Tanpa pembatasan, menjadi politisi di parlemen akan berubah menjadi profesi penuh privilege. Bayangkan pekerjaan tanpa ancaman PHK, dilengkapi imunitas hukum, bisa menentukan gaji sendiri, dan tetap aman walau sering absen sidang.Â
Absensi tinggi, seperti rapat paripurna dengan hanya 71 dari 581 anggota hadir, tidak pernah menurunkan gaji. Demokrasi kita pun menjelma pasar bebas profesi politisi, di mana kursi rakyat bisa dikelola layaknya investasi jangka panjang.
Para pembela status quo sering mengklaim bahwa negara maju tidak menerapkan batas periode bagi anggota parlemen. Ini memang benar, tapi konteksnya berbeda.Â
Di Amerika Serikat, anggota Kongres bisa maju tanpa batas, tetapi publik memiliki kontrol ketat. Pemilu primer memungkinkan kandidat baru menantang incumben dari dalam partai.Â
Transparansi dana kampanye diatur oleh Federal Election Commission, sehingga sulit bagi legislator untuk sembunyi di balik modal gelap. Media dan lembaga masyarakat sipil aktif mengawasi kinerja anggota Kongres; satu skandal saja bisa menghancurkan karier politik yang panjang.
Di Inggris, House of Commons juga tanpa batas periode. Namun, perdana menteri harus menjaga kepercayaan mayoritas parlemen, dan anggota legislatif terikat pada tradisi parlementer yang menuntut kedisiplinan.Â
Komite pengawas independen berfungsi sebagai kontrol publik, dan partai-partai memiliki mekanisme internal demokratis dalam menyeleksi kandidat.Â
Kalau di Jerman, anggota Bundestag juga tidak dibatasi periodenya, tetapi ada undang-undang anti-korupsi yang ketat dan budaya politik yang menghargai meritokrasi.Â
Partai politik di sana memiliki tanggung jawab besar untuk merekrut kader baru yang berkualitas. Di Jepang, meski National Diet tidak membatasi masa jabatan, publik memiliki mekanisme recall dan partai memiliki disiplin internal yang membuat politisi harus terus menunjukkan kinerja nyata.
Perbedaan negara-negara maju tersebut dengan Indonesia adalah adanya kontrol publik yang kuat. Media independen, civil society, sistem hukum yang transparan, hingga budaya politik yang menuntut akuntabilitas menjadi rem alami bagi politisi yang ingin berlama-lama di kursi parlemen.Â
Mereka boleh duduk lama, tapi hanya selama publik menilai mereka layak. Di Indonesia, justru rem itu tidak ada. Partai politik dikelola seperti kerajaan, mekanisme internal tertutup, masyarakat sipil sering dilemahkan, dan media rentan intervensi. Akibatnya, tanpa batasan periode, DPR berisiko semakin dikuasai oligarki yang tidak terjamah kritik publik.