Mohon tunggu...
Thom Aja
Thom Aja Mohon Tunggu... Praktisi

Bapak-bapak yang ingin anaknya menjadi presiden

Selanjutnya

Tutup

Horor

Pengalaman Mistis di POM

15 September 2025   17:00 Diperbarui: 15 September 2025   09:16 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Sudah hampir tengah malam saat motorku merapat ke sebuah POM bensin di Jalan Bantul. Mataku terasa berat setelah seharian berkeliling menjajakan barang, dan perutku perih karena hanya sempat meneguk kopi hitam sejak sore tadi. POM itu tampak sepi, hanya ada dua petugas yang sibuk membereskan pompa, dan seorang satpam duduk menyender di kursi plastik dekat warung kecil yang sudah tutup setengah.

"Isi penuh, Mas," kataku sambil menyerahkan uang.

Sambil menunggu, mataku menyusuri area POM. Lampu neon putih memang menerangi area pompa, tapi semakin ke belakang, cahayanya redup. Di ujung sana, samar-samar kulihat bangunan kecil, mushola dan toilet, diapit taman yang tampak tak terawat. Rumput tumbuh liar, dan sebuah pohon besar yang dahannya menjuntai ke arah jalan setapak tampak seperti bayangan hitam pekat.

 

Setelah selesai mengisi, aku menuju toilet. Perutku benar-benar memaksa. Jalan setapak menuju belakang terasa lebih panjang dari yang kulihat tadi. Angin malam berembus, dinginnya menusuk, membawa aroma tanah lembab bercampur bau solar yang tertinggal di udara.

Kemudian, ada sesuatu yang aneh.

Hidungku menangkap wangi melati---pekat, segar, menusuk. Bukan wangi bunga biasa, tapi semacam aroma yang datang mendadak, seakan sengaja menyergap indraku. "Ah... mungkin ada pohon melati di taman itu," gumamku, mencoba meyakinkan diri. Namun semakin aku melangkah, wanginya makin kuat. Aromanya terasa seperti disemprotkan langsung ke wajahku, membuat tengkukku merinding.

Toilet berada di sisi kanan mushola. Cat dindingnya kusam, pintunya berkarat. Aku buru-buru masuk, dan begitu menutup pintu, bulu kudukku berdiri. Rasanya seperti ada yang ikut masuk bersamaku. Aku menoleh cepat---kosong. Hanya diriku, dan suara tetesan air yang jatuh dari keran bocor. Tes... tes... tes... Suara itu terasa seperti menghitung detak jantungku yang mulai tak beraturan.

 

Selesai, aku segera keluar. Namun, sebelum sempat melangkah kembali ke area pompa, aroma melati itu kembali menyerang, lebih pekat dari sebelumnya. Kali ini, aku yakin, sumbernya bukan dari bunga biasa.

Aku menatap ke arah pohon besar di sisi taman. Cabangnya menjuntai, sebagian sudah kering. Dan di salah satu dahannya---aku terpaku.

Ada sosok putih menggantung, samar oleh cahaya lampu taman yang redup. Rambutnya panjang terurai menutupi wajah, kain putih lusuh berkibar tertiup angin malam. Jantungku berdetak kencang, kakiku terasa terpaku di tanah. Aku mengucek mata, berharap hanya ilusi karena lelah. Tapi sosok itu tetap ada. Bahkan perlahan, kepalanya menunduk, seakan menatapku dari balik rambutnya yang panjang.

Suara lirih terdengar, seperti desis angin, namun jelas menyusup ke telinga:

"...sini..."

Aku mundur setapak, tapi kakiku justru menabrak selang kompresor yang tergeletak. Suara logamnya berderak keras memecah kesunyian. Seketika sosok itu bergerak cepat---terjun dari dahan.

Aku menahan napas. Tapi saat aku berkedip, sosok itu lenyap. Hanya sisa wangi melati yang makin pekat menusuk hidung. Panik, aku lari sekencang-kencangnya menuju area pompa. Napasku memburu, keringat dingin membasahi pelipis. Satpam yang tadi duduk menatapku heran.

"Kenapa, Mas? Mukanya pucat banget," tanyanya.

Aku ragu sejenak, lalu bertanya dengan suara bergetar, "Pak... di taman belakang itu... ada yang jaga juga, ya?"

Satpam itu terdiam beberapa detik, lalu tersenyum kaku. "Lha, kan sudah malam. Mana ada orang jaga di sana. Memang kenapa?"

Aku menghela napas berat. "Saya lihat... ada yang berdiri di pohon. Pake putih. Bau melati..."

Senyum satpam itu langsung hilang. Ia menoleh cepat ke arah taman, lalu mendekatiku, berbisik, "Sudah, Mas. Jangan banyak diomongin. Biasa, tamu malam. Makanya kalau ke toilet situ, jangan lama-lama."

Deg. Kata-katanya membuat dadaku semakin sesak. Satpam itu bukan kaget, melainkan sudah terbiasa. Ia tahu apa yang kulihat.

"Ayo, Mas. Cepat balik depan. Jangan nengok ke belakang," katanya sambil menepuk bahuku.

Aku mengikuti sarannya, melangkah cepat. Tapi saat melewati tikungan kecil yang menutup pandangan ke taman, telingaku mendengar suara jelas, sangat dekat: tawa lirih perempuan.

Aku menoleh spontan---kosong. Hanya ranting pohon bergoyang pelan, seakan menertawakanku.

Sesampainya di motorku, aku langsung menyalakan mesin. Satpam tadi hanya melambaikan tangan dengan wajah tegang, seakan sudah biasa melihat kejadian serupa. Aku melaju kencang meninggalkan POM itu. 

 

Angin malam menusuk, tapi wangi melati masih menempel di hidungku, seakan ikut terbawa. Sampai jauh dari sana, aku tak berani menoleh ke spion.

Sejak malam itu, setiap kali lewat Jalan Bantul, aku enggan berhenti di POM tersebut. Biarlah motorku kehabisan bensin sekalipun, aku lebih memilih mencari POM lain. Karena aku tahu, di balik pohon besar itu, ada penghuni yang suka "menyapa" tamu malam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun