ingin melihat kondisi Ivan sekalipun dirinya sendiri sedang berada di ambang kematian.

"Dokter, jika bertemu Kak Ivan, tolong berikan ini. Boleh?" Rena menyerahkan boneka
sepasang kelinci yang tengah berpelukan.
Setelahnya, Rena tidak pernah terlihat lagi dari kaca jendela. Ivan mencarinya, menantinya. Selama berhari-hari ruangan itu tampak gelap. Gelapnya ruangan Rena memberi suasana ruang yang sama gelapnya di hati Ivan.

"Selamat pagi, Ivan. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya dokter.

"Lebih baik, Dok. Tangan saya bisa digerakkan lagi. Dokter, boleh saya tanya sesuatu?"

sang dokter yang mulai merasa khawatir menarik napas, "Mau tanya apa?"

"Ke mana Rena, Dok?" ruang sunyi sesaat.

Dokter mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian khususnya.

"Sebenarnya, ada yang ingin kusampaikan sejak seminggu lalu. Tapi, kondisimu sangat
buruk saat itu. Aku menunggumu sedikit pulih." ketakutan membumbungi Ivan. Ia tidak ingin mendengar kabar buruk apa pun mengenai Rena dan ia berdoa untuk itu.

"Ini, pemberian terakhir dari Rena. Dia berpesan padaku agar jika aku bertemu
denganmu, aku menyampaikannya. Setelah itu dia pingsan, tidak pernah bangun lagi. Rena
sudah meninggalkan kita semua." Ivan menerima boneka sepasang kelinci dari Rena.

"Terima kasih, Dok"

Setelah selesai, dokter keluar dari ruangan Ivan. Dipeluknya benda itu sembari meledak
tangis yang tertahan. Bibirnya tidak sanggup lagi mengeluarkan kata apa pun. Ia kembali
mengingat saat-saat terakhir Rena yang dihabiskan untuk menghiburnya. Ia berjanji kepada Rena akan berjuang melawan sakitnya. 

Di tengah pecahnya tangis, ia menemukan ujung kertas terselip di antara pelukan sepasang kelinci.

Aku mencintaimu. Kamu harus tetap hidup.


-Renaissance

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun