Bab 24: Ketika Dunia Akhirnya Menoleh
Aku tak pernah bekerja demi pujian.
Dan tentu tak pernah bermimpi mendapat penghargaan dari Presiden.
Tapi pada suatu hari, undangan resmi itu datang:
aku akan menerima Satya Lencana Wira Karya.
Penghargaan itu diberikan bagi mereka yang dianggap punya inovasi nyata dan berdampak luas dalam bidang kerjanya.
Katanya, sistem otomasi perpustakaan yang kami bangun dari meja kecil itu---tanpa sponsor, tanpa modal besar, tanpa gelar IT canggih---dianggap layak disebut sebagai karya wira yang mengubah wajah pelayanan publik.
Upacara penganugerahan berlangsung khidmat.
Aku mengenakan jas. Dasi. Sepatu formal. Tapi di dalam hatiku, aku masih Herman yang dulu pernah menangis karena malu bekerja di perpustakaan.
Ketika Menko yang mewakili Presiden menyematkan tanda penghargaan itu di dada kiriku, aku hanya bisa menunduk dan berkata dalam hati:
"Bu, lihat... anakmu tidak sia-sia belajar dari lemari buku sekolah dan kartu katalog itu."
Tak lama setelah itu, kampusku juga membuat tradisi baru.
Setiap tahun, mereka memberikan penghargaan bagi karyawan paling berprestasi.
Bukan hanya untuk dosen. Tapi juga untuk tenaga kependidikan.
Dan suatu tahun, namaku diumumkan sebagai salah satu penerima Award itu.
Aku berdiri di panggung kampus, disaksikan rekan-rekan, mahasiswa, dan para pemimpin universitas.
Dan di antara semua tepuk tangan itu, aku kembali teringat satu suara masa lalu:
"Eh... kamu kerja di perpustakaan ya? Mau beternak kutu?"
Aku tidak membalas. Tidak pernah.
Tapi hari itu, penghargaan itu membalas semuanya---dengan tenang, dengan bermartabat.