Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berkaca kepada Nyonya: Cara Sederhana Ibu Rumah Tangga Dukung Net-Zero Emissions

21 Oktober 2021   07:40 Diperbarui: 21 Oktober 2021   07:41 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah memastikan botol minum dan payung ada di tasnya, baru saya mengangguk dan memeluk Fahmi sebelum ia berangkat. Salah satu rutinitas yang selalu saya lakukan sejak putra kami masuk sekolah.

Sebenarnya rutinitas itu sudah saya lakukan sejak tahun 2010. Ya, jauh sebelum saya menikah, saya lakukan itu, mengecek botol minum dan sedia payung untuk anak majikan, saat saya masih bekerja di Taiwan.

Adalah majikan saya yang selalu mengajarkan untuk selalu membekali anak dengan bekal dari rumah, termasuk air minum dengan botol sendiri, dan payung. Kebiasaan itu akhirnya bisa saya terapkan saat kembali ke tanah air, termasuk menerapkannya kepada anak dan ibu saya sendiri. Kalau suami sih, jika sendirian ia masih ogah-ogahan. Malas ribet, sepertinya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Tidak hanya itu, masih banyak kebiasaan dan ajaran majikan lainnya yang saya lanjutkan setibanya di kampung halaman, seperti:

Membuang sampah pada tempatnya

Disiplin membuang dan memilah sampah di Taiwan sangatlah ketat. Sejak usia dini, terhadap anak sudah ditanamkan pemahaman cara memilah sampah dan kemana membuangnya. Saya takjub saat mengantar anak setingkat PAUD mengadakan kunjungan ke pabrik daur ulang Yayasan Tzu Chi. Bagaimana sampah diterima, dipilah, diolah kembali hingga menghasilkan aneka barang yang bermanfaat.

Mungkin masalah buang sampah ini terlihat sepele, tapi di kampung saya, masyarakat justru buang sampah ke sungai itu sudah biasa, karena di kecamatan kami memang tidak punya tempat pembuangan sampah.

Saya merasa miris ketika melihat gerobak sampah pasar isinya dituangkan semua ke sungai dengan wajah si mamangnya itu sedikitpun tidak merasa bersalah. Dengan lingkungan seperti itu bisa dipastikan membiasakan buang sampah pada tempatnya menjadi hal yang berat. Dinyinyiri tetangga karena menyarankan jangan buang sampah ke sungai awalnya terasa menyakitkan. Seringnya bukan mendapatkan dukungan, yang ada malah ejekan dan tuduhan yang menyudutkan. Tapi lama-lama saya terbiasa.

Jalan kaki atau naik sepeda

Majikan sering mengajarkan untuk memilih jalan kaki untuk keperluan jarak dekat, tidak menggunakan kendaraan bermotor. Kalau mau naik MRT ke stasiun sekitar 500 meter tetap jalan kaki. Sesekali naik sepeda kalau sangat diburu waktu.

Melakukan kebiasaan itu di kampung saya awalnya pun mendapatkan nyinyiran. Khususnya dari tukang ojek di pertigaan. Mereka mencemooh saya pelit, pengiritan dan tidak mau berbagi rezeki ketika saya memilih jalan kaki saat mereka menawarkan tumpangan ojek.

Ketika saya memilih menggunakan sepeda, mereka tetap nyindir mengatakan kalau di jaman serba canggih begini sudah gak jaman capek mengayuh sepeda. Tapi karena saya tidak ambil pusing, lama-lama mereka diam dengan sendirinya.

Belakangan saat pandemi melanda, bersepeda justru banyak digandrungi, saya justru merasa jadi banyak memiliki teman gowes. Meski mereka menggunakan sepeda cuma karena gengsi dan lifestyle ikut-ikutan.

Pakai transportasi umum

Majikan laki dan perempuan memiliki kendaraan roda empat sendiri. Tapi mereka kompak ketika akan berangkat terbang (majikan kerja sebagai pramugari dan pramugara) memilih menggunakan kendaraan jemputan dari kantor (semacam bus sekolah) meski dengan begitu mereka harus berangkat lebih awal. Mobil jemputan itu berkeliling dari satu distrik ke distrik lain untuk menjemput sesama flight attendant dan baru mengantarkan para awak kabin tersebut ke kantor setelah mobil jemputan penuh.

Saya pikir kalau menggunakan mobil sendiri majikan akan lebih nyaman dan tidak perlu berangkat terlalu cepat. Tapi mereka selalu beralasan sama, "Saya tidak ingin menyumbang emisi. Saya tidak ingin mati sia-sia..." selalu begitu jawabnya.

"Emisi itu polusi sisa pembakaran, zat pembuangan yang beracun dan dapat membahayakan makhluk hidup juga mencemari lingkungan. Naik kendaraan umum bisa meminimalisir emisi berbahaya. Setidaknya mengurangi polutan sisa pembakaran. Mungkin hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai masyarakat biasa dalam mendukung net-zero emission." Begitu penjelasan majikan.

Tahun 2010 saya belum memahami benar apa itu net-zero emission. Meskipun istilah itu sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2008.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Salut dengan kegigihan majikan saya pun ingin mencontoh kebaikannya. Apalagi saya memang tidak punya kendaraan. Ketika bepergian ke luar kota, menggunakan kendaraan umum jadi keniscayaan.

Dulu, sebelum ada transportasi online, setiap akan ke ibu kota saya mengontak teman-teman kompasianer seperti Almarhum Pak Dian Kelana, Bunda Elisa Koraag, dan lainnya untuk bertanya terkait jurusan busway, rute lokasi, dan sebagainya.

Tidak jarang untuk ikut acara selama dua jam saja, saya bisa menghabiskan waktu dua hari dua malam di perjalanan karena dari kampung saya kendaraan umumnya masih terbatas.

Menghemat air dan listrik

Bukan pelit tapi kalau tidak dipakai sebaiknya dimatikan, begitu selalu ditekankan majikan. Dulu saya suka teledor. Keluar kamar lupa mematikan lampu. Menemani anak-anak nyikat gigi membiarkan air keran mengalir begitu saja. Setelah entah berapa puluh kali diingatkan majikan, baru saya terbiasa dan menyadari jika menghemat listrik dan air itu lebih baik.

Mencintai alam

Sebelum anak-anak tidur, setiap malam majikan selalu bercerita jika alam sudah banyak memberikan rezeki dan kebaikan untuk manusia. Saatnya kita membalas dengan mengubah gaya hidup.

Saya pernah dengar majikan bilang  kalau udara bersih itu sangat berharga terlebih ketika sedang melakukan penerbangan. Jadi saat bisa menghirup udara sebebas-bebasnya, imbangi dengan rasa terimakasih kepada alam.

Tersentuh saya mendengar kalimat itu. Baru sadar kenapa majikan tidak sayang dengan kuku jarinya yang lentik dan memilih menghabiskan waktu liburnya untuk berkebun, mengurus tanaman berkutat dengan cacing dan tanah.

Pantas paling tidak sebulan sekali majikan sering mengajak anak dan orang tuanya termasuk saya melakukan camping dan hiking.

Saya bisa melihat langsung bagaimana majikan merealisasikan rasa berterimakasihnya kepada alam. Ia menjadi relawan di komunitas penanaman pohon kembali, ikut aksi  dan banyak andil dengan tumbuhan termasuk memilih menanam pohon jangka panjang di kampung halaman orang tuanya di Taitung, daerah Taiwan bagian selatan yang masih banyak lahan kosongnya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Kelestarian alam tanggung jawab manusia

Bukan tanpa alasan jika saya melanjutkan kebiasaan yang dilakukan majikan. Tidak semata-mata karena kita sudah hidup banyak dibantu alam, tapi melainkan memang apa yang dilakukannya itu sesuai dengan ajaran yang saya yakini.

Manusia diutus Allah SWT sebagai wakilnya untuk memimpin bumi. Dalam Al Quran banyak disebut perihal manusia sebagai khalifah Allah yang diberi tanggung jawab atas kelestarian alam.

QS. Ar-rum: 41-42, ayat tersebut diturunkan untuk menegaskan bahwa yang menjadi penyebab berbagai kerusakan yang terjadi di darat dan di laut adalah ulah manusia.

Saya pun semakin yakin untuk hidup dengan mencintai alam. Terlebih Climate Leader's Summit yang digagas Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada akhir April 2021 membuat istilah net-zero emission atau nol bersih emisi makin populer.

Net-Zero Emission

Apa itu net-zero emission atau nol bersih emisi? Nol-bersih emisi secara khusus ditujukan pada karbon negatif. Ketika emisi atau zat hasil pembakaran yang diproduksi manusia bisa diserap, jadi tidak ada yang menguap ke atmosfer.

Masalahnya apa yang bisa menyerap zat hasil pembakaran karbon ini? Baca literatur, emisi berbahaya ini dapat diserap secara alamiah oleh pohon, laut, dan tanah. Pantas majikan saya sangat idealis dengan kegiatan peduli lingkungannya. Ucapannya terkait emisi pun selalu terngiang kembali.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Bisakah kita mencapai net-zero emissions? Terlepas dari negara kita negara industri atau bukan, dimana Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris pada 2015 mewajibkan negara industri dan maju mencapai nol-bersih emisi pada 2050, demi perbaikan iklim, ekosistem laut dan darat, bukankah kita berkewajiban menjaganya juga?

Sebenarnya nol-bersih emisi tak mengacu pada pengertian berhentinya manusia memproduksi emisi. Karena secara alamiah manusia tidak bisa tidak memproduksi emisi. Manusia bernapas saja menghasilkan karbon dioksida (CO2), kalau berhenti, ya tidak akan ada kehidupan dong?

Sepanjang emisi tak terlepas ke atmosfer keadaannya masih dibutuhkan tanaman untuk fotosintesis. Karena itu, ahli teknologi, termasuk Bill Gates dalam buku How to Avoid a Climate Disaster, menyarankan dunia membuat alat penangkap emisi.

Sejauh ini dunia menyepakati cara menangkap emisi alamiah ialah dengan mencegah deforestasi, menanam lebih banyak pohon, mencegah degradasi lahan, dan tak merusak ekosistem laut serta perairan. Semua itu sejalan dengan apa yang selalu dilakukan majikan saya di Taiwan, bukan?

Cara sederhana ibu rumah tangga mendukung Net-Zero Emissions

Berkaca pada apa yang dilakukan majikan, sebagai ibu rumah tangga, bukan berarti saya tidak bisa ikut berperan dalam mencapai nol-bersih emisi ini. Ada banyak kegiatan keseharian saya yang baik langsung maupun tidak, sudah berperan serta dalam mengurangi emisi.

Diantaranya menjadi contoh untuk anak supaya tidak membuang sampah ke sungai sehingga tidak merusak ekosistem laut serta perairan, memilah sampah sesuai peruntukannya, selalu menyiapkan botol minum anak, menggunakan tas belanja sendiri demi mengurangi sampah plastik, membiasakan anak untuk hemat listrik dan hemat air, memilih jalan kaki atau bersepeda, serta menanamkan rasa peduli terhadap alam dan menjaga kelestariannya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Sebelum pandemi kami rutin melakukan pendakian. Mengenalkan alam secara langsung sekaligus mengajak anak belajar menanam pohon. Saat pandemi dan kegiatan banyak dibatasi, kegiatan menanam pohon kami lakukan di kebun sendiri.

Sambil berkelakar saya bilang ke anak, dengan rajin menanam bibit pohon ini insyaallah bisa menyerap banyak emisi. Siapa tahu kedepannya akan dapat insentif, seperti Norwegia yang berkomitmen membayar Rp 813 miliar kepada Indonesia yang dianggap berhasil menghindarkan emisi karbon melalui pencegahan deforestasi. Meski saya baca rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 9 Mei 2021 Norwegia belum juga membayarkan komitmen itu. Padahal janji bayarnya akhir 2020 loh...

Semua yang saya lakukan hanyalah langkah kecil dalam mencegah krisis iklim dan pemanasan global, demi mendukung Indonesia mencapai target Net-Zero Emissions. Apakah akan berhasil? Tentu saja diperlukan kerja keras serta kesadaran masyarakat untuk disiplin dan mulai mengubah gaya hidup dengan produk ramah lingkungan.

Tapi tidak ada yang tidak mungkin. Mari optimis dan bersama kita memulai...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun