Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politisi atau Profesi, Menyoal Pembatasan Periode Anggota Parlemen

26 Agustus 2025   15:39 Diperbarui: 28 Agustus 2025   18:24 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sidang Paripurna DPR (sumber: kompas.com)

Teori kontrol publik terhadap parlemen sesungguhnya bukan hal baru. Dalam sejarah republik Yunani kuno, Aristoteles dalam bukunya Politics (350 SM) menegaskan bahwa rotasi jabatan dan pengawasan warga adalah inti dari sistem republik. 

Ia menulis bahwa "penguasa yang terlalu lama menjabat cenderung berperilaku sebagai tuan, bukan pelayan" (Politics, Book VI). Mekanisme lotre (sortition) di Athena dan batas waktu jabatan pejabat adalah bentuk nyata kontrol publik terhadap kekuasaan.

Di republik abad pertengahan, Niccol Machiavelli dalam Discourses on Livy (1517) menjelaskan pentingnya mekanisme kontrol rakyat terhadap parlemen. Ia menekankan bahwa republik Roma bertahan lama karena ada "tribune of the plebs" yang mewakili suara rakyat dan membatasi arogansi Senat. Menurut Machiavelli, "setiap republik yang tidak memberi ruang bagi rakyat untuk mengekang ambisi elite akan berakhir dalam tirani." (Discourses on Livy, Book I, 1517).

Teori-teori tersebut jelas menunjukkan bahwa pembatasan kekuasaan, rotasi jabatan, dan partisipasi publik adalah pilar penting republik sejak ribuan tahun lalu. 

Indonesia, sayangnya, justru mengabaikan prinsip dasar itu. Jika presiden dibatasi maksimal dua periode, mengapa anggota DPR tidak? Kekuasaan legislatif sama pentingnya, bahkan bisa lebih berbahaya ketika tidak terkendali. Venice Commission Eropa merekomendasikan agar negara dengan tingkat korupsi tinggi mempertimbangkan pembatasan periode sebagai alat transisi menuju demokrasi matang.

Politisi semestinya bukan profesi. Namun pada akhirnya, jika politisi ingin menjadikan DPR sebagai profesi, sudah seharusnya diberlakukan aturan profesi yang adil: ada masa kontrak, ada masa pensiun, ada batas maksimal dua periode. 

Selebihnya, mereka bisa membuka biro konsultan politik, menulis buku memoar, atau mendidik generasi baru. Demokrasi bukanlah lapangan usaha keluarga yang diwariskan turun-temurun. 

Karena jika tidak, jangan salahkan rakyat bila suatu hari nanti mereka bertanya dengan getir: politisi itu wakil rakyat, atau sekadar pekerja kontrak yang lupa siapa majikannya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun