Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Putra Amien Rais Berseteru, Akankah Serupa Kisah Para Putri Sukarno?

7 Mei 2020   07:00 Diperbarui: 9 Mei 2020   08:11 21801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perseteruan anak Amien Rais [ilustrasi diolah dari Kompas.com]

“Sikap baper politik yang dipertontonkan oleh Hanafi Rais serta adik-adiknya yakni Hanum Rais dan Tasniem Rais, tidak akan berpengaruh sama sekali kepada saya … kedewasaan dalam berpolitik tidak ditujukkan oleh saudaraku Hanafi Rais. … saya paham tata krama. Saya tidak menganut mental mutungan, cengeng, dan melodramatik ...” --Mumtaz Rais, 6 Mei 2020.[1]

Baper politik, tidak dewasa dalam berpolitik, mutungan, cengeng, dan melodramatik dilontarkan Muntaz terhadap Hanafi yang menyatakan pengunduruan diri dari kepengurusan dan keanggotaan PAN serta dari jabatan ketua fraksi sekaligus anggota DPR.

Meski perbedaan sikap politik antara dua putra Amien Rais sudah menajam semenjak kongres rusuh PAN, tetap saja pernyataan keras dilontarkan Mumtaz terhadap kakaknya itu mengejutkan.

Hmmm. Saya jadi ingat pernyataan Rachmawati terhadap Megawati. “Cuma anak biologis, bukan anak ideologis Sukarno.” Akankah perseteruan Mumtaz-Hanafi berkembang menjadi serupa perseteruan putri-putri Sukarno?

Pertarungan Para Putri Soekarno
Mungkin tiada yang lebih konsisten daripada Rachmawati dalam mengkritik dan berseberangan sikap politik dengan Megawati Soekarnoputri.

Politisi bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno adalah adik kandung Megawati, putri Sukarno bersama Fatmawati. Lahir 27 September 1950, usianya hanya terpaut 3 tahun dari Megawati, kakak yang tepat di atasnya.

Belum pernah sekalipun Rachmawati berada sebarisan politik dengan Megawati.

Rachma berada di barisan pendukung Gus Dur saat Megawati dan PDIP beraliansi dengan Golkar untuk menjatuhkan kekuasaan Gus Dur. Rachmawati cabut dari Nasdem ketika parpol milik Surya Paloh itu menjadi pendukung pencapresan Joko Widodo. Ia kemudian bergabung dengan Gerindra, menjadi salah satu tokoh utama pendukung Prabowo Subianto.

Ketika Prabowo bertemu Jokowi di kereta, gelagat bergabungnya Gerindra ke pemerintahan, Rachmawati menunjukkan penentangannya, menuding ada 'penumpang terang' yang hendak mengkhianati perjuangan Gerindra.

Rachmawati melontarkan kritik keras saat Megawati semasa menjawab Presiden RI memprivatisasi banyak BUMN. Ia juga menyalahkan pemerintahan Megawati atas amandemen UUD 1945; serta menganggap Megawati tidak bertindak apapun untuk mengembalikan nama baik Soekarno yang difitnah Orde Baru.

Baca juga: "Prediksi Keruntuhan Juche Jika Kim Jong Un Meninggal [Bagian 2]"

Semua kritik tersebut menjadi legitimasi pernyatan pedas Rachmawati bahwa Megawati hanya anak biologis, bukan anak ideologis Sukarno.

“Mega memang anak biologis tapi bukan anak ideologis. … Ini hanya simbol-simbol, pakai gambar Sukarno dijual. Semua yang diimplementasikan bertentangan dengan pemikiran Sukarno kok,” kata Rachma suatu ketika.[2]

Sikap Rachma menentang Megawati ternyata berakar panjang ke 1980an. Itu adalah saat ketika Megawati Soekarnoputri dan dua kakak Rachma lainnya, Guntur dan Guruh menerima pinangan Soerjadi untuk bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia.

Keputusan tersebut melanggar kesepakatan keluarga. Setelah Sukarno ditumbangkan Soeharto, anak-anak Sukarno-Fatmawati bersepakat menjauhi dunia politik. Kabarnya sikap tersebut merupakan bentuk protes atas keputusan Orde Baru memaksa fusi PNI ke PDI.

Tetapi ada pula yang menilai sebenarnya Orde Baru yang mencekal anak-anak Sukarno, melarang mereka berpolitik sebagai barter atas kebebasan mereka untuk hidup tenang semasa kekuasaan Soeharto.

Rupanya kemarahan Rachma tidak semata-mata karena menganggap kakak-kakaknya mengingkari kesepakatan keluarga, tetapi karena Rachma menilai ada Benny Moerdani di balik pinangan Soerjadi.

Sebelumnya Rachma yang ditawar Benny Moerdani namun ditolaknya. Salah seorang tokoh pendiri Universitas Bung Karrno, alm. Yano Bolang pernah menulis tentang tawaran Soeharto (sepertinya melalui Benny Moerdani) agar Rachma berpolitik praktis dengan mendirikan kembali PNI.

Terlepas apapun latar belakangnya, sikap Rachma terhadap Megawati bukan lagi sekarang pertentangan haluan politik, tetapi kemarahan yang sangat personal sifatnya. Hanya saat kematian Taufik Kiemas kakak-beradik itu berjumpa.

Rachma bahkan menolak menyampaikan selamat ulang tahun khusus kepada Megawati. “Ya, tanggal 23 Januari, bagi siapa yang berulang tahun, selamat ulang tahun. Kan ada berapa? Tiga orang,” katanya saat diwawancari Detik.com. Selain Megawati, yang berulang tahun 23 Januari adalah putri sulung Soeharto, Tutut yang juga kakak kelas Rachma semasa sekolah.[3]

Sukmawati, putri ketiga Sukarno-Fatmawati juga tidak kalah sering mengkritik Megawati. Hanya saja tidak sesering dan segarang Rachma. Kritik utama Sukma adalah ketidaktegasan Megawati dalam memukul mundur kekuatan antidemokrasi, Orde Baru. Bahkan Sukmawati menilai Megawati sering pula bertindak seperti gaya orde baru.

Sukmawati lebih banyak menekuni dunia seni dan kebudayaan. Keterlibatannya dalam politik praktis hanya ketika ia diajak para aktivis Marhaen tua untuk memimpin PNI Marhaen yang berganti nama dari PNI Supeni. Partai ini didirikan pascareformasi.

Tidak seperti Rachma, Sukmawati masih sering menjumpai Megawati.

Berbeda Level
Tampaknya kurang adil bagi putri-putri Sukarno jika perseteruan mereka disama-samakan dengan perseteruan anak-anak Amien Rais. Meski Rachma dan Mega juga berusia 30an tahun saat berseteru, mirip-mirip usia Mumtaz dan Hananfi saat ini, perseteruan Mega dan Rachma adalah perseteruan orang dewasa.

baca juga: "Rizal Ramli Kaitkan 'Begal Digital' Kartu Prakerja dengan Golkar dan Airlangga, Apa Salahnya?"

Sukarno sudah tiada ketika anak-anaknya berseberangan sikap politik. Sebaliknya pertarungan Hanafi dan Mumtaz tidak terhindarkan patut dipandang sebagai perang proxi antara Amien Rais (ayah keduanya) melawan Zulkifli (mertua Mumtaz).

Pertarungan ini sudah bermula semenjak pilpres 2019, ketika Amien sangat garang terhadap kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin sementara Zulkifli kompromis.

Amien Rais tidak menerima kekalahan Prabowo-Sandi, menuduh kubu Jokowi mencurangi pilpres. Zulkifli malah mengajak PAN mengakui kemenangan Jokowi-Maruf, bahkan mengharapkan PAN dilibatkan dalam pemerintahan.

Perseteruan itu terbawa ke dalam kongres PAN di Kendari. Amien Rais mendukung Mulfachri sebagai calon Ketua Umum yang berpasangan dengan putranya, Hanafi. Berseberangan dengan sikap sang ayah, Mumtaz memilih mendukung mertuanya, Zulkifli dibandingkan kakak kandung.

Kongres berlangsung ricuh. Kursi-kursi berterbangan, saling dilemparkan para kubu. Zulkifli menang. Kuda pacu Amien Rais kalah. Sudah beberapa kali kongres, caketum PAN yang dijagokan Amien Rais kalah.

Pascakongres, kubu Amien Rais mewacanakan pembentukan partai baru. Awalnya diwacanakan partai baru itu akan bernama PAN Reformasi sebab berasal pembelahan terhadap PAN.

Mumtaz lagi-lagi berseberangan dengan ayahnya, memilih setia kepada mertua.

"Kami tahu, PAN palsu pasti kempes. Jadi kalau cuma akhirnya kecil, mati di tengah jalan, malu-maluin," ujar Mumtaz menilai rencana ayahnya mendirikan partai pecahan PAN.[5]

Tetapi Amien Rais tampaknya sudah kepalang tanggung. Pengunduran diri Hanafi ditenggarai sebagai sinyal kepastian pendirian partai baru dan bagian dari strategi Amien Rais mempercepat pembelahan PAN.

Loyalis Amies dan Hanafi, Muhammad Asri Anas mengaku jika Amien Rais sudah mulai melakukan safari ke daerah-daerah sebelum pengunduran diri Hanafi. Setelah Hanafi mundur, Amien menggelar teleconference dengan para loyalisnya.[6]

Menurut  Ketua DPW PAN Sulawesi Barat ini sudah 150 pimpinan di provinsi dan kabupaten/kota yang menyatakan merapat ke kubu Amien dan Hanafi.

Boleh Jadi Pula Cuma Sandiwara
Tidak tertutup kemungkinan kata-kata keras Mumtaz terhadap Hanafi, bahkan terhadap Amien Rais dilotarkan atas restu sang ayah. Dengan kata lain, pertentangan ini cuma sandiwara, bagian dari skenario Amien Rais mempersiapkan masa depan anak-anaknya.

Bisa saja Amien Rais berhitung, kemungkinan Mumtaz atau Hanafi yang kelak sukses dalam dunia politik adalah 50-50. Untuk itu, keduanya harus dipasang di jalur berbeda.

Mumtaz dipasang untuk terus meniti karir di PAN yang menjadi partai sentris, berebutan suara dengan Partai Demokrat, Nasdem, dan Golkar. Sementara Hanafi akan bersama-sama Amien Rais mendirikan partai baru yang lebih keras dan lebih “Islam ekskulsif” guna menggerus suara dari golongan yang selama ini dimonopoli PKS.

Entah yang mana di antara kedua putranya yang kelak meraih banyak dukungan massa, Amien Rais serahkan pada jalannya sejarah. Yang terpenting, dinastinya bertahan di panggung politik Indonesia.

Dugaan manakah yang benar, cuma Amien Rais dan Tuhan yang tahu.***

Baca: "Saat Menteri Nadiem Kaget, Orang Tua Murid 'Bisa Pingsan'"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun